Thursday, July 19, 2018

Resep dunia tinggalkan sedotan plastik


Berbagai lembaga dan negara berupaya mengganti sedotan plastik yang merusak lingkungan, di Indonesia upaya itu salah satunya dengan memproduksi sedotan berbahan bambu. 
Jika tengah berkunjung ke pantai di sekitar tempat tinggalnya di Bali, Jevie Dorawati, 31 tahun, dan Yumna Batubara, 26 tahun, hanya bisa prihatin menyaksikan aneka sampah plastik berserakan di pantai dan mengambang di permukaan air laut. Dari kantong kresek, sedotan plastik, kemasan makanan, hingga botol plastik bertebaran mengotori pantai yang indah.
Padahal, kata Yumna, Bali terkenal sebagai tempat wisata dengan pantai yang indah. Selain mengotori dan merusak citra pariwisata Bali yang terkenal hingga ke seantero jagat raya, sampah plastik juga merusak lingkungan.
“Melihatnya saja menyebalkan. Itu kan kotor, dan butuh waktu lama untuk terurai,” keluh Yumna, kepada Anadolu Agency, Jumat.
Penggunaan plastik begitu massif di Indonesia, khususnya sedotan plastik. Riset Divers Clean Action mencatat 93,2 juta batang sedotan plastik dikonsumsi dengan minuman kemasan dan di berbagai restoran di Indonesia setiap harinya.
“Sementara benda kecil ini selalu luput dari proses daur ulang,” kata Yumna.
Keresahan itu pula yang menginspirasi Yumna dan Jevie menggagas bisnis sedotan berbahan bambu. Sekali berbisnis, mengurangi sampah plastik dan melestarikan lingkungan pun terlampaui.
Bisnis dengan merk Bulung Bambu itu dimulai sejak 2014 lalu. Dengan jargon Less Plastic, Save the World, sedotan bambu ini dipasarkan secara grosir lewat media sosial. Pembelian minimal 100 buah, dengan harga Rp2.000 per buah.
Yumna dan Jevie memperoleh sedotan bambu itu dari 10 orang pengrajin di Jawa Tengah. Bambu yang digunakan adalah bambu buluh kecil atau Phyllostachys aurea A&Ch yang ditanam di wilayah pegunungan.
Proses produksinya pun secara alami, hanya menggunakan matahari untuk pengeringan. Bambu yang telah berusia tiga bulan dibersihkan dari duri, dijemur agar tidak berjamur, dan dipotong berukuran 20 cm. Setelah dibersihkan ulang, bambu yang telah menjadi sedotan dikirim ke Bali.
Tak disangka, pembeli yang menghampiri lewat media sosial itu justru mayoritas berasal dari luar negeri. Sedang pelanggan dari dalam negeri hanya berkisar 30 persen. Maka dari Bali, sedotan bambu ini melanglang buana ke berbagai negara seperti Dubai, Oman, Jerman, Singapura, Kanada, Jepang, Australia, hingga Afrika.
Seperti hari ini. Tak kurang dari 50.000 buah sedotan bambu sudah terkemas dengan rapi. Paket seberat 300 kilogram ini merupakan pesanan salah satu pelanggan di Australia. Di negeri kanguru itu, sedotan bambu dikemas ulang dengan merk baru dan dikirim ke berbagai restoran dan retail.
Yumna dan Jevie kerap kewalahan menghadapi pesanan pelanggan. Hingga saat ini Bulung Bambu baru sanggup mengirim hingga 100.000 buah saja sebulan.
Terkadang pelanggan juga meminta agar diameter bambu yang diproduksi berukuran sama. “Jelas itu tidak mungkin, karena prosesnya benar-benar alami. Kalau pelanggan request begitu paling-paling kami jelaskan runutan proses produksinya,” kata Yumna.

Ramai-ramai ganti sedotan plastik
Bulung Bambu merupakan satu dari sederet pihak yang berupaya mengurangi sampah sedotan plastik. Upaya serupa datang dari Starbuck. Beberapa waktu lalu perusahaan kedai kopi yang memiliki 25.000 gerai di 61 negara ini mengumumkan untuk berhenti menggunakan sedotan plastik pada 2020 mendatang.
Starbuck meniadakan sedotan plastik dengan mengganti gelas berkemasan sippy cup yang memiliki lubang pada bagian tutupnya.
Komitmen serupa juga dicetuskan oleh Perdana Menteri Inggris Theresa May. Mulai tahun depan, Theresa akan melarang penjualan produk berbahan plastik sekali pakai, salah satunya sedotan plastik. Theresa menargetkan negaranya akan bebas sampah plastik yang tak diperlukan pada 25 tahun mendatang.
Di Inggris, keberadaan sampah plastik mengkhawatirkan. Pemerintah setempat mencatat setidaknya 1 juta burung dan 100.000 mamalia laut mati setiap tahunnya karena mengonsumsi limbah plastik.
Pemerintah Inggris pada Oktober 2017 juga menyebutkan bahwa restoran-restoran di negaranya memproduksi sampah dari sedotan plastik hingga 8,5 miliar buah setiap tahun.
World Wildlife Fund juga memperkirakan bahwa 28 negara Uni Eropa menggunakan 82.000 ton sedotan plastik. Sebanyak 15.700 ton di antaranya digunakan oleh warga Inggris, saat negara itu masih tergabung dalam Uni Eropa.

Sedotan bukan kebutuhan esensial
Pegiat Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik Tiza Mafira malah mengatakan, secara umum, penggunaan sedotan tidak esensial dalam kehidupan manusia. Toh tanpa sedotan pun manusia dapat mengonsumsi minuman langsung dari gelas atau botol.
Kebutuhan akan sedotan hanya esensial bagi golongan tertentu, misalnya para penyandang disabilitas, atau orang sakit yang kesulitan jika harus mengonsumsi minuman langsung dari gelas.
“Kalau sudah esensial begitu, barulah disarankan menggunakan sedotan, dan sekarang ini sudah mulai banyak alternatifnya, selain plastik,” kata Tiza.
Selain berbahan bambu, aneka sedotan alternatif mulai beredar di pasaran, dari bahan kertas dan stainless. Sedotan berbahan bambu, menurut Tiza, malah lebih memiliki masa depan, karena tanaman ini merupakan endemik Indonesia dan sejumlah negara Asia.
Dari sekian banyak sampah plastik, kata Tiza, sedotan plastik termasuk yang dominan. Sampah-sampah ini amat berbahaya karena butuh waktu ratusan tahun untuk terurai.
Sampah-sampah sedotan plastik itu, tutur Tiza, lantas mengotori sungai, laut, dan membahayakan binatang. Jika terkonsumsi satwa laut, sedotan plastik ini amat berbahaya karena bisa menyumbat hidung atau tenggorokan.
Dunia masih mengingat ketika seekor penyu jantan berjenis Olive Ridley ditemukan tengah meringis kesakitan di perairan Costarica pada 2015 lalu. Rupanya hidung kiri penyu itu tersumbat sedotan sepanjang 12 cm yang dibuang oleh manusia.

No comments:

Post a Comment