Friday, October 26, 2018

Perempuah nakhoda kapal yang “tidur di atas bom”


Menjadi nakhoda kapal tanker bukan perkara mudah. Jika sampai bocor, isi kapal tak hanya mengotori lautan namun juga berpotensi meledak.
Hayati Nupus
JAKARTA (AA) – Peristiwa lama itu terasa masih segar dalam ingatan Agustin Nurul Fitriyah, 38 tahun, nakhoda kapal tanker pertama dan satu-satunya di Indonesia.
Pada suatu siang yang terik di tahun 2012, kapal yang dia nakhodai di perairan Belawan tiba-tiba kedatangan tamu tak diundang. Mereka adalah tiga laki-laki perompak bertubuh kekar dan berkulit legam yang begitu saja naik ke geladak lewat lubang jangkar yang kecil.
“Haluan-haluan, bagaimana, aman?” kata Agustin lewat radio HT. Dia belum menyadari kedatangan perompak yang tengah menodongkan belati ke leher salah satu kadet yang tengah berjaga.
Todongan belati ke leher itu merupakan ancaman perompak agar kadet tak menjawab pertanyaan Agustin.
Sang kadet sebetulnya sudah bilang pada perompak bahwa kapal tengah kosong, tak ada bensin, solar ataupun avtur. Namun rupanya perompak mengincar barang lain dari kapal MT-Pematang yang masih baru nan kinclong itu. Mereka hendak mencongkel zing anode atau pelindung dinding bawah kapal dari korosi air laut yang terbuat dari tembaga dan berharga mahal.
Agustin heran, biasanya kadet langsung memberi respon jika dia melemparkan pertanyaan. Namun kali ini tak ada jawaban sama sekali.
“Hati-hati, sepertinya ada perahu mendekat, tolong dicek ya,” ujar Agustin lagi, sambil memantau radar yang menunjukkan adanya perahu perompak yang tengah mengincar kapal.
Agustin tak juga memperoleh jawaban. Saat menengok ke geladak, dia kaget melihat ada belati di leher anak buahnya.
Lewat HT, Agustin berteriak keras soal adanya perompak di geladak. Pesan itu langsung sampai ke 35 orang anak buahnya, juga terdengar ke telinga perompak.
Mengetahui seluruh penghuni kapal bersiaga dan hendak menyerbu, ketiga perompak itu lari. Mereka kembali masuk ke lubang jangkar dan kabur.

Dari perompak hingga kapal tua
Agustin yang bekerja menakhodai kapal tanker Pertamina sejak 2009 mengaku sudah sering bertemu perompak di lautan. Dia bersyukur, sejauh ini perompak tersebut tak sampai mengambil nyawa anak buahnya, malah dia yang berhasil membuat perompak-perompak itu kabur.
Mahalnya harga minyak bumi yang dibawa kapal tanker kerap menjadi incaran perompak. Apalagi kapal tanker itu pun membawa uang operasional dan upah nakhoda yang jumlahnya tak sedikit.
Isi kapal itu pun memiliki risiko lain, jika sampai bocor, tak hanya mengotori lautan, namun juga berpotensi meledak. Nyawa Agustin dan anak buahnya menjadi taruhan.
“Sama seperti kita tidur di atas bom,” tukas Agustin kepada Anadolu Agency, Selasa, di Jakarta.
Namun umumnya perompak di Indonesia, tutur Agustin, lebih sering mengincar hal-hal kecil seperti tali, jangkar atau zing anode dari kapal. Jika dilihat sepintas benda-benda itu nampak sepele, namun dampaknya luar biasa jika diambil pencuri.
“Kapal tidak bisa berlabuh kalau tidak ada jangkar atau tali,” kata Agustin.
Selain itu, hal yang perlu diwaspadai dari perompak di Indonesia adalah senjata yang mereka bawa. Salah strategi atau negosiasi sedikit saja, senjata itu bisa melukai awak kapal.
Menjadi pelaut juga berarti kerap bertemu cuaca buruk. Hujan disertai angin dan badai setinggi lima meter. Saking seringnya, Agustin malah menganggap itu hal biasa.
Tantangan paling besar, menurut Agustin, adalah begitu banyak kapal di Indonesia yang sudah berusia tua. Bahkan sudah tak layak jalan, namun masih dipakai.
Tahun lalu, Agustin kejatahan menggunakan kapal MT-Pungut 3500 yang bahkan berusia lebih tua ketimbang umurnya. Onderdil kapal itu sudah banyak yang rusak, namun terus diperbaiki. Dari Pelabuhan Plaju, Palembang, Agustin harus menakhodai kapal itu untuk mengantar 8500 kiloliter solar ke Lampung.
Baru beberapa meter berjalan keluar dari Pelabuhan Plaju, langkah kapal tertahan oleh dua kapal tongkan yang berjalan lambat. Agustin tak bisa menyalip ke kanan karena tubuh kapal yang besar dan lebar jalur pelabuhan yang sempit. Sedikit saja menabrak kapal lain, kapal yang dia bawa akan bocor dan solar akan bercecer. Badan kapal yang renta dan bocor membuat lumpur naik ke atas kapal. Padahal jika dia tak mengantar solar itu tepat waktu, listrik di Lampung akan mati total.
 Jika sudah terjebak begini, Agustin berusaha untuk tidak panik. Karena jika dia panik, seluruh anak buahnya akan turut panik.
Perlu enam jam hingga Agustin dapat melewati jalur pelabuhan yang sempit itu kemudian melaju menuju Lampung.
“Kalau cuaca, badai, perompak, masih bisa dihadapi bersama, tapi kalau human eror atau kapal tua itu susah,” ungkap dia.

