Thursday, October 4, 2018

Bocah yang diborgol, ditahan di sel sekolah


Dengan tuduhan mencuri, seorang anak beroleh aksi kekerasan dari sekolahnya
Hayati Nupus
JAKARTA (AA) –  RS, 17 tahun, keluar dari Bandara Hang Nadim, Batam, Kepulauan Riau, dengan tangan terborgol dan diiringi tatapan pengunjung.
Seperti yang dituturkan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan Retno Listiyarti, salah satu SMK swasta di Batam, tempat RS bersekolah, menuduh RS sebagai pelaku sederet aksi kriminal di tempat praktik kerja lapangan.
“Dia dituduh mencuri, mengedarkan narkoba dan melakukan kekerasan terhadap pacarnya, padahal juga belum terbukti,” ujar Retno kepada Anadolu Agency, pada Rabu, di Jakarta.
Pelaku pemborgolan itu adalah ED, anggota kepolisian sekaligus pembina sekolah tersebut. Memperoleh informasi RS akan kembali dari Jakarta ke Batam, Jumat lalu, ED bersama timnya sudah bersiaga di bandara untuk membekuk RS yang masih anak-anak.
Begitu memasuki mobil, masih dengan tangan terborgol, RS beroleh kekerasan lain. Sepanjang perjalanan dia dicengkeram dengan lengan, dipukul, sekaligus ditampar.

Dipenjara di sel sekolah
Peristiwa nahas itu bermula ketika RS dan teman-temannya sedang praktik kerja lapangan (PKL) di Jakarta, tutur Retno.
Teman-teman menuduh RS mencuri dan mendesak RS untuk mengaku. Merasa tak seperti yang dituduhkan, RS kabur dari tempat PKL dan penginapan bersama di Jakarta.
Sesampainya di Batam, ED langsung membekuk ED. Bukannya mengembalikan RS ke rumah, ED malah menempatkannya di sel tahanan milik sekolah.
Esoknya, RS disidang dan dihukum dengan hukuman berjalan jongkok mengelilingi pekarangan sekolah. Tangan RS masih terborgol, dan aksi itu disaksikan teman-temannya. Pekarangan sekolah yang beraspal membuat kaki RS terluka. Hukuman berlanjut dengan upacara pelepasan atribut sekolah.
Sebagai bentuk hukuman lain, ED meminta teman-teman merekam aksi yang menimpa RS, sejak dari bandara, di dalam mobil, hingga aksi jongkok di sekolah. ED membagikan foto-foto kekerasan itu kepada keluarga, tetangga dan teman RS yang ada di Pekanbaru dan Singapura.
Tak hanya itu, ED mengunggah foto itu ke media sosial. Sambil membubuhinya bahwa obyek kekerasan itu adalah pencuri, pengedar narkoba dan pelaku kekerasan seksual.
“Foto itu menjadi viral di media sosial,” ujar Retno.
Retno mengatakan RS bukanlah satu-satunya korban kekerasan dan penghuni sel tahanan yang dimilliki sekolah itu. Sebelumnya kasus serupa juga terjadi pada F, yang disiksa dan ditahan seniornya di penjara.
Seperti RS, foto kekerasan pada F dan aksi pelepasan atribut sekolah juga diunggah pihak sekolah ke media sosial.
“Orangtua F akhirnya memindahkan anaknya ke sekolah lain,” menurut Retno.

KPAI kecam aksi kekerasan, sel tahanan di sekolah
Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listiyarti mengatakan sel tahanan itu digunakan SMK swasta di Batam untuk menghukum siswanya.
“Siswa dimasukan ke dalam sel tahanan, atas nama mendisiplinkan,” ujar Retno pada Rabu di Jakarta.
Berdasarkan temuan KPAI, kata Retno, masa penahanan bergantung tingkat kesalahan. Salah satu siswa bahkan ada yang ditahan hingga dua hari.
Retno menuturkan jika sekolah swasta yang memiliki sel tahanan ini sudah lima tahun beroperasi. Dengan sistem pendidikan semi-militer, sekolah berasrama ini banyak dikendalikan oleh ED, anggota kepolisian sekaligus pemilik modal sekolah.
Meski bukan guru, ujar Retno, sehari-hari ED membina siswa dengan latihan fisik seperti baris-berbaris. ED juga kerap menginap dan menjadi pembina upacara.
KPAI mengecam aksi kekerasan berujung pemenjaraan di sel tahanan milik sekolah ini.
“Pemenjaraan ini merampas kemerdekaan anak, ironisnya ini terjadi di sekolah, lembaga yang seharusnya mendidik anak dan memanusiakan manusia,” kata Retno.
Semisalpun seorang anak terbukti secara hukum bersalah, tambah Retno, dia tak seharusnya dihakimi, diborgol, dipermalukan, bahkan dipenjara.
Sebagai sekolah kejuruan, ujar Retno, SMK seharusnya memperkuat pendidikan keahlian, bukan malah melatih fisik ala militer.
Lagipula, menurut Retno, sekolah tak bisa menerapkan sistem pendidikan militer atau semi-militer.
“Ini melanggar Sistem Pendidikan Nasional,” ujar dia.
KPAI sudah meminta Kepolisian Resor setempat untuk menangani kasus ini dengan serius. Tembusan surat serupa juga dikirimkan ke Kepolisian Daerah dan Dinas Pendidikan setempat.
KPAI juga meminta Inspektorat Dinas Pendidikan setempat mengusut tuntas kasus ini. Hari ini, Dinas Pendidikan Kepulauan Riau sudah membongkar sel tahanan itu.
Wakil Ketua KPAI Rita Pranawati mengatakan sejauh ini belum ada laporan resmi dari pihak keluarga yang masuk ke kepolisian. Hasil mediasi keluarga dan sekolah, bahkan menganggap persoalan ini rampung karena keluarga tidak mau terus diintimidasi.
Meski begitu, ujar Rita, proses hukum dapat terus berlanjut karena persoalan anak bukan termasuk delik aduan.
Rita juga menekankan pentingnya membangun sekolah ramah anak. Setiap sekolah sudah seharusnya memiliki pengawas. Sekolah yang berbuat kriminal dapat dihukum berat dengan hukuman maksimal pencabutan izin beroperasi.
“Dia tidak boleh menerima siswa baru lagi, tinggal meluluskan yang sudah tersisa saja,” kata dia.
Sekolah, menurut Rita, sudah seharusnya membangun budaya damai, bukan kekerasan. Membangun kesadaran soal kemanusiaan, bukan memberikan efek jera.
KPAI juga akan berkoordinasi dengan Komisioner Kepolisian (Kompolnas). Agar kasus ini dapat ditindaklanjuti dengan tuntas dan tak berulang.


No comments:

Post a Comment