-->
Adinda Mandita Praharsacitta yang menyandang
autisme menuangkan kisah pilu pengungsi Rohingya mencari suaka dalam bentuk
desain kerudung untuk Jakarta Modest Fashion Week 2018.
Foto oleh Hayati Nupus |
JAKARTA (AA) – Adinda Mandita Praharsacitta, 18
tahun, menyodorkan hasil gambarnya. Berupa serombongan manusia memboyong
seluruh harta bendanya: uang, pakaian, makanan. Juga anak-anak yang tak
berhenti menangis.
“Mereka warga Rohingya, mau mengungsi ke luar
angkasa,” kata Dita, sapaan akrab Adinda Mandita Praharsacitta, Rabu lalu.
Dalam imajinasi Dita yang menyandang autisme, luar
angkasa lebih menjanjikan kedamaian ketimbang manusia-manusia di dunia. Di
dunia, warga etnis Rohingya dianiaya dan diusir dari negaranya di Myanmar.
Perang dan pengusiran semacam itu, kata Dita, juga
dialami warga Afghanistan dan Palestina.
Dita kembali menyodorkan hasil gambar berikutnya,
dengan tema masih terkait. Jika gambar pertama itu berupa eksodus manusia,
gambar lainnya berupa negeri yang hancur berantakan akibat perang. Dita
menggambarkan senjata laras panjang, bom, bendera robek, baju bolong-bolong,
ambulans, rumah sakit, tangan-tangan yang saling menggenggam, dan teriakan
minta tolong.
Dita melengkapi kedua gambar ini dengan gambar
lain berisi 12 anak ayam yang kehilangan induknya.
“Ada yang orang tuanya dibunuh, seperti anak-anak
Rohingya,” ungkap Dita.
Ketiga gambar ini diaplikasikan dalam bentuk
fashion kerudung untuk perhelatan fashion tingkat dunia Jakarta Modest Fashion
Week 2018.
Korban perundungan
Saat lahir 6 Mei 2000 lalu, tak tampak kekurangan
apapun dalam fisik Dita. Dia lahir lengkap, dari ujung rambut hingga ujung
kuku, seperti anak lainnya.
Hal aneh itu mulai Dian Parmitasari, ibu Dita,
rasakan saat anaknya berusia 6 bulan. Pandangan Dita tak fokus, saat menyusu
pun perhatiannya dengan mudah teralihkan.
Namun Hendro Prastowo, ayah Dita, menampik hal
itu. Hendro berpendapat jika itu kekhawatiran Dian saja.
Seiring bertambahnya usia, kian tampak jika
perkembangan anak bungsu dari tiga bersaudara itu terlambat. Dita baru bisa
melafalkan nama di usia 1,5 tahun, saat anak-anak lain sudah pandai berceloteh.
Cara Dita berjalan pun tidak fokus. Dia sering menabrak tembok, kursi, atau
kaca, namun tak menangis ketika terjatuh.
Kelambatan itu kian terasa saat Dita memasuki
bangku sekolah. Dita sulit berkonsentrasi, hiperaktif, terlalu cuek, hingga tak
naik kelas.
Akibatnya, di sekolah Dita kerap menjadi objek
perundungan teman-temannya, bahkan guru-gurunya.
“Malahan ada guru yang merobek hasil gambar Dita,
karena tidak sesuai dengan yang diinginkan,” keluh Dian.
Tak cocok dengan sekolah yang satu, Dita berpindah
ke sekolah lainnya. Selama menempuh Sekolah Dasar, Dita tercatat tiga kali
berganti sekolah.
“Ini perjalanan panjang, tapi saya dan Dita harus
lalui,” tutur Dian.
Dian mengadukan kelambatan perkembangan anaknya
pada pakar pendidikan Arief Rachman. Arief berkata, untuk anak seperti Dita,
perlu sekolah yang dapat mengembangkan kreatifitas dan keahliannya.
Lantas Dita berpindah sekolah ke Garuda Cendekia,
yang didirikan Arief Rachman bersama pakar pendidikan Doued Joesoef. Di sekolah
baru itu, Dita yang seharusnya duduk di bangku kelas VIII, memulai kembali ke
bangku kelas VII.
