Monday, December 30, 2013

Teater: Membaca Ulang Naskah Lawas*

Proyek penulisan dan pembacaan naskah lama. Menggali arsip berharga, mengundang para penulis bereputasi tinggi. Agar para penulis punya alasan untuk kembali menulis lakon teater.

Lima orang aktor dan seorang narator riuh berceloteh di sebuah meja perpustakaan. Ceritanya, mereka akan melakonkan naskah berjudul Rumah Tak Beratap Rumah Tak Berasap dan Langit Dekat dan Langit Sehat karya Akhudiat.

"Siapa, siapa yang bisa memerankan hujan?" ujar seorang aktor. "Sudahlah, nari dan maen gamelan saja tidak bisa. Apalagi meranin hujan? Adegan berikutnya?" Sahut aktor lainnya.


Sumber foto: detik.com
Di Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki itu, Jumat malam pekan lalu, Forum Aktor Yogyakarta sedang membacakan naskah teater berjudul Di Luar 5 Orang Aktor. Sambil berlakon, sesekali mata mereka tertuju pada naskah yang tergenggam di tangan masing-masing.

Naskah yang dibacakan itu adalah gubahan Afrizal Malna, yang berupa penulisan ulang (atau lebih tepatnya; tanggapan) penyair dan esais berkepala plontos itu atas naskah karya Akhudiat yang ditulis 39 tahun lalu.

Naskah Rumah Tak Beratap Rumah Tak Berasap dan Langit Dekat dan Langit Sehat, yang menjadi rujukan Afrizal, berkisah tentang penari ledhek yang akan dinikahkan dengan juragan kaya, karena ibu si penari itu berutang pada si juragan. Naskah tersebut berlatar kehidupan rakyat jelata, dengan sebagian besar dialog berbahasa Jawa. Pada 1974, naskah ini keluar sebagai juara harapan di perhelatan Sayembara Naskah Dewan Kesenian Jakarta.

Alih-alih melakukan interpretasi linear atas plot tradisional penari ledhek, Afrizal mengambil daya tarik intrinsik lainnya pada naskah karya Akhudiat itu. Yakni, remah-remah dialog keseharian wong cilik yang seolah-olah tidak diikat oleh sebuah narasi besar.

Melalui Di Luar 5 Orang Aktor, Afrizal menghadirkan realisme baru dengan mengambil jarak tegas atas realitas naskah rujukannya. Versi Afrizal berkisah tentang lima aktor dan seorang narator yang berjibaku mempersiapan pementasan teater untuk lakon Rumah Tak Beratap Rumah Tak Berasap dan Langit Dekat dan Langit Sehat.

Persiapan itu tak hanya menyoal riweuh-nya berbagi peran dan latihan vokal, tapi juga sejumlah perdebatan mengenai sejarah, sosiologi, bahkan isu feminisme dalam karya aslinya, yang nyaris tidak pernah dibawakan di panggung teater itu.

"Karena aku punya imajinasi yang berada dalam background berbeda dari tokoh-tokoh yang diciptakan Akhudiat. Pokoknya tokoh, setting, tema, itu milik Akhudiat. Jadi aku tidak masuk, aku ada di luar," kata Afrizal, seusai naskahnya dibacakan.

Proyek penulisan ulang naskah lama dan pembacaannya itu merupakan bagian dari perhelatan "Indonesia Dramatic Reading Festival (IDRF) 2013". Festival yang diselenggarakan pada 3-6 Desember lalu itu merupakan rangkaianan dari Festival Teater Jakarta 2013.

Pertama kali digelar pada 2010, IDRF kemudian secara rutin diselenggarakan tiap tahun. Konsepnya adalah penulisan naskah teater dan pembacaan naskah tersebut oleh kelompok teater. Sejumlah kelompok teater terkenal pernah turut dalam pembacaan naskah IDRF. Di antaranya adalah Teater Koma, Teater Gandrik, Teater Garasi, Teater Gardanala, Teater Kertas, dan Studi Teater Bandung (STB).

