Menjadi nakhoda kapal tanker bukan perkara mudah.
Jika sampai bocor, isi kapal tak hanya mengotori lautan namun juga berpotensi
meledak.
Hayati Nupus
JAKARTA (AA) – Peristiwa lama itu terasa masih
segar dalam ingatan Agustin Nurul Fitriyah, 38 tahun, nakhoda kapal tanker
pertama dan satu-satunya di Indonesia.
Pada suatu siang yang terik di tahun 2012, kapal
yang dia nakhodai di perairan Belawan tiba-tiba kedatangan tamu tak diundang.
Mereka adalah tiga laki-laki perompak bertubuh kekar dan berkulit legam yang begitu
saja naik ke geladak lewat lubang jangkar yang kecil.
“Haluan-haluan, bagaimana, aman?” kata Agustin
lewat radio HT. Dia belum menyadari kedatangan perompak yang tengah menodongkan
belati ke leher salah satu kadet yang tengah berjaga.
Todongan belati ke leher itu merupakan ancaman perompak
agar kadet tak menjawab pertanyaan Agustin.
Sang kadet sebetulnya sudah bilang pada perompak
bahwa kapal tengah kosong, tak ada bensin, solar ataupun avtur. Namun rupanya
perompak mengincar barang lain dari kapal MT-Pematang yang masih baru nan
kinclong itu. Mereka hendak mencongkel zing anode atau pelindung dinding bawah
kapal dari korosi air laut yang terbuat dari tembaga dan berharga mahal.
Agustin heran, biasanya kadet langsung memberi
respon jika dia melemparkan pertanyaan. Namun kali ini tak ada jawaban sama
sekali.
“Hati-hati, sepertinya ada perahu mendekat, tolong
dicek ya,” ujar Agustin lagi, sambil memantau radar yang menunjukkan adanya
perahu perompak yang tengah mengincar kapal.
Agustin tak juga memperoleh jawaban. Saat menengok
ke geladak, dia kaget melihat ada belati di leher anak buahnya.
Lewat HT, Agustin berteriak keras soal adanya
perompak di geladak. Pesan itu langsung sampai ke 35 orang anak buahnya, juga
terdengar ke telinga perompak.
Mengetahui seluruh penghuni kapal bersiaga dan
hendak menyerbu, ketiga perompak itu lari. Mereka kembali masuk ke lubang
jangkar dan kabur.
Dari
perompak hingga kapal tua
Agustin yang bekerja menakhodai kapal tanker
Pertamina sejak 2009 mengaku sudah sering bertemu perompak di lautan. Dia
bersyukur, sejauh ini perompak tersebut tak sampai mengambil nyawa anak
buahnya, malah dia yang berhasil membuat perompak-perompak itu kabur.
Mahalnya harga minyak bumi yang dibawa kapal
tanker kerap menjadi incaran perompak. Apalagi kapal tanker itu pun membawa
uang operasional dan upah nakhoda yang jumlahnya tak sedikit.
Isi kapal itu pun memiliki risiko lain, jika
sampai bocor, tak hanya mengotori lautan, namun juga berpotensi meledak. Nyawa
Agustin dan anak buahnya menjadi taruhan.
“Sama seperti kita tidur di atas bom,” tukas
Agustin kepada Anadolu Agency, Selasa, di Jakarta.
Namun umumnya perompak di Indonesia, tutur
Agustin, lebih sering mengincar hal-hal kecil seperti tali, jangkar atau zing
anode dari kapal. Jika dilihat sepintas benda-benda itu nampak sepele, namun
dampaknya luar biasa jika diambil pencuri.
“Kapal tidak bisa berlabuh kalau tidak ada jangkar
atau tali,” kata Agustin.
Selain itu, hal yang perlu diwaspadai dari
perompak di Indonesia adalah senjata yang mereka bawa. Salah strategi atau
negosiasi sedikit saja, senjata itu bisa melukai awak kapal.
Menjadi pelaut juga berarti kerap bertemu cuaca
buruk. Hujan disertai angin dan badai setinggi lima meter. Saking seringnya,
Agustin malah menganggap itu hal biasa.
Tantangan paling besar, menurut Agustin, adalah
begitu banyak kapal di Indonesia yang sudah berusia tua. Bahkan sudah tak layak
jalan, namun masih dipakai.
