-->
Monday, February 11, 2019
Siska Nirmala: Gunung bukan tempat sampah!
-->
Seorang jurnalis mengajak siapapun untuk kembali pada
budaya lama, naik gunung tanpa memproduksi sampah.
Hayati Nupus
JAKARTA
Ide untuk hidup tanpa memproduksi sampah itu terlintas di
kepala Siska Nirmala, 31 tahun, setelah bekerja menjadi jurnalis di salah satu
harian besar di Jawa Barat.
Saat masih kuliah di Universitas Pendidikan Indonesia dan
bergabung dengan kelompok mahasiswa pecinta alam Mahacita, Siska mendaki gunung
seperti para pendaki pada umumnya: membawa perbekalan praktis seperti mie
instan, air mineral, sarden dan makanan ringan yang malah menyisakan sampah.
Begitu pula, saat mengikuti pelatihan zero waste living
yang digelar oleh Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB) Bandung
pada 2010, Siska hanya memperoleh pengetahuan detail mengenai bagaimana hidup
tanpa memproduksi sampah namun tidak mempraktikkannya.
“Seperti habis ikut pelatihan pada umumnya lah,
praktiknya kapan-kapan saja,” Siswa tergelak mengingat masa lalunya, Senin,
kepada Anadolu Agency.
Saat mendaki Rinjani pada 2010 dan Semeru pada 2011,
barulah hati Siska tergugah. Dia mulai sebal melihat banyaknya sampah
bertebaran di gunung-gunung dan dibiarkan begitu saja. Kian banyak orang yang
mengaku mencintai alam dengan mendaki gunung, namun seiring dengan itu kian
banyak pula sampah yang mereka produksi.
Ketimbang dicintai, tukas dia, yang ada justru gunung
menjadi tempat sampah. Kesebalan Siska kian lengkap karena dia menjadi salah
satu produsen sampah di gunung itu.
“Dari situ saya mulai niatin untuk mengubah diri sendiri
dengan hidup less waste di rumah,” aku Siska.
Mulai dari diri sendiri
Siska memulai hidup less waste pada 2012. Dia setop
menggunakan kantong plastik, mengurangi konsumsi air mineral berbotol plastik,
membawa bekal botol air minum dan kotak ransum saat berpergian, dan mengompos
sisa makanan organik sendiri.
Tanpa sadar, pola itu berkorelasi positif pada gaya hidup
sehat. Ketimbang membeli makanan ringan berkemasan yang mengandung MSG, Siska
beralih mengonsumsi buah-buahan. Ke manapun pergi, dia membawa bekal. Saat
membeli jajanan di luar rumah seperti batagor atau mie ayam pun, Siska tak lagi
meninggalkan residu plastik karena dia memakannya di tempat penjualan atau
memasukkannya ke dalam kotak ransum.
Ekspedisi zero waste adventure baru Siska mulai pada
2013, dengan membidik lima gunung, yaitu Gunung Gede, Gunung Tambora, Gunung
Papandayan, Gunung Lawu, dan berakhir pada 2015 dengan mendaki Gunung Argopuro.
“Setiap ekspedisi gunung saya mengajak teman berbeda,
sengaja, agar keracunan gaya hidup zero waste,” kata Siska.
Umumnya teman yang ikut lebih tertarik dengan tawaran
naik gunungnya ketimbang zero waste adventure. Namun karena aturan ekspedisi
itu adalah zero waste, toh akhirnya mereka ikut juga.
Agar sampah terkurangi saat naik gunung, kata Siska,
persiapan sebelum mendaki harus matang, terutama soal perbekalan. Siska
mengganti air mineral kemasan yang biasa dibawa pendaki gunung dengan botol air
minum dan jerigen lipat. Botol dan jerigen tersebut bisa diisi ulang ketika menemukan
mata air.
Makanan praktis seperti mie dan sarden Siska ganti dengan
bahan alami seperti beras dan sayur mayur. Semuanya dikemas dalam kotak
makanan, bukan plastik. Jika kepingin berbekal lauk, Siska membawa telur ayam
dan ikan asin. Atau, Siska memboyong makanan olahan seperti abon atau rendang
yang bisa tahan lama.
Jika kepingin membawa makanan ringan, ketimbang membawa
cokelat, Siska menggantinya dengan makanan tradisional seperti dodol yang
berbalut daun jagung dan buah-buahan. Kadang Siska membawa cireng dalam kotak,
dan menggorengnya di atas gunung.
