Berkali-kali
menjadi korban perdagangan manusia, Maizidah Salas, kini aktif mengadvokasi
buruh migran
Hayati Nupus
JAKARTA (AA)
– Tak tampak sedikitpun gurat kegetiran di wajah Maizidah Salas, 42 tahun,
perempuan asal Wonosobo, Jawa Tengah, meski berkali-kali menjadi korban
perdagangan manusia.
Justru yang
tampak adalah ekspresi tegar, setelah perempuan ini memilih untuk menjadikan
pengalaman pahit itu sebagai pelajaran.
“Rasa pahit
itu sudah terlewati, masa lalu harus kita jadikan pelajaran agar hidup
menyenangkan lagi, dan bermanfaat bagi banyak orang,” ujar Maizidah, kepada
Anadolu Agency, pada Selasa di Jakarta.
Korban
perdagangan manusia
Maizidah
menuturkan jika pengalaman pahit itu bermula ketika dia menjadi korban
perkosaan semasa kelas 1 SMA pada 1992. Layaknya warga desa miskin dan berpendidikan
rendah pada umumnya, orang tua memutuskan untuk menikahkan Maizidah dengan
pelaku sebagai solusi.
Alih-alih
bahagia, Maizidah justru harus putus sekolah dan kemudian menjadi korban
kekerasan dalam rumah tangga. Suaminya kerap menyiksa, memukuli, menjambak,
meludahi, bahkan membenturkan kepala Maizidah ke tembok.
Siksaan itu
tetap terjadi ketika Maizidah hampil hingga melahirkan. Siksaa baru reda ketika
suaminya tak pulang selama belasan bulan karena kepincut perempuan lain di
Jakarta.
Demi
menghapus rasa pahit dan mencari penghidupan untuk anaknya, pada 1996 Maizidah
yang sempat depresi akibat perlakuan suaminya memilih untuk mengadu nasib ke
Korea Selatan. Dia terbang ke negeri orang berkat hasil berutang kepada bidan
desa.
Enam bulan
menghirup udara negeri ginseng, Maizidah beroleh kabar jika suami
menceraikannya.
“Justru saat
itu saya merasa merdeka, merasa lepas dari beban besar,” kenang Maizidah.
Namun krisis
ekonomi global pada 1998 membuat perusahaan tempat Maizidah bekerja menjadi
bangkrut. Maizidah harus beberapa kali berpindah tempat kerja, menganggur,
hingga kemudian dipulangkan ke Indonesia.
Tinggal di
Indonesia tak juga membuat Maizidah bahagia. Dia tertekan dengan stigma janda
di masyarakat. Dia juga berpikir bagaimana memenuhi kebutuhan anaknya. Dengan
menjual ladang orang tua, pada 2001 Maizidah kembali mengadu nasib ke luar
negeri, kali ini ke Taiwan.
Baru sampai
Jakarta, Maizidah tertipu, uang hasil penjualan ladang yang sedianya akan
digunakan untuk melamar bekerja di perusahaan manufaktur di Taiwan melayang
begitu saja.
Maizidah yang
enggan kembali mengecewakan orang tuanya memilih tidak pulang, dia mendaftar ke
PJTKI yang mengurusi Pekerja Rumah Tangga migran yang biaya pendaftarannya jauh
lebih murah.
Setelah tiga
bulan tinggal di penampungan di Jakarta, barulah Maizidah menjejakkan kaki di
Taiwan, meski kondisinya tak seperti yang dijanjikan sejak awal.
Mulanya
Maizidah dijanjikan akan bertugas mengurusi seorang jompo tunanetra. Faktanya,
dia harus mengurus seluruh penghuni rumah empat lantai dengan pemilik seorang
pengelola restoran.
Saban hari,
Maizidah bekerja sejak pukul 04.00 hingga 01.00 dini hari. Selain mengurus
rumah, dia juga harus membuat puluhan kilo acar kol, mencuci usus babi, memasak
daging babi dan serangkaian pekerjaan restoran lainnya.
Tak hanya
itu, Maizidah bekerja tanpa pernah merasakan upah. Dia tak memperoleh jatah
cuci bahkan dilarang berbicara dengan orang lain.
Jalan terang
datang ketika Maizidah salah membaca resep dan membuat masakan tidak enak.
Majikan marah dan agen mengalihkan Maizidah ke majikan baru yang ramah. Di
tempat baru itu tugas Maizidah hanya membersihkan rumah.
Sayangnya
jalan terang itu hanya sekejap, sang agen datang karena majikan lama tak bisa
mengambil PRT baru jika Maizidah belum dipulangkan ke Indonesia.
Maizidah
menolak, dia kabur dan sejak saat itu menjadi TKI ilegal. Dia sempat ditipu
agen lain dan menguliki beragam pekerjaan. Menjaga lansia, menjadi pekerja
restoran, hingga bekerja di pabrik jagung.
