Doea Tanda Cinta
Sutradara :Rick
Soerafani
Pemeran :
Fedi Nuril, Rendy Kjaernett, Tika Bravani
Produksi : Induk Koperasi
TNI Angkatan Darat bekerja sama dengan Benoa dan Cinema Delapan, Mei
2015
|
Sumber Foto: http://awanjakarta.com/berita-terkini/film-terbaru/doea-tanda-cinta-jadi-film-perjuangan-cinta-di-akademi-militer/ |
Ketika disodorkan undangan
untuk menonton film Doea Tanda Cinta, saya hanya melengos. Film
garapan lembaga tentu mengusung misi personal yang belum tentu ada
kaitannya secara langsung dengan publik. Atau bahkan sarat dengan
kepentingan personal. Apalagi dibikin oleh rumah produksi yang tak
memiliki nama besar, dengan produser dan sutradara tak terlalu
dikenal.
Tiga bintang utama film ini
bagi saya tak terlalu menarik dan bukan aktor moncer. Fedi Nuril
memiliki nama besar, terutama sejak perannya dalam film 5 cm. Film 5
cm diangkat dari novel populer dan meninggalkan kesan menarik bagi
banyak pembaca, terutama yang suka berpetualang. Film ini digarap
ketika menjelajahi alam bebas ala backpacker menjadi tren di
Indonesia. Meski begitu akting Fedi tak bagus-bagus amat. Tentu tak
bisa dibandingkan dengan Reza Rahardian yang selalu berakting
maksimal.
Salah satu pemeran lainnya
adalah Rendy Kjaernett. Ia mantan bintang sinetron yang beruntung
bisa memasuki dunia layar lebar meski kiprahnya bisa dikatakan tak
cemerlang.
Pemeran film dan sinetron
memiliki strata sosial berbeda dan jauh, sejauh langit dan bumi.
Pemeran film mengandalkan kemampuan akting sebagai modal utama,
sementara kemolekan fisik nomor berikutnya. Sedang dalam sinetron
berlaku sebaliknya kemolekan fisik kriteria utama meski kemampuan
akting tidak bagus-bagus amat.
Selain itu film ini juga
minim publikasi. Media yang mengulas film ini bisa dihitung dengan
jari. Film bagus umumnya memperoleh perhatian media dengan sangat
besar. Perhatian media bisa menjadi cara praktis untuk mengetahui
apakah film komersial terekomendasi untuk ditonton atau tidak.
Film Tjokroaminoto misalnya,
menguras perhatian media jauh sebelum syuting dilakukan. Jika
perbandingannya tidak setara karena Tjokroaminoto film biopik,
baiklah saya ambil contoh lain. The Raid yang mengusung Gareth Evans,
tokoh baru dalam dunia film, bahkan dalam seni peran, telah
mengalihkan perhatian banyak pemerhati film dunia. Film ini
memperoleh perhatian banyak festival film dunia, salah satunya
Festival Film Toronto dan menjadi box office di Amerika pada seri
keduanya.
Sialnya titah redaktur
mengamanatkan saya untuk menonton film ini dan membuat ulasannya.
Baiklah, sesekali nonton film “biasa” untuk mempertegas apa saja
yang membedakan “biasa” dan “tak biasa”. Akhirnya saya
datangi juga bioskop yang telah diramaikan oleh penonton-penonton
berseragam loreng.
Sebetulnya ada banyak hal
yang bisa dievaluasi dalam film ini. Tapi biar tampak kompak dengan
judulnya, saya ambil dari doea sisi saja, dari sisi plot dan posisi
film ini di tengah film menyoal kehidupan tentara.
*****
Akhirnya
pertahanan Mahesa (Rendy Kjaernett) runtuh juga. Pada salah satu sesi
latihan di hutan, kakinya menginjak batu rapuh. Tubuh yang sudah
sempoyongan itu kemudian terpeleset, jatuh ke sungai dan pingsan.
