Meski berusia
senja dengan pandangan mata yang rabun, Asiroh tetap menarik perahu eretan. Seturut
upaya perahu-perahu eretan di Jakarta bertahan menghadapi arus zaman.
Di
sebuah perahu eretan Jakarta, seorang perempuan tua memicingkan matanya.
Berbekal pandangannya yang rabun, ia berusaha menangkap benda yang tampak
mungil di seberang sungai. Rupanya benda itu bergerak, yang berarti manusia,
tengah menuruni undakan kayu dari atas tanggul sungai menuju titian terbawah.
“Itu sewa,” ujar
Kastim, suaminya, dari sudut perahu. Kastim tengah nyaman duduk di pojokan
dengan menempatkan kaki sebelah kirinya ke atas kursi, pose yang dilakoninya
saban hari. Tak seperti perempuan itu, penglihatan Kastim masih awas, hanya
pendengarannya sudah tak terlalu berfungsi dengan baik.
Dalam bahasa
awam, sewa berarti penumpang. Sosok di seberang adalah calon penumpang yang
akan menggunakan jasa perahu eretan untuk menyeberangi sungai.
Perempuan tua itu
buru-buru meraih tali besi yang melintangi sungai, kemudian menariknya. Tak berapa
lama, perahu sampai ke titian. Penumpang naik, dan perempuan itu kembali
menarik tali besi untuk mengantar penumpang ke seberang.
Perempuan tua itu
bernama Asiroh, 75 tahun, penarik perahu asal Brebes, Jawa Tengah, yang
beroperasi di Kanal Barat, persisnya di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Lokasi yang
terapit gedung-gedung megah, rel kereta dan pemukiman kumuh Jakarta.
Penarik perahu
tiga dekade
Asiroh lupa kapan
persisnya ia dan suami memulai profesi sebagai penarik perahu eretan. Yang ia
ingat, saat itu Indonesia masih dipimpin Presiden Soeharto.
“Kira-kira hampir
30 tahun lalu,” matanya menerawang.
Selama hampir
tiga dekade itu, perahu eretan Asiroh mengantar penumpang menyeberangi sungai sejak
pukul 5 pagi hingga 10 malam, setiap hari.
Asiroh bergiliran
jaga dengan Suharna, dengan metode aplusan per bulan, seperti umumnya perahu
eretan di Jakarta. Jika bulan ini jadwal Asiroh menarik perahu, maka bulan
depan jatah itu akan bergeser ke tangan Suharna.
Jika sedang tak
kejatah menarik perahu, Asiroh pulang ke kampung halaman. Bertani bawang merah
seperti warga Brebes lainnya, atau hanya nyawang
cucu-cucunya jika tidak sedang musim tanam bawang merah.
Perantau ini
pernah pula mengalami kejayaan di Jakarta. Pertama kali menginjakkan kaki ke
ibukota lebih dari 50 tahun lalu, Asiroh dan suami mulanya hanya pekerja
penjual ikan. Belajar dari pengalaman itu, keduanya lantas membuka lapak
penjualan ikan milik sendiri. Seiring bertambahnya tahun dan lapak kian ramai, keduanya
sempat memiliki rumah berlantai dua di Jakarta Utara.
Rupanya masa jaya
itu tak berlangsung lama, rumah itu terpaksa dijual demi membayar utang suami
yang gemar berjudi. Sisa uang penjualan rumah itu Asiroh belikan perahu yang
beroperasi di Kanal Barat hingga kini.
Namun tiga tahun
belakangan, Kastim sudah enggan menarik perahu. Sebaliknya, Asiroh tetap
bertahan meski di usia renta itu ia yang harus menarik perahu.
“Kalau tidak narik, saya nggak bisa ngasih uang
buat cucu-cucu saya,” kata nenek dengan 11 cucu ini.
Kepelikan hidup
itu telah berlangsung lama, namun saat membincangkan Kastim, Asiroh menatap
suaminya dengan mata berbinar, sebinar mata remaja yang tengah jatuh cinta.
“Ya nggak apa-apa, jalani aja. Iya, kan, Pak,” ujar Asiroh, tersenyum, sementara Kastim diam tak acuh.
Meski sudah
berusia senja, namun kelapukan Asiroh hanya pada jumlah usia. Toh semangatnya
tak kendur juga. Ia masih perkasa menarik perahu, meski kadang napasnya
ngos-ngosan juga.