Perempuan yang teliti
Menjadi pemimpin kapal dan satu-satunya perempuan di atas kapal tersebut, Agustin merasa tak pernah dianggap minor. Dia tak menemukan adanya pandangan yang bias gender di atas kapal. Seluruh anak buahnya menghormatinya.
 “Di atas kapal, siapapun takut sama nakhoda,” kelakar Agustin sambil tertawa.
Lagipula, kata Agustin, syarat menjadi nakhoda bukanlah berdasarkan jenis kelamin. Melainkan pengetahuan nautika, logika dan kemampuan mengendalikan kapal.
Justru nakhoda perempuan memiliki kelebihan, lanjut Agustin. Ketelitian perempuan menjadi modal besar untuk menjaga kapal tanker yang penuh risiko. Perlu keahlian khusus mengemudikan kapal tanker agar minyak bumi yang dibawa tetap cair dan tidak membeku hingga beralih ke daratan.
Bias gender itu, ujar Agustin, justru tampak di daratan. Jangankan untuk menjadi kapten kapal, untuk menjadi Chief Officer atau asisten nakhoda saja perlu dites berkali-kali karena pemikiran minor penguji.
Agustin pertama kali menjadi mualim pada 2004, selepas lulus dari Politeknik Ilmu Pelayaran, Semarang. Waktu kecil perempuan kelahiran 17 Agustus 1980 ini bercita-cita untuk menjadi dokter. Namun mimpi itu tak terwujud karena ayahnya hanya seorang bintara polisi bergaji kecil.
Saat SMA, dia bertemu senior di kampung yang tengah pulang setelah perjalanan dari Jepang. Senior sukses itu rupanya bekerja di bidang pelayaran.
Sejak itu, Agustin bercita-cita untuk menjadi nakhoda, khususnya nakhoda kapal tanker. Nakhoda kapal tanker bergaji menggiurkan, karena memang lebih berisiko ketimbang membawa kapal penumpang atau kargo.
Begitu menyatakan keinginannya bersekolah di bidang pelayaran, ayah Agustin tak setuju. Sekolah pelayaran berarti bersekolah di lingkungan yang mayoritas pesertanya laki-laki. Tradisi keluarga Agustin di Tebuireng, Jawa Timur, posisi perempuan dan laki-laki dipisahkan, meski di lembaga pendidikan.
Berkat dukungan dan bujukan sang ibu, toh bapak melepas Agustin juga, meski dengan berat hati.
Kini Agustin telah hilir mudik membelah lautan nusantara, mengirimkan bahan bakar minyak agar listrik, pesawat dan alat transportasi lainnya dapat beroperasi. Dia menjadi inspirasi perempuan-perampuan yang tengah menempuh pendidikan untuk menjadi mualim.
Alumnus pascasarjana Program Studi Manajemen Transportasi Universitas Trisakti ini kini tengah menempuh pendidikan untuk menjadi asesor untuk Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) mualim.

No comments:

Post a Comment