Tahun lalu, Agustin kejatahan menggunakan kapal
MT-Pungut 3500 yang bahkan berusia lebih tua ketimbang umurnya. Onderdil kapal
itu sudah banyak yang rusak, namun terus diperbaiki. Dari Pelabuhan Plaju,
Palembang, Agustin harus menakhodai kapal itu untuk mengantar 8500 kiloliter
solar ke Lampung.
Baru beberapa meter berjalan keluar dari Pelabuhan
Plaju, langkah kapal tertahan oleh dua kapal tongkan yang berjalan lambat.
Agustin tak bisa menyalip ke kanan karena tubuh kapal yang besar dan lebar
jalur pelabuhan yang sempit. Sedikit saja menabrak kapal lain, kapal yang dia
bawa akan bocor dan solar akan bercecer. Badan kapal yang renta dan bocor
membuat lumpur naik ke atas kapal. Padahal jika dia tak mengantar solar itu
tepat waktu, listrik di Lampung akan mati total.
Jika sudah
terjebak begini, Agustin berusaha untuk tidak panik. Karena jika dia panik,
seluruh anak buahnya akan turut panik.
Perlu enam jam hingga Agustin dapat melewati jalur
pelabuhan yang sempit itu kemudian melaju menuju Lampung.
“Kalau cuaca, badai, perompak, masih bisa dihadapi
bersama, tapi kalau human eror atau kapal tua itu susah,” ungkap dia.
Perempuan
yang teliti
Menjadi pemimpin kapal dan satu-satunya perempuan
di atas kapal tersebut, Agustin merasa tak pernah dianggap minor. Dia tak
menemukan adanya pandangan yang bias gender di atas kapal. Seluruh anak buahnya
menghormatinya.
“Di atas
kapal, siapapun takut sama nakhoda,” kelakar Agustin sambil tertawa.
Lagipula, kata Agustin, syarat menjadi nakhoda
bukanlah berdasarkan jenis kelamin. Melainkan pengetahuan nautika, logika dan
kemampuan mengendalikan kapal.
Justru nakhoda perempuan memiliki kelebihan,
lanjut Agustin. Ketelitian perempuan menjadi modal besar untuk menjaga kapal
tanker yang penuh risiko. Perlu keahlian khusus mengemudikan kapal tanker agar
minyak bumi yang dibawa tetap cair dan tidak membeku hingga beralih ke daratan.
Bias gender itu, ujar Agustin, justru tampak di
daratan. Jangankan untuk menjadi kapten kapal, untuk menjadi Chief Officer atau
asisten nakhoda saja perlu dites berkali-kali karena pemikiran minor penguji.
Agustin pertama kali menjadi mualim pada 2004,
selepas lulus dari Politeknik Ilmu Pelayaran, Semarang. Waktu kecil perempuan
kelahiran 17 Agustus 1980 ini bercita-cita untuk menjadi dokter. Namun mimpi
itu tak terwujud karena ayahnya hanya seorang bintara polisi bergaji kecil.
Saat SMA, dia bertemu senior di kampung yang
tengah pulang setelah perjalanan dari Jepang. Senior sukses itu rupanya bekerja
di bidang pelayaran.
Sejak itu, Agustin bercita-cita untuk menjadi
nakhoda, khususnya nakhoda kapal tanker. Nakhoda kapal tanker bergaji
menggiurkan, karena memang lebih berisiko ketimbang membawa kapal penumpang
atau kargo.
Begitu menyatakan keinginannya bersekolah di
bidang pelayaran, ayah Agustin tak setuju. Sekolah pelayaran berarti bersekolah
di lingkungan yang mayoritas pesertanya laki-laki. Tradisi keluarga Agustin di
Tebuireng, Jawa Timur, posisi perempuan dan laki-laki dipisahkan, meski di
lembaga pendidikan.
Berkat dukungan dan bujukan sang ibu, toh bapak
melepas Agustin juga, meski dengan berat hati.
Kini Agustin telah hilir mudik membelah lautan
nusantara, mengirimkan bahan bakar minyak agar listrik, pesawat dan alat
transportasi lainnya dapat beroperasi. Dia menjadi inspirasi
perempuan-perampuan yang tengah menempuh pendidikan untuk menjadi mualim.
Alumnus pascasarjana Program Studi Manajemen
Transportasi Universitas Trisakti ini kini tengah menempuh pendidikan untuk
menjadi asesor untuk Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) mualim.