SAN
ANDREAS
Sutradara : Brad Peyton
Pemeran : Dwayne Johnson, Carla
Gugino, Alexandra Daddario, Paul Giamatti
Produksi : New Line Cinema,
2015
Malaikat hadir dengan cara klise dalam film-film bencana garapan Hollywood. Tidak terkecuali dalam San Andreas. Praktek CGI-nya masih kalah seru dibandingkan dengan 2012.
Dari
helikopter, Ray Gaines (Dwayne Johnson) melemparkan tali. Kali ini
pilot helikopter search
and rescue itu
bukan menyelamatkan warga umum yang terjebak dalam bencana, melainkan
ibu dari anaknya. Emma (Carla Gugino), perempuan yang telah menggugat
cerai Ray, terjebak di atas reruntuhan gedung, di Los Angeles.
Gempa besar mengakibatkan gedung itu hancur dan dilalap api. Perempuan itu harus berlompatan di antara reruntuhan demi menyelamatkan diri. Sementara di tempat lain, putri mereka, Blake (Alexandra Daddario ), berteriak panik. Kakinya terjepit jok depan limousin yang tertimpa tembok di sudut parkiran gedung bertingkat. Tapi, siapa yang mau menolongnya di tengah gempa bumi begini. Orang-orang pada berhamburan dan berupaya menyelamatkan diri. Bahkan, calon ayah tirinya saja lebih memilih mencari selamat sendiri.
Gempa besar dari patahan San Andreas itu benar-benar anomali. Diprediksikan datang tiap 150 tahun dan tak kunjung tiba setelah lewat dari 100 tahun. Sekalinya datang, tanpa prediksi dan meluluhlantakan apa saja yang ada di sekitarnya. Patahan sepanjang 800 mil itu siap melahap daratan Amerika, dari Los Angeles hingga San Fransisco.
Setelah sukses menyuguhkan Journey to the Center of the Earth (2008) dan Journey 2: The Mysterious Island (2012), sutradara Brad Peyton masih ketagihan menyuguhkan film petualangan. Kali ini menyoal lanskap kiamat akibat gempa bumi besar dalam film San Andreas. Peyton bahkan juga masih ketagihan bermitra dengan tokoh yang sama dalam film Journey 2: The Mysterious Island (2012), yaitu Dwayne Johnson atau yang lebih dikenal dengan panggilan The Rock.
Dari sisi plot, secara umum, film bencana memiliki pola yang sama. Mengemas narasi besar soal musibah yang datang dan menelan banyak korban. Kemudian muncul sosok 'malaikat' penyelamat yang membantu korban, menyelamatkan dari musibah, dan narasi berakhir bahagia. Tarikan napas lega berlaku di setiap akhir film.
Ramuan klise itu berlaku juga dalam San Andreas. Pasangan suami-istri yang hampir bercerai dan disatukan kembali oleh bencana serta penyelamatan anak mereka.
Bingkai klise itu, seperti pada film-film keluaran Hollywood, diramu dengan teknologi visual untuk menggambarkan kedahsyatan bencana. Tanah bergetar, jembatan luluh lantak, tsunami menyerang dan gedung-gedung runtuh berhamburan. Persis seperti runtuhnya kartu-kartu dalam permainan domino.
Bantuan teknologi computer-generated imagery (CGI) membuat visualisasi film ini tampil ciamik. Memacu jantung penonton dan menjebaknya dalam kekhawatiran yang berkepanjangan ketika bencana itu nyaris merenggut sang tokoh.
Ramuan komersial San Andreas paling mudah dibandingkan dengan film 2012 garapan Rolland Emerich. Dalam konteks hiburan (cukup dengan ''h'' kecil), San Andreas masih tertinggal dari 2012. Baik dari sisi plot maupun suguhan efek khusus dan CGI-nya.
San Andreas hanya menyuguhkan kiamat kecil sepanjang Los Angeles hingga San Fransisco. Sedang 2012, yang pernah dinominasikan sebagai film laga atau petualangan terbaik oleh Saturn Award, menawarkan kepentingan sejagat. Bencana besar yang meluluhlantakan dunia dengan sajian visualisasi maksimal.
Pengalaman dua sutrdara dalam dua film bencana itu juga bisa jadi penyebab perbedaan tersebut. Emerich yang lebih dulu malang-melintang di dunia sinema, telah memproduksi sederet film berbau kiamat. Di antarnya Independence Day, The Day After Tomorrow. Emerich menguras ongkos US$ 200 juta untuk memproduksi2012. Sedangkan Peyton ''hanya'' menghabiskan separuhnya buat San Andreas.
No comments:
Post a Comment