Tuesday, September 6, 2011

Merangkai Daun Jadi Tumpukan Rupiah

Indonesia merupakan negara tropis yang terkenal akan kekayaan alamnya. Aneka ragam hayati tumbuh di negara yang dilintasi garis khatulistiwa ini. Tak terhitung jumlah pepohonan dengan aneka ragam bentuk dan warna daunnya. Dari daun saga, daun pisang, hingga daun talas yang berukuran besar.

Saijo, warga Dusun Magirejo, RT/w 04/02 Desa Ngalang Kecamatan Gedangsari, Gunungkidul Yogyakarta melihat peluang usaha dari kekayaan alam Indonesia itu. Ia membuat kerajinan dari bahan dedaunan yang tumbuh di sekitar lingkungan rumahnya.

Sebelumnya Saijo membuat kerajinan topeng kayu, namun tak memiliki prospek cerah karena terlalu banyak pengrajin topeng kayu di daerahnya. Lalu ia mengamati alam sekitar tempat tinggalnya, mencari potensi apa yang kira-kira memiliki prospek usaha namun belum banyak dijalani orang. Saijo melihat Gunungkidul memiliki banyak pepohonan dengan aneka keunikan daunnya. Dari situ munculah ide membuat kerajinan dari daun.

Waktu itu tahun 1999. Meski hanya lulusan SMP Saijo mencoba menciptaka inovasi baru. Modal Rp500 ribu ia gunakan untuk membeli kertas, lem dan aksesoris untuk mempercantik karyanya. “Untuk daun tidak perlu mengeluarkan biaya, karena beragam daun sudah tersedia di sekitar rumah,” ujar Saijo yang waktu itu masih melajang.

Saijo kemudian menawarkan aneka kerajinan daun yang ia buat kepada pengepul di wilayah Kasongan, Yogyakarta. Pengepul tertarik dengan keunikan karya Saijo. Waktu itu belum ada pengrajin yang membuat kerajinan dari daun. Ada box tisu, blocknote, frame foto, undangan, cermin, tempat pensil, kotak perhiasan, dan lain sebagainya. Semuanya berlapis daun. Pengepul langsung memesan sejumlah kerajinan daun pada Saijo. Dari pesanan itu, Saijo menerima upah pertamanya, Rp1,5 juta, jumlah yang besar saat itu untuk ukuran orang kecil sepertinya. Tak dinyana, lewat pengepul itu, hasil karya berbahan daun milik Saijo merambah hingga ke mancanegara seperti Belanda, Kanada dan Amerika.

Cara membuatnya mudah. Pertama-tama Saijo menyiapkan daun yang akan digunakan. Daun yang masih hijau segar tersebut ada yang direbus terlebih dahulu, ada yang langsung digunakan, tergantung keinginan pemesan. Hasil kerajinan dari daun yang tidak direbus bisa tahan sampai 2 tahun, sedangkan jika direbus terlebih dahulu, bisa tahan sampai 5 tahun. Sebelum digunakan, daun disetrika terlebih dahulu. Kemudian Saijo membuat konstruksi sesuai bentuk kerajinan yang diinginkan dari kertas karton. Setelah siap, daun yang telah disterika dilekatkan pada konstruksi menggunakan lem. Sisa-sisa lem pada kerajinan dibersihkan menggunakan lap yang telah dibasahi bensin. Setelah itu kerajinan yang setengah jadi siap dihias. Hiasannya bisa macam-macam. Untuk tempat pensil dan kotak perhiasan, tinggal diberi puring untuk bagian dalam dan alasnya. Untuk cermin tinggal dipasangkan kaca dan manik-manik agar bentuknya lebih manis. Jika ingin warna yang berbeda, tinggal diberi pewarna.

Aneka macam daun ia gunakan, seperti daun kupu-kupu, daun coklat, daun mahoni, daun pisang atau daun lamtoro. “Kami baru mencoba beberapa daun, mungkin daun lain juga bisa digunakan. Namun sampai saat ini konsumen lebih banyak menyukai daun kupu-kupu. Mungkin karena bentuknya unik, seperti kupu-kupu,” tutur Saijo.

Seiring bertambah banyaknya jumlah pesanan, selain dibantu istrinya, Mujiyati dan mempekerjakan 5 orang karyawan, Saijo juga berbagi ilmu tentang bagaimana membuat kerajinan daun kepada tetangganya. Sampai sekarang, sejumlah 21 pengrajin daun terkumpul di Dusun Magirejo. Untuk mengembangkan usahanya, enam bulan yang lalu Saijo membentuk kelompok usaha kerajinan daun dengan nama Kelompok Karya Muda. Ia menjadi ketua di kelompok itu. Melalui kelompok itulah sejumlah pengrajin kumpul guyub sambil berbincang-bincang. “Malah sekarang kami membuat arisan dan dikocok tiap selapanan atau 35 hari sekali, sesuai kalender jawa,” ujar Saijo mengutarakan perkembangan kelompoknya. Selain agar lebih guyub, jika ada pesanan kerajinan daun, Saijo membagi kerja lewat kelompok itu. Sampai kini sudah ada 3 pengepul yang rajin memesan kerajinan daun kepada Kelompok Karya Muda. Meski sewaktu pertama berdiri hasil penjualan hanya Rp1,5 juta, kini setelah berkembang, sekali pesanan omset bisa mencapai Rp 35 juta.

Hambatan yang selama ini dialami Saijo lebih banyak karena faktor alam. Gunung Kidul, seperti namanya, secara geografis memang terletak di wilayah pegunungan. Jika musim kemarau warga mengalami krisis air. Hal ini berpengaruh pada tumbuhan di sekitarnya. Bila kemarau tiba, daun-daun mulai meranggas dan tumbuh kembali di musim penghujan. “Kesulitannya kalau musim kemarau, mencari daun yang masih hijau jadi susah” tegas Saijo yang kini memiliki 2 orang anak ini.

Ke depannya Saijo berharap tidak hanya mampu memproduksi, tapi juga mengekspor sendiri hasil karyanya. “Tapi itu baru cita-cita. Ya semoga saja terkabul,” harap Saijo dimini istrinya.

1 comment: