Wihara Dharma Bhakti di Glodok menyediakan makanan gratis untuk umat Muslim yang tengah berpuasa Ramadan.
Hayati Nupus
JAKARTA (AA) – Ratusan kaum Muslim menikmati
sajian buka puasa bersama di Wihara Dharma Bhakti atau Klenteng Kim Tek Le,
salah satu tempat ibadah penganut Budha tertua di Indonesia, yang berlokasi di
kawasan pecinan Petak Sembilan, Glodok, Jakarta.
Sudah sejak sore ratusan porsi makanan itu
tersaji di atas meja panjang berkarpet merah—warna keberuntungan, menurut
kepercayaan Tionghoa. Menunya lengkap, tak hanya es buah dan es teh manis, tapi
juga ada nasi kuning dengan ayam goreng, tahu, sayur, sambal dan toping
kerupuk.
Relawan wihara, Lukas Tjang, menuturkan jika
penyedia makanan itu adalah umat Wihara Dharma Bakti. Penggagasnya adalah Jusuf
Hamka, Pembina Yayasan Dharma Bakti sekaligus mualaf pemilik warung nasi kuning
harga hemat untuk kaum miskin.
Sedang donaturnya adalah jemaat wihara yang
umumnya berprofesi sebagai pedagang di berbagai pusat perniagaan seperti Tanah
Abang, Cipulir dan Jatinegara.
“Untuk menjaga kerukunan dan tenggang rasa
antarumat beragama di Indonesia,” ungkap Lukas kepada Anadolu Agency, Selasa.
Kegiatan sosial ini sudah dilakukan sejak
Ramadan tahun lalu. Tahun ini mereka mengulang aktivitas serupa sepanjang 7-29
Mei 2019, dengan menyediakan 300-500 paket berbuka puasa setiap hari.
Target utamanya, kata Lukas, adalah warga
Muslim yang tengah berpuasa. Meski sajian ini juga dinikmati oleh warga
penganut agama lain yang tinggal di sekitar wihara.
Lukas berkata, Dewi Kwan Im—salah satu dewi
dalam agama Budha—memerintahkan umatnya untuk berwelas asih kepada seluruh umat
manusia, tak peduli apapun agamanya. Bentuk welas asih itu dapat berupa
pengobatan gratis yang digelar wihara setiap Selasa dan Jumat, juga berbagi
makanan kepada umat Muslim yang tengah berpuasa.
“Agar semua makhluk hidup berbahagia,” tukas
Lukas, menegaskan ajaran Dewi Kwan Im.
Persiapan buka puasa bersama itu sudah
dilakukan sejak pagi. Karyawan wihara menyediakan bahan-bahan untuk membuat
sajian ringan. Kali ini mereka membuat es buah. Kemarin mereka memasak kacang
hijau, sedang dua hari lalu mereka meracik kolak.
“Ngupas buahnya aja seharian, Mbak,” tukas
Esther, 55 tahun, salah satu karyawan wihara.
Menjelang sore, Widya Damayanti, 40, karyawan
wihara lainnya, meracik potongan timun suri, cincau, dan biji selasih ke dalam
dua panci besar. Lalu dia menuangkan sirup, gula yang telah dimasak dengan daun
pandan, juga es batu.
Yusuf, 31, melanjutkan pekerjaan Widya dengan
mengangkut es buah berwarna merah itu ke halaman, berdampingan dengan nasi
kuning yang telah dipesan dari pedagang di sekitar wihara.
Di halaman, sejumlah relawan dari berbagai
usia telah berkumpul. Sedang lainnya menyusul datang satu per satu. Mereka
adalah umat wihara. Lukas mencatat jumlah mereka sekitar 30an. Dengan sigap,
para relawan mengemas makanan-makanan itu.
Menjelang azan Magrib bergema, antrian
ratusan manusia mengular panjang. Sebagian besar adalah kaum miskin yang
terdiri dari lansia, orang dewasa, bahkan anak-anak.
Salah satunya adalah Dedi Mulyadi, 43,
penjual kopi yang baru saja kehilangan pekerjaannya. Menjelang pemilihan umum
kemarin, polisi merazia gerobak kopinya yang baru sebulan beroperasi. Sejak itu
dia menjadi kaum miskin terlantar di ibu kota. Sebab dia tak hanya kehilangan
gerobaknya, melainkan juga seluruh penghidupannya.
“Bersyukur ada buka puasa gratis dari
klenteng, membantu sekali,” kata Dedi, lalu menyuapkan ayam goreng ke mulutnya.
Sajian itu juga dinikmati oleh Abdul Aziz,
57, pengemudi ojek daring asal Bekasi yang kebetulan tengah berada tak jauh
dari klenteng. Dia memperoleh informasi itu dari penumpang. Selepas mengantar
penumpang ke Glodok, Aziz mengikuti antrian, masih dengan seragam dan helm
lengkap berwarna hijau.
Melihat mereka makan dengan lahap, Lukas
tersenyum bahagia. “Semoga wihara lain di Indonesia bisa mengikuti jejak kami,”
harap Lukas.
No comments:
Post a Comment