Saat
penghidupannya mulai membaik, Maizidah menyewa apartemen dan menjadikannya
tempat penampungan TKI yang terkena masalah. Bersama teman-temannya sesama
buruh migran, Maizidah mendirikan organisasi yang bergerak untuk advokasi TKI.
Dengan
organisasi itu, Maizidah mendampingi TKI bermasalah dan masuk ke kelompok
kelompok pekerja untuk berdiskusi soal hak-hak buruh migran. Hingga Maizidah
yang berstatus ilegal ditangkap apparat setempat dan dia dideportasi ke
Indonesia.
Kampung
buruh migran dan produser film
Di tanah air,
Maizidah berjualan pulsa untuk menghidupi diri dan anaknya. Dia sempat hampir
tergiur pada ajakan calo TKI yang saban hari wara-wiri merayu warga kampungnya
untuk mengadu nasib ke negeri orang.
Namun
Maizidah membulatkan tekadnya untuk melanjutkan misi advokasi buruh migran,
seperti yang dia lakukan di Taiwan.
Di
kampungnya, ada ratusan mantan buruh migran dan tak sedikit yang bernasib
serupa seperti Maizidah. Bahkan ada yang sampai mengidap gangguan jiwa.
Bersama
teman-temannya di Wonosobo, pada 2010 Maizidah membentuk Solidaritas Perempuan
Migran Wonosobo (SPMW). Rupanya peminat organisasi itu banyak, dan pada 2011
Maizidah membentuk Kampung Buruh Migran.
KBM memiliki
sederet kegiatan. Dari diskusi rutin, pelatihan tenaga kerja, pelatihan
kewirausahaan, pendampingan kelompok, koperasi simpan pinjam, sampai membuat
film. Mereka berbagi bagaimana cara mengembangkan usaha di kampung sendiri,
atau jika terpaksa menjadi TKI, bagaimana agar dapat bermigrasi dengan aman.
Soal film,
tercatat sudah dua film diproduksi, dengan tema seputar buruh migran. Film
pertama berjudul Rindu Utami, sedang film kedua berjudul Impian Negeri
Berkabut, berkisah tentang mimpi meraup penghidupan di negeri orang namun
terganjal kasus dan sayangnya proses hukumnya amat suram.
Film-film itu
diproduseri langsung oleh Maizidah. Produksi bahkan aktornya pun bekas buruh
migran. Film-film itu diputar ke berbagai desa dan sekolah, terutama SMK.
“Kami juga
berdiskusi di sana, siswa-siswa usia sekolah itu kelompok rentan yang menjadi
target calo, mereka perlu memperoleh informasi soal perdagangan manusia,” kata
Maizidah.
Maizidah
merasa film adalah medium efektif dan mudah sebagai literasi hal-hal menyoal
buruh migran. Medium tulisan, menurut Maizidah, konsumennya bisa jadi terbatas,
sedang medium lisan rentan terlupakan.
Badan
Nasional Penempatan dan Perlindungan (BNP2) TKI menjadikan KBM sebagai proyek
percontohan untuk membentuk kampung buruh migran lainnya di Indonesia, seperti
di Banyuwangi, Lampung, Malang dan Sukabumi.
Belakangan,
SPMW melebur ke Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), dengan menjadi SBMI
Cabang Wonosobo. Maizidah kemudian mengurusi Divisi Pengembangan Ekonomi SBMI
Nasional di Jakarta. Di ibukota, dia melanjutkan sekolah di Kejar Paket C dan
meneruskannya ke Jurusan Hukum Perdata Universitas Bung Karno. Dia menyabet
gelar sarjana hukum pada Oktober 2014 lalu.
Maizidah kini
tinggal di Jakarta, bersama suami baru dan kedua anaknya. Atas kerja kerasnya
mendampingi buruh migran, Maizidah beroleh sederet penghargaan. Ternyaar,
namanya masuk dalam sembilan list of 2018 Tip Report Heroes dari pemerintah
Amerika Serikat pada Juli lalu.
Kepala Sub
Direktorat Kelembagaan dan Diplomasi Perlindungan WNI dan Bantuan Hukum,
Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha, mengatakan sepanjang 2014-2017 terdapat
1548 kasus yang menimpa TKI.
Namun jumlah
itu, menurut Judha, seperti fenomena gunung es, ada banyak kasus yang tidak
dilaporkan atau tidak bisa ditindaklanjuti.
“Perkiraan
kami jumlah tindak pidana perdagangan orang sebenarnya lebih banyak,” kata
Judha.
Sayangnya,
kata Judha, kasus-kasus tersebut hanya bisa ditangani di negara transit atau
negara tujuan, bukan di negara asal. Perlu kerja sama dengan berbagai negara
agar proses hukum berjalan lancar.
Judha juga
mengatakan bahwa pemerintah berupaya mencegah meningkatnya kasus perdagangan
orang, salah satunya dengan moratorium pengiriman TKI ke Timur Tengah.
No comments:
Post a Comment