Dengan
tuduhan mencuri, seorang anak beroleh aksi kekerasan dari sekolahnya
Hayati
Nupus
JAKARTA
(AA) – RS, 17 tahun, keluar dari Bandara
Hang Nadim, Batam, Kepulauan Riau, dengan tangan terborgol dan diiringi tatapan
pengunjung.
Seperti
yang dituturkan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang
Pendidikan Retno Listiyarti, salah satu SMK swasta di Batam, tempat RS
bersekolah, menuduh RS sebagai pelaku sederet aksi kriminal di tempat praktik
kerja lapangan.
“Dia
dituduh mencuri, mengedarkan narkoba dan melakukan kekerasan terhadap pacarnya,
padahal juga belum terbukti,” ujar Retno kepada Anadolu Agency, pada Rabu, di
Jakarta.
Pelaku
pemborgolan itu adalah ED, anggota kepolisian sekaligus pembina sekolah
tersebut. Memperoleh informasi RS akan kembali dari Jakarta ke Batam, Jumat
lalu, ED bersama timnya sudah bersiaga di bandara untuk membekuk RS yang masih
anak-anak.
Begitu
memasuki mobil, masih dengan tangan terborgol, RS beroleh kekerasan lain. Sepanjang
perjalanan dia dicengkeram dengan lengan, dipukul, sekaligus ditampar.
Dipenjara di sel sekolah
Peristiwa
nahas itu bermula ketika RS dan teman-temannya sedang praktik kerja lapangan
(PKL) di Jakarta, tutur Retno.
Teman-teman
menuduh RS mencuri dan mendesak RS untuk mengaku. Merasa tak seperti yang
dituduhkan, RS kabur dari tempat PKL dan penginapan bersama di Jakarta.
Sesampainya
di Batam, ED langsung membekuk ED. Bukannya mengembalikan RS ke rumah, ED malah
menempatkannya di sel tahanan milik sekolah.
Esoknya,
RS disidang dan dihukum dengan hukuman berjalan jongkok mengelilingi pekarangan
sekolah. Tangan RS masih terborgol, dan aksi itu disaksikan teman-temannya.
Pekarangan sekolah yang beraspal membuat kaki RS terluka. Hukuman berlanjut
dengan upacara pelepasan atribut sekolah.
Sebagai
bentuk hukuman lain, ED meminta teman-teman merekam aksi yang menimpa RS, sejak
dari bandara, di dalam mobil, hingga aksi jongkok di sekolah. ED membagikan
foto-foto kekerasan itu kepada keluarga, tetangga dan teman RS yang ada di
Pekanbaru dan Singapura.
Tak
hanya itu, ED mengunggah foto itu ke media sosial. Sambil membubuhinya bahwa
obyek kekerasan itu adalah pencuri, pengedar narkoba dan pelaku kekerasan
seksual.
“Foto
itu menjadi viral di media sosial,” ujar Retno.
Retno
mengatakan RS bukanlah satu-satunya korban kekerasan dan penghuni sel tahanan
yang dimilliki sekolah itu. Sebelumnya kasus serupa juga terjadi pada F, yang
disiksa dan ditahan seniornya di penjara.
Seperti
RS, foto kekerasan pada F dan aksi pelepasan atribut sekolah juga diunggah
pihak sekolah ke media sosial.
“Orangtua
F akhirnya memindahkan anaknya ke sekolah lain,” menurut Retno.
KPAI kecam aksi kekerasan, sel tahanan di sekolah
Komisioner
KPAI Bidang Pendidikan Retno Listiyarti mengatakan sel tahanan itu digunakan
SMK swasta di Batam untuk menghukum siswanya.
“Siswa
dimasukan ke dalam sel tahanan, atas nama mendisiplinkan,” ujar Retno pada Rabu
di Jakarta.
Berdasarkan
temuan KPAI, kata Retno, masa penahanan bergantung tingkat kesalahan. Salah
satu siswa bahkan ada yang ditahan hingga dua hari.
Retno
menuturkan jika sekolah swasta yang memiliki sel tahanan ini sudah lima tahun
beroperasi. Dengan sistem pendidikan semi-militer, sekolah berasrama ini banyak
dikendalikan oleh ED, anggota kepolisian sekaligus pemilik modal sekolah.
Meski
bukan guru, ujar Retno, sehari-hari ED membina siswa dengan latihan fisik
seperti baris-berbaris. ED juga kerap menginap dan menjadi pembina upacara.
KPAI
mengecam aksi kekerasan berujung pemenjaraan di sel tahanan milik sekolah ini.
“Pemenjaraan
ini merampas kemerdekaan anak, ironisnya ini terjadi di sekolah, lembaga yang
seharusnya mendidik anak dan memanusiakan manusia,” kata Retno.
Semisalpun
seorang anak terbukti secara hukum bersalah, tambah Retno, dia tak seharusnya
dihakimi, diborgol, dipermalukan, bahkan dipenjara.
Sebagai
sekolah kejuruan, ujar Retno, SMK seharusnya memperkuat pendidikan keahlian,
bukan malah melatih fisik ala militer.
Lagipula,
menurut Retno, sekolah tak bisa menerapkan sistem pendidikan militer atau
semi-militer.
“Ini
melanggar Sistem Pendidikan Nasional,” ujar dia.
KPAI
sudah meminta Kepolisian Resor setempat untuk menangani kasus ini dengan
serius. Tembusan surat serupa juga dikirimkan ke Kepolisian Daerah dan Dinas
Pendidikan setempat.
KPAI
juga meminta Inspektorat Dinas Pendidikan setempat mengusut tuntas kasus ini.
Hari ini, Dinas Pendidikan Kepulauan Riau sudah membongkar sel tahanan itu.
Wakil
Ketua KPAI Rita Pranawati mengatakan sejauh ini belum ada laporan resmi dari
pihak keluarga yang masuk ke kepolisian. Hasil mediasi keluarga dan sekolah,
bahkan menganggap persoalan ini rampung karena keluarga tidak mau terus
diintimidasi.
Meski
begitu, ujar Rita, proses hukum dapat terus berlanjut karena persoalan anak
bukan termasuk delik aduan.
Rita
juga menekankan pentingnya membangun sekolah ramah anak. Setiap sekolah sudah
seharusnya memiliki pengawas. Sekolah yang berbuat kriminal dapat dihukum berat
dengan hukuman maksimal pencabutan izin beroperasi.
“Dia
tidak boleh menerima siswa baru lagi, tinggal meluluskan yang sudah tersisa
saja,” kata dia.
Sekolah,
menurut Rita, sudah seharusnya membangun budaya damai, bukan kekerasan.
Membangun kesadaran soal kemanusiaan, bukan memberikan efek jera.
KPAI
juga akan berkoordinasi dengan Komisioner Kepolisian (Kompolnas). Agar kasus
ini dapat ditindaklanjuti dengan tuntas dan tak berulang.
No comments:
Post a Comment