Penyelenggaraan IDRF sebelumnya bersifat terbuka. Namun, tahun ini, dengan dukungan Jaringan Arsip Budaya Nusantara, lima penulis yang diundang untuk menuliskan kembali naskah lama.

Naskah lama yang dipilih adalah naskah dari era 1970-1979. Dari 532 naskah yang tersimpan di bank naskah Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), terpilihlah 18 naskah untuk ditulis ulang. Dari jumlah itu kemudian mengerucut menjadi lima naskah, sesuai jumlah penulisnya. Semua penulis bebas menulis ulang naskah tersebut dan hanya diberi satu syarat: durasi naskah 1-1,5 jam saja.

Selain Afrizal, ada Esha Tegar Putra yang menulis ulang naskah Malin Kundang karya Wisran Hadi. Cerita rakyat berlatar tradisi Minang ini ditulis sebagai naskah teater oleh Wisran pada 1978. Jika dalam cerita rakyat Malin durhaka pada orangtuanya, dalam versi Wisran, justru orangtua --dalam hal ini paman alias adik ibunya Malin-- yang durhaka dengan menjual rumah keluarga Malin. Naskah itu juga menceritakan Malin yang merana di tanah rantau karena anaknya yang kelak menjadi penyair hilang entah ke mana.

Dari naskah Wisran itu, Esha menggubah Malin-Malin. Naskah ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama mengenai bocornya proyek perbaikan batu Malin Kundang. Bagian kedua Malin menggugat alur cerita Malin Kundang yang didongengkan tiga tukang kabar. Sedangkan di bagian ketiga, Malin sedang galau, kebingungan antara harus merantau atau tinggal di rumah.

Penulis lain dalam proyek ini adalah Andri Nur Latif. Ia menulis Yuni dengan rujukan naskah Ben Go Tun karya Saini KM. Lalu ada Ibed Surgana Yuga yang menulis Para Agung sebagai versi lain dari naskah karya Ikranagara yang berjudul Saat Drum Band Menggeram-geram di Bekas Wilayah Tuanku Raja. Tearkhir ada Shinta Febriany menulis ulang Tidak Ada Waktu bagi Nyonya Fatmah,Barda dan Cartas menjadi sebuah naskah berjudul Ummu dan yang Tersembunyi di Balik Cemburu.

Di Jakarta, naskah hasil tulis ulang tersebut dibacakan oleh Lab Teater Ciputat, Stage Corner Community, dan Forum Aktor Yogyakarta. Sebelum dibacakan di Jakarta, naskah IDRF 2013 lebih dulu dibacakan di Yogyakarta pada 23-25 Oktober 2013.

IDRF berangkat dari kegelisahan Gunawan Maryanto dan Juned Suryatmoko soal semakin langkanya penulis naskah teater. Semasa zaman emas teater Indonesia pada 1970-an, meski masih terhitung minim, penulis naskah teater masih terakomodasi banyak media. Pada masa itu sayembara penulisan naskah teater kerap diselenggarakan. Biasanya, naskah yang jadi pemenang sayembara dibukukan dan dipentaskan.

Tradisi itu yang tidak ada lagi, setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir. Tidak ada lagi wadah untuk penulis naskah teater, kecuali si penulis memiliki dan menjadi bagian dari sebuah kelompok atau komunitas teater. "Akhirnya, penulis lakon tidak punya alasan untuk menulis lagi," kata Gunawan Maryanto, Penata Program IDRF.

Afrizal mengatakan kota dengan pasar dan media tumbuh sedemikian rupa. Sayangnya pertumbuhan itu tidak melihat arti penting pertumbuhan teater. Seperti kota, teater juga penting terkait dengan bagaimana warga menginternalisasi kotanya sendiri. "Ketika sebuah kota tumbuh dan tidak memperhitungkan pentingnya seni, dalam hal ini teater, ia seperti tumbuh tanpa memori, tanpa pembacaan," ujarnya.



*artikel di Majalah GATRA edisi 7/XX Desember 2013

No comments:

Post a Comment