Jumlah bekal yang dibawa pun sesuai dengan kebutuhan.
Semisal untuk mendaki gunung selama dua hari, Siska akan membawa bekal makanan
untuk empat kali makan. Kalau mendaki gunung lebih dari dua hari, Siska membawa
sayuran yang tahan lebih lama seperti wortel, kubis dan labu.
Kembali ke budaya lama
Praktik naik gunung berbekal bahan alami begini
sebetulnya merupakan budaya lama, kata Siska. Masyarakat menggantinya dengan
makanan praktis berbungkus plastik seiring tren kehidupan instan.
Selain tak menyehatkan, kata Siska, substansi makanan
instan itu pun bukan pada jenis makanannya, melainkan fungsinya. Mie instan
tampak begitu lezat dikonsumsi di atas gunung karena makanan itu menghangatkan.
Makanan itu dapat diganti dengan makanan sejenis yang juga menghangatkan,
semisal dengan sayur sop.
“Ini sebetulnya persoalan mindset, saya coba mendobrak
budaya pendakian yang serba instan,” ujar Siska.
Selama ini, umumnya kampanye zero waste sebatas menenteng
sampah dari atas gunung dan membawanya turun. Namun persoalan tak selesai
sampai di situ, karena sampah-sampah itu kemudian memenuhi pos pendakian dan
solusi yang dilakukan adalah dengan mengubur atau membakarnya.
“Itu tidak menyelesaikan persoalan dari hulu, sampah yang
ada di gunung tetap ada lagi meskipun aksi bersih gunung dilakukan setiap
tahun,” lanjut Siska.
Menularkan kehidupan zero waste, menurut Siska, lebih
efektif lewat ekspedisi naik gunung. Saat ini naik gunung tengah menjadi tren
di kalangan generasi milenial. Penularan “virus” itu pun tak akan efektif kalau
hanya memaparkan teori. Dengan ekpedisi naik gunung, mereka menjadi pelaku
langsung dan kemudian merasakan kalau ternyata praktik zero waste adventure itu
mudah.
Apalagi naik gunung di era sekarang lebih mudah ketimbang
dulu. Dengan adanya internet, pendaki dapat memperoleh informasi seputar gunung
dengan mudah dan dapat menyusun perencanaan dengan lebih baik.
Buku yang tersebar di seluruh provinsi
Siska menuangkan pengalaman-pengalaman mendaki gunung
tanpa memproduksi sampah itu menjadi sebuah buku berjudul Zero Waste Adventure.
Ketimbang menceramahi orang, Siska merasa pesan itu akan lebih mengena jika
disampaikan lewat narasi.
Selain titik balik Siska mengubah kebiasaan buruk menjadi
zero waste adventurer, buku setebal 111 halaman itu juga berisikan tips dan
trik bagaimana hidup nyaman dengan pola zero waste.
Siska menggarap buku itu sendiri, dari proses penulisan,
percetakan, hingga distribusi pada 2017. Penggarapan secara indie ternyata
memberikan peluang lebih, Siska mendistribusikan buku itu tanpa berbungkus
plastik seperti buku baru yang dijual pada umumnya.
“Malah sesuai dengan misi buku, agar zero waste,” kata
dia.
Tak disangka, Siska memperoleh sambutan antusias dari
pasar. Cetakan 3.000 eksemplar ludes meski hanya dengan distribusi lewat media
sosial. Buku-buku itu kini tersebar di seluruh provinsi di Indonesia.
Siska juga tak menyangka jika konsumen buku itu beragam.
Dari pecinta alam, pegawai pemerintahan, swasta, hingga ibu rumah tangga.
Siska bahagia dapat menginspirasi orang lain untuk
berlaku pola hidup serupa, zero waste. Rasa bahagia itu menjadi berlipat karena
ternyata bukunya menginspirasi orang lain untuk menulis buku dengan tema yang
sama.
Setelah membaca buku Zero Waste Adventure, seorang ibu
rumah tangga pecinta lingkungan di Malang, Jawa Timur, bernama DK Wardhani,
membuat buku sejenis berjudul #belajarzerowaste Menuju Rumah Minim Sampah.
Tak jarang, Siska juga menerima beragam konsultasi
mengenai pola hidup sehat lewat media sosial.
Saat ini, Siska tengah mempersiapkan cetakan kedua buku
Zero Waste Adventure.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete