Berbagai lembaga dan negara berupaya mengganti
sedotan plastik yang merusak lingkungan, di Indonesia upaya itu salah satunya
dengan memproduksi sedotan berbahan bambu.
Jika tengah berkunjung ke pantai di
sekitar tempat tinggalnya di Bali, Jevie Dorawati, 31 tahun, dan Yumna
Batubara, 26 tahun, hanya bisa prihatin menyaksikan aneka sampah plastik berserakan
di pantai dan mengambang di permukaan air laut. Dari kantong kresek, sedotan
plastik, kemasan makanan, hingga botol plastik bertebaran mengotori pantai yang
indah.
Padahal, kata Yumna, Bali terkenal sebagai tempat
wisata dengan pantai yang indah. Selain mengotori dan merusak citra pariwisata
Bali yang terkenal hingga ke seantero jagat raya, sampah plastik juga merusak
lingkungan.
“Melihatnya saja menyebalkan. Itu kan kotor, dan
butuh waktu lama untuk terurai,” keluh Yumna, kepada Anadolu Agency, Jumat.
Penggunaan plastik begitu massif di Indonesia,
khususnya sedotan plastik. Riset Divers Clean Action mencatat 93,2 juta batang
sedotan plastik dikonsumsi dengan minuman kemasan dan di berbagai restoran di
Indonesia setiap harinya.
“Sementara benda kecil ini selalu luput dari
proses daur ulang,” kata Yumna.
Keresahan itu pula yang menginspirasi Yumna dan
Jevie menggagas bisnis sedotan berbahan bambu. Sekali berbisnis, mengurangi
sampah plastik dan melestarikan lingkungan pun terlampaui.
Bisnis dengan merk Bulung Bambu itu dimulai sejak
2014 lalu. Dengan jargon Less Plastic, Save the World, sedotan bambu ini
dipasarkan secara grosir lewat media sosial. Pembelian minimal 100 buah, dengan
harga Rp2.000 per buah.
Yumna dan Jevie memperoleh sedotan bambu itu dari
10 orang pengrajin di Jawa Tengah. Bambu yang digunakan adalah bambu buluh kecil
atau Phyllostachys aurea A&Ch yang ditanam di wilayah pegunungan.
Proses produksinya pun secara alami, hanya
menggunakan matahari untuk pengeringan. Bambu yang telah berusia tiga bulan
dibersihkan dari duri, dijemur agar tidak berjamur, dan dipotong berukuran 20
cm. Setelah dibersihkan ulang, bambu yang telah menjadi sedotan dikirim ke
Bali.
Tak disangka, pembeli yang menghampiri lewat media
sosial itu justru mayoritas berasal dari luar negeri. Sedang pelanggan dari
dalam negeri hanya berkisar 30 persen. Maka dari Bali, sedotan bambu ini
melanglang buana ke berbagai negara seperti Dubai, Oman, Jerman, Singapura,
Kanada, Jepang, Australia, hingga Afrika.
Seperti hari ini. Tak kurang dari 50.000 buah sedotan
bambu sudah terkemas dengan rapi. Paket seberat 300 kilogram ini merupakan
pesanan salah satu pelanggan di Australia. Di negeri kanguru itu, sedotan bambu
dikemas ulang dengan merk baru dan dikirim ke berbagai restoran dan retail.
Yumna dan Jevie kerap kewalahan menghadapi pesanan
pelanggan. Hingga saat ini Bulung Bambu baru sanggup mengirim hingga 100.000 buah
saja sebulan.
Terkadang pelanggan juga meminta agar diameter
bambu yang diproduksi berukuran sama. “Jelas itu tidak mungkin, karena
prosesnya benar-benar alami. Kalau pelanggan request begitu paling-paling kami
jelaskan runutan proses produksinya,” kata Yumna.
Ramai-ramai ganti sedotan plastik
Bulung Bambu merupakan satu dari sederet pihak
yang berupaya mengurangi sampah sedotan plastik. Upaya serupa datang dari
Starbuck. Beberapa waktu lalu perusahaan kedai kopi yang memiliki 25.000 gerai
di 61 negara ini mengumumkan untuk berhenti menggunakan sedotan plastik pada
2020 mendatang.
Starbuck meniadakan sedotan plastik dengan
mengganti gelas berkemasan sippy cup yang memiliki lubang pada bagian tutupnya.
Komitmen serupa juga dicetuskan oleh Perdana
Menteri Inggris Theresa May. Mulai tahun depan, Theresa akan melarang penjualan
produk berbahan plastik sekali pakai, salah satunya sedotan plastik. Theresa
menargetkan negaranya akan bebas sampah plastik yang tak diperlukan pada 25
tahun mendatang.
Di Inggris, keberadaan sampah plastik
mengkhawatirkan. Pemerintah setempat mencatat setidaknya 1 juta burung dan
100.000 mamalia laut mati setiap tahunnya karena mengonsumsi limbah plastik.
Pemerintah Inggris pada Oktober 2017 juga
menyebutkan bahwa restoran-restoran di negaranya memproduksi sampah dari sedotan
plastik hingga 8,5 miliar buah setiap tahun.
World Wildlife Fund juga memperkirakan bahwa 28
negara Uni Eropa menggunakan 82.000 ton sedotan plastik. Sebanyak 15.700 ton di
antaranya digunakan oleh warga Inggris, saat negara itu masih tergabung dalam
Uni Eropa.
Sedotan bukan kebutuhan esensial
Pegiat Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik Tiza
Mafira malah mengatakan, secara umum, penggunaan sedotan tidak esensial dalam
kehidupan manusia. Toh tanpa sedotan pun manusia dapat mengonsumsi minuman
langsung dari gelas atau botol.
Kebutuhan akan sedotan hanya esensial bagi
golongan tertentu, misalnya para penyandang disabilitas, atau orang sakit yang
kesulitan jika harus mengonsumsi minuman langsung dari gelas.
“Kalau sudah esensial begitu, barulah disarankan
menggunakan sedotan, dan sekarang ini sudah mulai banyak alternatifnya, selain
plastik,” kata Tiza.
Selain berbahan bambu, aneka sedotan alternatif
mulai beredar di pasaran, dari bahan kertas dan stainless. Sedotan berbahan
bambu, menurut Tiza, malah lebih memiliki masa depan, karena tanaman ini
merupakan endemik Indonesia dan sejumlah negara Asia.
Dari sekian banyak sampah plastik, kata Tiza,
sedotan plastik termasuk yang dominan. Sampah-sampah ini amat berbahaya karena
butuh waktu ratusan tahun untuk terurai.
Sampah-sampah sedotan plastik itu, tutur Tiza,
lantas mengotori sungai, laut, dan membahayakan binatang. Jika terkonsumsi
satwa laut, sedotan plastik ini amat berbahaya karena bisa menyumbat hidung
atau tenggorokan.
Dunia masih mengingat ketika seekor penyu jantan
berjenis Olive Ridley ditemukan tengah meringis kesakitan di perairan Costarica
pada 2015 lalu. Rupanya hidung kiri penyu itu tersumbat sedotan sepanjang 12 cm
yang dibuang oleh manusia.
No comments:
Post a Comment