Bagi
anak kota dan putra petinggi militer seperti Mahesa, kehidupan di
rumah dan di pendidikan Akademi Militer (Akmil) tentu berbeda. Di
rumah ia dikelilingi kehidupan mewah dan hedonis. Apapun yang ia
inginkan bisa dengan mudah dicapai dengan materi dan embel2 pangkat
bapaknya. Sementara di Akmil sangat menyengsarakan. Bocah kebluk ini
harus apel pagi, hidup disiplin dan menghadapi berbagai latihan fisik
yang keras khas militer. Pola hidup begitu menyiksanya secara fisik
juga mental.
Berkebalikan
dengan Mahesa, Bagus (Fedi Nuril) justru lahir dan tumbuh di tengah
keluarga sederhana. Bersekolah tentara sudah menjadi impiannya sejak
kecil. Di Akmil itulah ia dan Mahesa dipertemukan. Mereka menjadi
karib dan bahkan terjebak cinta pada perempuan yang sama. Perempuan
itu adalah Laras (Tika Bravani), gadis asal Magelang yang baru lulus
SMA.
Suka
duka menempuh pendidikan di sekolah militer, hingga lulus dan
kemudian terjun ke medan operasi dalam satuan Kopassus ini dikemas
dalam film berdurasi 90 menit ini. Penggarapnya sutradara Rick
Soerafani dengan penulis skenario Jujur Prananto. Rick adalah
sutradara pendatang baru dalam dunia film. Sebelumnya ia telah
menyutradarai belasan video iklan. Sementara Jujur adalah Cerpenis
asal Salatiga yang karyanya bertebaran di media nasional. Debutnya
dalam dunia film ia mulai dengan menulis skenario Ada Apa dengan
Cinta berlanjut Petualangan Sherina.
Di
Indonesia, film-film menyoal kehidupan tentara bisa dibilang sedikit.
Beberapa diantaranya adalah Teror di Sulawesi Selatan, Madju Tak
Gentar, Tujuh Wanita dalam Tugas Rahasia, Enam Djam di Jogja, hingga
trilogi Merah Putih. Itu pun umumnya mengupas soal revolusi pasca
kemerdekaan dengan tahun produksi 1964 hingga 1980an--kecuali trilogi
Merah Putih yang diproduksi 2009, 2010 dan 2011. Film-film ini
menjadi oase bagi penggemar film bertemakan kehidupan tentara di
tengah semaraknya dominasi film bertema cinta dan horor.
Meski
menyoal kehidupan tentara, Doea Tanda Cinta lebih tergolong genre
laga-drama. Tak heran bila film ini lebih didominasi cerita cinta dan
secuil kisah para tentara berjibaku di medan operasi. Pada penghujung
film, Bagus dan Mahesa ditugaskan untuk menyelamatkan sandera,
seorang profesor LIPI, dari tangan segerombol penjahat yang dipimpin
John Reno. Sayangnya pertarungan di medan operasi itu hanya berdurasi
beberapa menit saja, amat minim untuk ukuran genre film laga. Apalagi
dengan adegan gerilya dan baku tembak yang tidak mencekam, tak cukup
untuk memacu adrenalin penggemar film laga.
Dari
sisi plot, film ini tak menawarkan hal baru. Diawali dengan adegan
tembak-menembak dalam operasi militer penyelamatan sandera di salah
satu hutan di Flores, Nusa Tenggara Timur. Alur kemudian mundur ke
awal cerita, dan melaju secara linier. Sayangnya film ini tak banyak
memberikan kejutan, tiap perkembangan alurnya sangat mudah ditebak.
Misalnya siapa pemenang diantara cinta segitiga, tokoh mana yang
tertembak mati di medan operasi, hingga berhasil atau tidaknya upaya
penyelamatan sandera. Satu-satunya kejutan yang dimunculkan adalah
ketika Bagus melompat dari helikopter yang siap tinggal landas demi
membalas kematian sahabatnya. Meski juga alur ini tampak lucu, karena
logikanya tak akan ada tentara yang membiarkan tentara lainnya terjun
sendirian menghadapi sekelompok penjahat.
*versi
lain dari ulasan ini ada di Majalah GATRA