Sekolah baru itu lebih ramah ketimbang sekolah-sekolah
yang pernah Dita enyam sebelumnya. Dita makin kreatif, Dian pun tak perlu lagi
dipusingkan dengan perundungan seperti yang terjadi di sekolah sebelumnya.
Dita paling berbakat soal gambar. Hasil gambarnya
berkarakter, seputar satwa yang dikembangkan dengan imajinasinya, dan makhluk
luar angkasa. Dian juga menyediakan guru les seputar animasi dan melukis
kanvas, agar bakat Dita berkembang.
Seiring kian terasahnya keahlian Dita menggambar,
dia menerbitkan buku komik. Dari tujuh komik, enam di antaranya diterbitkan
sendiri. Komik pertama berjudul Permusuhan dengan T-Rex, yang dia buat di usia
13 tahun. Buku keduanya berjudul The Invasion of Lizard Alien, buku ketiga dan
keempat berjudul Rex dan Spoty, serta buku keenam hasil kolaborasi dengan
penyandang disabilitas lain berjudul My Life, My Dream. Sedang buku terakhir,
Mewarnai Monster Fantasi, diterbitkan oleh Penerbit Bestari, Agustus 2017 lalu.
Saat ini Dita tengah menyusun buku komik dengan
tokoh bernama Luigi, mumi peninggalan Mesir kuno berkostum hitam-putih.
Ceritanya, Luigi yang baik hati suka malas mandi. Akibatnya dia sering dikejar
lalat-lalat.
Rencananya, komik Luigi akan terbit akhir tahun
ini.
Dian juga mengaplikasikan hasil gambar Dita dalam
beragam media. Stiker, tempat pensil, bantal, kaos, jaket, payung, tas dan
kerudung. Dengan merk Mandita, Dian memasarkan produk-produk hasil desain Dita
ke berbagai pameran.
“Saya ingin dia mandiri, dan menginspirasi banyak
orang kalau anak autis juga bisa berkembang dan hidup mandiri,” kata Dian.
Dita juga beberapa kali menjadi pembicara di
berbagai talk show. Meski menyandang autisme, tutur kata Dita tertata.
Dita mengaku bercita-cita menjadi animator. Tahun
ini dia naik ke kelas XII. Tahun depan, dia akan melanjutkan sekolah ke
universitas.
Desain untuk donasi
Dalam Jakarta Modest Fashion Week yang digelar
26-29 Juli 2018 di Jakarta, kerudung kisah pengungsi hasil desain Dita
dipamerkan dengan merk Dhiendanasrul, bersama sederet produk fashion hasil
rancangan Dhienda Nasrul lainnya.
Pameran ini juga melibatkan karya fashion difabel
dari Turki dan Jerman. Pernah digelar di Istanbul, London, dan Dubai, ini kali
pertama Modest Fashion Week melibatkan kelompok difabel.
Dhienda Nasrul, desainer fashion yang menggunakan
karya Dita mengatakan terdapat 15 persen jumlah difabel dari seluruh populasi
di dunia. Sebagian besarnya merupakan perempuan.
Dhienda mengakui, tak mudah menemukan difabel
dengan keahlian yang sudah ‘jadi’ seperti Dita.
“Karya Dita memiliki pesan kuat, setiap hasil
desainnya memiliki makna,” kata perempuan berdarah Aceh ini.
Dhiendana menengarai jika anak difabel sebetulnya
memiliki bakat. Bakat itu yang perlu dikembangkan.
Selain Dita, Dhienda juga menggunakan hasil desain
dua orang difabel lainnya. Nantinya, 10 persen hasil penjualan produk para
difabel itu akan disumbangkan ke Yayasan Selasih Indonesia, yayasan yang
membantu pencari suaka dari berbagai negara yang hidupnya terkatung-katung di
wilayah Jakarta Barat dan tak memperoleh bantuan LSM.
“Dengan kekurangan yang ada, mereka tetap dapat
membantu sesama, membantu pengungsi,” kata Dhienda.
No comments:
Post a Comment