Ekofenomenologi: Mengurai Disekuilibrium Relasi Manusia dengan Alam
Penulis : Saras Dewi
Penerbit : Marjin Kiri, Tangerang Selatan, Maret 2015, ix+171 halaman
Merumuskan kembali musabab kerusakan lingkungan sekaligus memunculkan solusi baru melalui ekofenomenologi. Setingkat di atas ekofeminisme dengan kerangka berbeda.
Semasa kecil, penyair, penyanyi sekaligus pengajar Fakultas Filsafat UI Saras Dewi kerap menghabiskan waktu bersama kakeknya di Sanur. Bersama lanskap langit biru dan ombak bergulung dari Samudera Hindia yang menggumuli pasir-pasir pantai, sang kakek bercerita soal bagaimana alam sebagai sumber kehidupan itu bekerja. Kakek merisaukan soal massifnya pembangunan di Bali.
Kerisauan kakek kian menggurita ketika Saras dewasa. Hutan kayu dibabat habis berganti dengan hutan beton. Bahkan kawasan konservasi Teluk Benoa, tempat yang menjadi habitat sejumlah biota, direklamasi menjadi infrastruktur demi mempercantik pariwisata. Pembangunan mengubah wajah Bali tak lagi hijau, demi memuaskan ambisi segolongan manusia. Dan Bali hanya sekelumit kecil dari kerusakan lingkungan yang terjadi di seluruh penjuru dunia.
Kerisauan itu pula yang kemudian mendorong Saras untuk menekuni bidang filsafat lingkungan. Ia berupaya merombak pola epistemologis soal kaitan manusia dengan alam, lalu menuangkan hasilnya dalam disertasi berjudul Dimensi Ontologis Relasi Manusia dan Alam, Suatu Pendekatan Fenomenologi Lingkungan Terhadap Problem Disekuilibrium. Buku Ekofenomenologi: Mengurai Disekuilibrium Relasi Manusia dengan Alam adalah hasil pengemasan ulang disertasi di pascasarjana Universitas Gajah Mada itu.
Manusia sebagai pusat kebudayaan yang didengung-dengungkan pada abad ke-18 memperoleh validasi oleh banyak hal. Pada abad pertengahan, tafsir-tafsir kitab suci mengusung manusia sebagai khalifah di bumi. Pada abad pencerahan, rasio membenarkan asumsi manusia untuk menaklukan alam. Alam adalah semesta yang bertugas demi kepuasan dan ambisi manusia sebagai pemimpin sekaligus penakluk alam. Fondasi antroposentris ini berkembang pada revolusi industri. Ditemukannya mesin uap menjadi penanda awal lahirnya peradaban modern di mana eksplorasi teknologi kian gencar dan inovasi kian massif. Produksi berkembang secara massal, terutama dalam soal pertambangan, pertanian dan transportasi. Teknologi sebagai wujud kepongahan spesies manusia mengeksploitasi alam dan sumber dayanya habis-habisan.
Sayangnya, laku pongah itu terjadi tanpa menyadari dampak ekologis secara berkepanjangan. Belantara liar habis, hutan lindung terdegadasi, lapisan ozon menipis, udara tercemar, air juga tercemar. Alam hancur dan manusia berada di tengah kehancuran itu. Tapi toh konservasi pun hanya dianggap relevan jika melibatkan kepentingan ekonomis alam bagi ego manusia. Padahal belantara liar bukanlah sesuatu yang dapat dicipta dan direkonstruksi kembali, betapapun canggihnya upaya manusia untuk mewujudkan itu melalui teknologi.
Sejak kemunculannya pada 1950an, gerakan ekologi dan etika lingkungan kemudian berhasil merumuskan sekaligus menunjuk pandangan antroposentris sebagai musabab kerusakan ekologi. Metode ini berupaya mengeliminasi antroposentrisme sebagai wujud diskriminasi yang dilakukan manusia terhadap alam, tapi belum menyentuh akar persoalan, yaitu membedah relasi manusia sebagai subjek, dengan alam.
Saras menawarkan metode fenomenologi sebagai solusi persoalan ekologi. Metode ini mengkaji kembali hubungan ontologis manusia sebagai subjek dengan alam secara lebih mendalam. Melampaui gerakan ekologi yang ada dan etika lingkungan, fenomenologi lingkungan melihat tak perlu adanya pemilahan antara manusia dengan alam. Jarak diantara kedua ini justru menjadi petanda untuk membangun relasi secara substantif. Agar seimbang, manusia harus memiliki kesadaran betapa berharganya bumi dan betapa istimewanya bisa bernapas di alam raya. Saras menekankan pentingnya rekonstruksi kebudayaan yang memosisikan alam bukan sebagai latar belakang tapi inti kehidupan manusia: manusia dan alam adalah kehidupan itu sendiri. Era keserakahan dan teror manusia harus segera berakhir, bereformasi menjadi kebudayaan baru yang mewujudkan kecintaan terhadap kehidupan.
Beberapa dekade lalu Feminis India Vandana Shiva dan Maria Mies menelurkan gagasan soal ekofeminisme yang dituangkan dalam buku Ecofeminism. Keduanya merumuskan bahwa kerusakan ekologi senasib dengan persoalan jender. Seperti jender perempuan, alam tereksploitasi dan dihancurkan oleh maskulinitas manusia. Jika ekofeminisme menawarkan solusi persoalan ekologi dengan pendekatan feminisme, maka ekofenomenologi menyelesaikannya dengan metode fenomenologi. Jika feminisme mengusung konsep bahwa perempuan adalah manusia yang memiliki kesamaan hak seperti manusia dengan jenis kelamin lainnya, dan ekofeminisme berupaya mewujudkan prinsip feminitas yang ramah terhadap alam, maka ekofenomenologi menawarkan konsep bahwa alam adalah ciptaan Tuhan yang memiliki kesamaan hak pula seperti makhluk hidup lainnya, termasuk manusia.
*resensi ini bisa dilihat pula di Majalah GATRA edisi 30 April - 7 Mei 2015
*resensi ini bisa dilihat pula di Majalah GATRA edisi 30 April - 7 Mei 2015
No comments:
Post a Comment