Monday, September 23, 2019

Hari tersuram Nasriyah, pengungsi di Jayapura

Para pengungsi masih menunggu bantuan dari pemerintah

Hayati Nupus

JAYAPURA

Dalam keadaan hamil enam bulan, Nasriyah menyusuri rawa penuh lumpur di belakang bengkel sambil menggendong Putri, anaknya yang baru berusia 15 bulan.

Itu dia lakukan demi menghindari demonstrasi yang berlangsung rusuh di Jayapura, tempat dia tinggal.

Nasriyah melepaskan Putri dan memintanya berjalan setelah kakinya terperosok ke dalam lumpur. Dia melepaskan sandal dan kembali berjalan, sambil memegang tangan Putri yang tenggelam dalam lumpur seukuran dada.

Sedangkan kedua anaknya yang lain, Riska, 17 tahun, menggandeng tangan Ika, 13 tahun. Saat itu Yusri, suami Nasriyah, sedang pergi ke Nabire. Bersama sejumlah pegawai bengkel lainnya, Nasriyah berjalan kaki sejauh 4 km untuk mengungsi ke posko pengungsian Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Lantamal) X, Jayapura.

“Sebetulnya saya tidak kuat, tapi saya harus terus berjalan demi anak-anak,” tutur Nasriyah, Rabu, di posko pengungsian Lantamal X, Jayapura, kepada Anadolu Agency.

Nasriyah berasal dari Makassar. Sejak 10 bulan lalu, dia pindah ke Papua untuk menyusul suaminya yang telah lama menjadi pegawai bengkel di Jayapura.

Sebelum demo menentang ujaran rasial terhadap warga Papua terjadi pada Kamis lalu, sejumlah polisi dan tentara telah mengimbau mereka untuk mengungsi. Namun Nasriyah, juga pegawai bengkel lainnya, merasa demo kali ini tak akan berlangsung rusuh, seperti unjuk rasa serupa pada 19 Agustus lalu yang berjalan dengan damai.

Maka mereka bersembunyi di lantai 2 bengkel yang biasa menjadi tempat tinggal para pegawai. Suami Nasriyah salah satu pegawai bengkel itu.

Rupanya perkiraan mereka meleset. Demonstrasi yang berlangsung persis di depan bengkel mereka di Jl Koti yang mulanya berlangsung damai itu kemudian menjadi ricuh. Peserta demonstrasi melempar batu dan memecahkan kaca jendela. Api membakar bagian depan bangunan itu dan asapnya masuk hingga ke lantai dua tempat mereka bersembunyi.

Mereka keluar dari persembunyian dan menuruni tangga. Dengan merangkak, agar tak terlihat para pendemo, mereka menuju bagian belakang bangunan. Salah satu pegawai menjebol bagian atas dinding yang terbuat dari seng. Nasriyah melompati dinding itu, diikuti oleh ketiga anaknya.

Mereka berjalan menyusuri rerumputan dan menyeberang rawa penuh lumpur agar sampai di jalan besar yang tak dilalui para pendemo. Di jalan besar itu, tentara sudah menunggu mereka.

“Itu hari tersuram bagi saya,” keluh Nasriyah.

Sehari setelah demonstrasi, suami Nasriyah tiba dan mengabarkan bahwa sejumlah bangunan di Jl Koti hangus terlalap api, berikut bengkel sekaligus tempat tinggal mereka.

Seluruh barang, uang, juga baju dan perlengkapan bayi yang telah dibeli Nasriyah, turut terbakar.

Nasriyah belum tahu apa yang akan dia lakukan untuk persiapan kelahiran bayinya.

Untuk melahirkan pun butuh uang tak sedikit.

“Sekarang saya hanya berharap bantuan dari pemerintah, katanya akan diberi kemudahan,” ujar Nasriyah.

Musibah serupa dialami Mohamad Jamhuri, 48 tahun, wiraswasta pemilik Bengkel Motor Muju yang beroperasi di Jl Koti. Seluruh bengkel berikut 22 motor lenyap terbakar. Sedang tujuh motor lainnya dijarah orang. Sedang keluarga berikut seluruh pegawai, sudah mengungsi sebelum demonstrasi berlangsung.

Jamhuri berasal dari Jember, Jawa Timur. Dia pindah ke Jayapura sejak usia 4 tahun, mengikuti orang tuanya yang turut dalam program transmigrasi.

“Saya bukan dari keluarga berada. Saya merintis bengkel ini mulai dari nol pada 15 tahun lalu,” tutur Jamhuri.

Puluhan tahun tinggal di Jayapura, Jamhuri merasa sudah menjadi orang Papua. Selama ini, kehidupan mereka damai dan berinteraksi dengan baik dengan warga Papua lainnya.

“Baru kali ini saya merasa takut luar biasa, dilempari api seperti itu,” ujar Jamhuri.

Kini Jamhuri berharap bantuan dari pemerintah segera datang dan bisa merintis ulang usahanya.

Hingga saat ini Jamhuri, Nasriyah, juga belasan keluarga yang tempat tinggalnya hangus terbakar api masih mengungsi di Lantamal X Jayapura.

Saat demonstrasi dan kerusuhan terjadi, Lantamal X Jayapura mencatat jumlah pengungsi hingga 9.852 orang. Mereka memadati halaman Lantamal X Jayapura, lapangan dan gedung serbaguna. Kini sebagian pengungsi telah kembali ke rumah.

Sekarang tinggal belasan keluarga yang tak memiliki tempat tinggal.

Wakil Wali Kota Jayapura Rustam Saru mengatakan pihaknya tengah berupaya memulihkan trauma pengungsi dan warga Jayapura lainnya.

Pemerintah Kota Jayapura, lanjut Rustam, juga tengah mengupayakan agar bantuan dana stimulan untuk para korban segera datang.

Data sementara menurut catatan Pemerintah Kota Jayapura terdapat 48 motor dan 24 mobil yang dibakar. Juga 182 toko yang dijarah dan dibakar.

Data kerugian sementara, ujar Rustam, diperkirakan sekitar Rp29 miliar berdasarkan data Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) Kota Jayapura, juga Rp17 miliar menurut catatan Dinas Sosial Kota Jayapura.

“Pemerintah Pusat yang memiliki keputusan, ini menjadi perhatian kami, cuma mungkin perlu waktu,” kata Rustam.

*berita ini dapat pula diakses di https://www.aa.com.tr/id/nasional/hari-tersuram-nasriyah-pengungsi-di-jayapura/1573917

No comments:

Post a Comment