Pagi itu Ngatemi bergegas. Rambut panjang yang ia kepang sampai sepinggang melambai-lambai mengikuti langkah kakinya. Perempuan asal Butuh Kulon itu berjalan kaki menuju Pesanggrahan, tempat wisata bekas pesanggrahan sultan kraton Surakarta yang terletak di bagian atas desa. Hari itu Sabtu 24 September 2011. Menurut informasi yang ia dapat, pada hari itu akan ada Pelatihan Pertanian Holtikultura Organik yang diadakan kader desanya bersama Yayasan Lestari Indonesia-PLAN Indonesia. Ngatemi ingin sekali belajar bertani, terutama pertanian holtikultura organik.
Angin dingin Lereng Merapi berdesir pelan. Matahari belum terlalu tinggi. Jarum jam belum juga menunjukkan pukul 08.30 WIB. Sampai di aula Pesanggrahan, ia mendapati beberapa panitia sedang mempersiapkan tempat pelatihan; menyapu dedaunan gugur, menggelar tikar dan mempersiapkan alat tulis. Di bawah Pesanggrahan sebelah timur, dengan jarak sekitar 50 meter, ia lihat Riyanto, warga Petung yang juga ketua kader desanya sedang mempersiapkan demplot. Rupanya demplot itu akan digunakan untuk praktek menanam.
Tak berapa lama, peserta lain pun datang. Pukul 09.00 WIB acara dibuka dan Kepala Desa Sidorejo, Suroso, memberikan sambutan. Dua orang pemateri siap berbagi ilmu. Keduanya berasal dari Desa Sidorejo.
Materi pertama diisi oleh Sukiman, praktisi pertanian asal Dukuh Mbangan, Sidorejo, yang juga koordinator radio komunitas Lintas Merapi. Ia menjelaskan pentingnya pertanian bagi masyarakat Lereng Merapi. Ia juga bercerita bagaimana usahanya memasyarakatkan pertanian di daerah Kaliwuluh Sidorejo, Tegalmulyo dan Balerante.
Pemateri berikutnya adalah Nur Sriyanto, praktisi pertanian asal Dukuh Karang, Sidorejo, yang juga ketua kelompok tani Desa Sidorejo. Pemateri yang akrab dipanggil Pak Nur ini menceritakan keprihatinannya perihal berkurangnya tradisi tani di Desa Sidorejo. Sungguh memprihatinkan, ujar Nur, masyarakat gunung yang terkenal akan tradisi pertanian sayurnya, untuk memenuhi kebutuhan sayur di dapurnya saja harus membeli. “Sekarang ini orang lebih memilih menambang pasir yang lebih cepat menghasilkan uang ketimbang bertani,” tambahnya.
Nur Sriyanto melanjutkan materinya dengan memaparkan cara-cara efektif bertani holtikultura, mulai dari persemaian, pengolahan lahan dan pemeliharaan. “Untuk proses pendederan, pupuk dan tanah yang digunakan adalah 1:3,” jelas Nur.
“Kalau menggunakan polybag, berapa ketebalan tanah yang dibutuhkan?” tanya salah satu peserta. Dengan sigap, Nur Sriyanto pun menjelaskan keuntungan dan kerugian dari penggunaan tanah yang terlalu tebal atau terlalu tipis.
Seusai penyampaian materi di aula pesanggrahan, peserta turun ke lokasi demplot. Bersama-sama mereka turut memasang mulsa yang akan digunakan untuk praktek bertani.
Dari lokasi demplot, peserta naik ke atas menuju Dukuh Mbangan. Di dukuh paling atas itu, mereka melihat langsung bagaimana hasil pertanian holtikultura yang sudah sukses dan berbuah. Mereka melihat langsung bagaimana pertanian memasyarakat dan tetap lestari di Dukuh Mbangan.
Darmanto, pemuda asal Butuh mengatakan senang sekali bisa ikut Pelatihan Pertanian Holtikultura Organik. Seusai pelatihan, ia berencana membagikan pengetahuan yang ia dapat kepada keluarganya. Bahkan ia berharap pelatihan semacam itu lebih sering lagi diadakan, terutama untuk tingkatan RT. “Kalau di tingkat RT bisa lebih intens dan mengena,” harapnya.
Seperti Darmanto, Bardi Widodo, warga asal Bono Kidul juga merasakan hal yang sama. Ia bersyukur bisa ikut Pelatihan Pertanian Holtikultura Organik. Apalagi beberapa bulan belakangan ini ia sedang menekuni pertanian. “Saya malah berencana mengundang Pak Sukiman dan Pak Nur di pertemuan kelompok tani di RT saya,” paparnya.
Nur Sriyanto punya keinginan besar memasyarakatkan kembali pertanian di daerahnya. “Saya senang sekali jika setelah pelatihan ini ada warga yang berdiskusi langsung dengan saya. Saya juga bersedia jika saya diundang ke pertemuan kelompok tani mereka,” ujar Nur, beberapa hari sebelum pelatihan.
Di Sidorejo, kisah Nur, sebetulnya sering sekali diadakan pelatihan pertanian. Pematerinya orang-orang pintar dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, sampai profesor. Namun pengetahuan mereka terlalu tinggi, sampai-sampai melupakan konteks lokalitas pertanian di lereng gunung. “Sering sekali begitu kami mempraktekan materi yang kami terima, hasil tanaman tak sesuai yang diharapkan. Karena suhu dan kelembaban di dataran tinggi dan rendah berbeda,” ujarnya.
Pertanian yang saya dan Mas Sukiman ajarkan, ujar Nur lagi, adalah pengetahuan yang kami dapat dari berbagai pelatihan. “Pengetahuan-pengetahuan tersebut sudah sukses kami praktekan sendiri di Lereng Merapi ini,” tambah Nur.
Pertanian holtikultura itu banyak filosofinya, ujar Sukiman. Holtikultura merupakan integrasi dari berbagai tanaman yang proses penanamannya saling melengkapi. Misalkan suami yang menanam, istri yang memelihara, dan bersama-sama memanen. Atau sebaliknya, istri yang menanam, suami yang memelihara dan memanen bersama. Integrasi tersebut menunjukkan seperti apa integrasi dalam rumah tangga, kelompok, bahkan masyarakat. Rumah tangga yang retak pasti berawal dari sistem pertanian yang kacau.
“Filosofi itu kadang juga kami gunakan sebagai guyonan. Misalkan ada teman yang dimarahi istrinya. Kami ejek ia dengan mengatakan di pertaniannya pasti sedang ada masalah,” kelakar Sukiman.
No comments:
Post a Comment