Lakon adaptasi naskah teater garapan Arifin C. Noer dalam medium pantomim. Lebih susah ketimbang menginterpretasi naskah Samuel Beckett.
Laki-laki itu berdiri di tengah panggung dengan tubuh lesu. Keningnya berkerut. Ia seperti kebingungan. Matanya berusaha mengenali satu per satu dari empat sosok yang berseliweran di sekelilingnya. Ia tak menemukan wajah yang dicari.
Merujuk ke naskah teater garapan Arifin C. Noer, laki-laki itu bernama Darim, suami Eroh. Ia menghadapi lika-liku hidup dan pencarian identitas. Dari adegan itu, kita akan menduga Darim sedang mencari Eroh. Sebab, sebelumnya, terpapar adegan rutinitas kehidupan keluarga Darim yang lantas ditinggal pergi istrinya.
Tapi bukan Eroh yang dicari Darim. Ia sedang mencari wajahnya sendiri di wajah empat sosok yang berseliweran itu. Darim sedang mencari Darim; mencari jati dirinya.
Adegan tersebut merupakan bagian dari lakon Kocak-Kacik karya Arifin C. Noer. Dibawakan dengan pendekatan pantomim oleh Bengkel Mime Theatre (BMT) asal Yogyakarta, pada 16-17 April lalu di Teater Salihara, Jakarta Selatan. Kocak-Kacik menjadi satu dari lima lakon dalam rangkaian Helateater Salihara 2015 yang mengambil tema ''Persembahan Kepada Arifin C. Noer''.
Praktek mime yang dikembangkan BMT dalam mengurai naskah yang digubah pada 1975 ini mengarah pada gerak dalam struktur drama-tragis. Kalaupun ada unsur komedi, porsinya tidak sampai diperhitungkan. Lakon realis-tragis ini beririsan dengan karakter naskah Arifin yang khas, mengangkat peristiwa kehidupan sehari-hari seputar dunia ketiga dengan lokus dialog internal tokoh serta pengembangan-pengembangan imajinatif seperti pencarian identitas.
Plot dalam Kocak-Kacik dinilai unik dan tidak banyak dikenal, serta menawarkan banyak imajinasi. ''Cocok dengan karakter pementasan pantomim,'' kata sutradara pertunjukkan ini, Andreas Ari Dwianto.
Adaptasi naskah teater ke dalam bentuk teater mime, bagi BMT, bukan perkara mudah. Medium teater memiliki kebebasan penggunaan unsur verbal sebagai bagian dari upaya penyampaian. Sementara itu, dalam pantomim, proses penyampaian itu hanya melalui ekspresi dan gerak tubuh.
Dari dua babak naskah Kocak Kacik, Andreas menyederhanakannya untuk sajian mime berdurasi 50 menit. Tidak semua jalan kisah dipaparkan sebagaimana naskah aslinya. Hanya dipilih sejumlah peristiwa atau adegan yang dinilai mewakili keseluruhan cerita. Andreas menyebut modus itu sebagai interpretasi dari naskah asli. ''Bisa juga menjadi cerita tersendiri bagi orang yang belum membaca atau menontonKocak-Kacik versi teater,'' ia menjelaskan.
Pada umumnya, BMT pentas menggunakan naskah ciptaannya. Kalaupun mengadaptasi naskah lain, itu bersumber dari cerita pendek, puisi, atau cerita anak. Ini kali kedua bagi BMT mementaskan pantomim hasil adaptasi naskah teater. Kali pertama adalah adaptasi naskah Waiting for Godot karya Samuel Beckett. Naskah dibawakan dengan judul Menunggu dan pertama dipentaskan di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah dalam acara "Mimbar Teater Indonesia #4", September tahun lalu.
Menginterpretasi naskah Beckett, menurut Andreas, jauh lebih mudah ketimbang menginterpretasi naskah Arifin. Karya-karya Beckett dikenal menampilkan dialog naskah yang rigid berikut instruksi lakon yang jelas. Cukup dengan mengikuti instruksi naskah dan menghilangkan dialog. Tidak perlu banyak pengembangan. Sedangkan naskah Arifin sebaliknya, ''Terlalu banyak narasi, minim instruksi,'' kata Andreas, yang mengaku sangat tertantang menginterpretasi Kocak-Kacik ke dalam pendekatan mime.
Hasilnya, pada bagian yang tidak sedikit, nuansa mime pada pementasan ini dibuat untuk mengiringi teks verbal yang sudah banyak dikenal. Di antaranya pada khazanah gerak koreografis yang mengiringi lagu anak Topi Saya Bundar pada sebuah adegan. Gerak pada lirik ''kalau tidak bundar'' adalah cara BMT membaca Darim yang teralienasi dari masyarakatnya.
*versi ini bisa dilihat juga di Majalah GATRA edisi 30 April - 7 Mei 2015
No comments:
Post a Comment