Hampir karam
Pekan lalu, pada
pukul 3 dini hari, perahu Asiroh bocor. Tak seperti biasanya, ia menautkan
perahunya ke tali pada bagian tengah sungai. Air sungai yang bau masuk hingga
ke geladak. Asiroh berupaya membuang air itu sedikit demi sedikit, dan
membiarkan suaminya tetap tertidur lelap.
Rupanya air yang
masuk lebih cepat ketimbang upaya Asiroh. Perahu miring ke samping dan
barang-barang Asiroh tercebur ke sungai. Baju-baju, alat makan, juga uang
simpanan lebih dari Rp1 juta.
Beruntungnya,
sekelompok pemuda yang tengah begadang di pinggir tanggul mendapati perahu yang
hampir karam itu. Mereka terjun ke sungai dan mengevakuasi sepasang suami istri
itu.
“Kalau tidak ada
mereka, entah bagaimana nasib kami,” ungkap Asiroh.
Esoknya, belasan
orang berupaya menarik perahu dari tengah sungai. Perlu beberapa hari menarik
perahu penuh lumpur itu hingga ke pinggir dan mengeringkannya.
Bertahan hadapi arus zaman
Di Jakarta,
perahu-perahu eretan terus berjuang menghadapi arus zaman. Semasa jaya dulu,
para penarik perahu eretan bisa memperoleh penghasilan hingga Rp300.000 dalam
sehari.
Kini perolehan
itu kian terpangkas menjadi Rp100.000-Rp200.000 saja. Jumlah itu masih harus
dikurangi pembayaran setoran kepada pemilik perahu, berkisar
Rp50.000-Rp100.000.
“Sekarang mah sepi, kalah sama Gojek. Dulu sekali
nyeberang bisa bawa banyak, sekarang mah 1-2 orang aja udah alhamdulillah,”
tutur Asiroh.
Selain melawan
maraknya ojek daring yang menawarkan efisiensi dan kenyamanan, seturut
penelusuran Anadolu Agency, perahu-perahu eretan di Jakarta juga harus berjuang
melawan arus sungai yang deras, sekaligus jembatan yang jumlahnya kian
bertambah.
Sejak Januari
lalu, setidaknya terdapat 21 perahu eretan yang masih melaju membelah sungai di
Jakarta. Tersebar di Kanal Barat, Pesing, Taman Kota, Pasar Ikan, Bukit Duri,
Pasar Baru, Plumpang dan Muara Baru.
Tiga di antaranya
harus berpulang lebih dulu, kalah oleh arus zaman. Di Bukit Duri, perahu yang
saban hari menyusuri Sungai Ciliwung, pasrah pada derasnya arus musim penghujan
Maret lalu. Armada itu lepas dari kaitan dan terbawa arus hingga ke pintu air
Manggarai dalam kondisi lapuk. Selain itu, dua perahu lainnya teronggok di
Kanal Barat, bocor akibat hempasan arus deras sungai.
Sejumlah warga
Jakarta juga masih mengingat beberapa perahu eretan lain yang dulu menjadi
armada penyeberangan namun kini tinggal cerita. Di Pasar Minggu, di Grogol,
Bendungan Hilir, Pluit, dan sederet perahu eretan lainnya yang pernah ada namun
tak sempat tercatat sejarah.
Asiroh dan
penarik perahu asal Brebes lainnya tak hanya menjadikan armadanya itu sebagai
sumber kehidupan, tapi sekaligus rumah yang menaungi mereka dari panas dan
hujan. Mereka bekerja, memasak, bercengkerama bersama warga kampung yang
sesekali berkunjung, juga bermalam di rumah apung itu.
Saat malam tiba,
mereka menyalakan lampu petromaks dan menurunkan tirai. Menjelang tidur, mereka
mengikatkan tali dengan kuat ke tautan terdekat, agar perahu, sekaligus hidup
dan penghidupan mereka itu, tak terbawa arus saat terlelap.
Sementara pada
saat yang sama dunia terus bergerak cepat dan teknologi kian canggih. Yang
manual dan lamban akan tertinggal, bahkan tersingkirkan. Sampai kapan perahu
eretan Jakarta dapat bertahan di tengah derasnya laju zaman, waktu yang akan
membuktikan.
No comments:
Post a Comment