Monday, November 23, 2015

PAMERAN: Satu Abad Sang Perayu


Mencari identitas dua dara dalam peringatan seabad Basoeki Abdullah (27 Januari 1915-5 November 1993). Mencari peran naturalisme Basoeki dalam wacana seni rupa Indonesia.


Sumber foto: museumbasoekiabdullah.or.id
Lukisan dengan obyek tiga perempuan cantik itu adalah salah satu karya masterpiece Basoeki Abdullah. Perempuan paling depan mengenakan busana melayu berwarna merah marun dengan kain songket berwarna senada. Ia duduk dengan bahu menyender di kursi. Di belakangnya, perempuan lain menyenderkan tangan di bahu kursi. Rambut perempuan itu digelung dan mengenakan baju kuning berbalut kain sari India. Sedangkan perempuan ketiga berdiri di samping keduanya dan mengenakan gaun cheongsam ungu muda.

Semula lukisan itu diberi judul Nusantara. Belakangan, judulnya diubah menjadi Tiga Dara. Basoeki membuatnya sekira tahun 1955. Setelah sang maestro naturalis itu mati karena dibunuh pada 1993, orang-orang mulai mencari tahu siapa sosok tiga perempuan cantik yang jadi model Tiga Dara itu.

Setitik cahaya datang pada 2010. Azah Aziz, ketika itu berusia 84 tahun, datang ke Indonesia dan menyempatkan diri menyambangi lukisan itu di sebuah pameran di Jakarta. Azah adalah seorang jurnalis senior di Malaysia. Perempuan berdarah campuran Arab, Melayu, dan Turki itu mengklaim diri sebagai sosok perempuan berbalut baju merah dalam lukisan itu. Ketika dilukis, Azah berusia 30 tahun. Seturut kemiripan wajah, didukung cerita-cerita yang disampaikan, orang-orang memercayai klaim itu.

Satu dara -tidak benar-benar dara karena Azah mengaku sudah punya satu anak saat dilukis Basoeki-- sudah ditemukan. Dua lainnya masih dicari. Museum Basoeki Abdullah berupaya menguak misteri identitas dua dara lain dalam lukisan itu enam dekade setelah lukisan dibuat. Kesulitannya: mungkin saja dua pemilik wajah itu sudah sangat renta atau telah meninggal dunia.

Proyek ''Mencari Tiga Dara'' diluncurkan melalui website Museum Basoeki Abdullah. Upaya yang sama juga dilakukan lewat pameran ''Rayuan 100 Tahun Basoeki Abdullah'' yang menghadirkan reproduksi digital lukisan Tiga Dara. Pameran tunggal Basoeki ke-50 hasil kerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini diselenggarakan di Museum Nasional, 21-30 September lalu.

Pameran ini menyajikan 42 lukisan asli karya Basuki Abdullah dengan beragam tema. Potret, lanskap alam, mitologi, dan perempuan. Kesemuanya mencomot koleksi Museum Basoeki Abdullah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Galeri Nasional Indonesia, Museum Seni Rupa dan Keramik,Cemara 6 Gallery dan sederet milik kolektor individu.

Tidak hanya lukisan yang dipajang, pameran ini juga menyajikan sejumlah reproduksi digital lukisan karyanya, foto, sejumlah arsip tentang Basoeki, berikut sederet memorabilia barang-barang yang pernah digunakannya ketika membuat karya. Kurator pameran ini, Mikke Susanto menyebut ajang ini bersifat semi-retrospeksi sekaligus semi-historis. Membuka kembali manuskrip karya dan hasil pemikiran Basoeki, sekaligus menyajikan arsip-arsip mengenai kehidupannya.

Tema rayuan sengaja dipilih terkait keterampilan sosial Basoeki dalam berkesenian. Lukisan-lukisan yang dipamerkan itu adalah jejak rayuan cucu Wahidin Sudiro Husodo ini. Jejak itu menyoal budaya leluhurnya seperti epos Ramayana dan Mahabharata, lanskap alam, dan potret tokoh nasional, kemudian melanglang buana ke Asia Tenggara, hingga ke Eropa.

''Rayuan ini menjadi titik penting dalam hidupnya agar ia menjadi utuh. Merayu seseorang untuk menjadi modelnya, membeli lukisannya, menjadi bagian dari apa yang ia inginkan. Basoeki Abdullah pandai untuk itu,'' kata Mikke.

Kepandaian Basoeki dalam merayu dan menuangkan hasil rayuannya ke dalam kanvas naturalisme tidak sepenuhnya mendapat tanggapan positif. Buku Basoeki Abdullah: Sang Hanoman Keloyongan (diluncurkan dalam pameran ini) yang ditulis Agus Dermawan T. merekonstruksi kritik "Bapak Seni Lukis Modern Indonesia", S. Sudjojono, terhadap karya-karya Basoeki.

Sudjojono pada 1930-an menempatkan karya naturalisme Basoeki sebagai penjelmaan nyata selera turis, tidak memiliki ingatan sejarah karena tidak merekam sebuah momentum. ''Naturalisme Basoeki dikecam sebagai contoh kedangkalan lukisan mooi Indie atau 'Hindia jelita' yang sekadar bermain di wilayah jual-beli,'' tulis Agus.

Namun, Basoeki adalah orang yang gampang murka jika ada yang menyebut naluralisme tidak lebih berharga dari realisme. ''Lukisan saya boleh dikecam, namun pandangan yang melecehkan naliralisme adalah keliru besar. Naturalisme justru ibu dari realisme,'' ungkap Basoeki sebagaimana dikutip Agus dalam bukunya.

Sudut pandang kaum akademisi dalam konstelasi seni rupa Indonesia menilai lukisan-lukisan naluralis Basoeki sebagai manifestasi yang cuma menghibur penglihatan dan tidak mengusung wacana. Itu sebabnya, karya Basoeki secara literer ditulis samar-samar di kitab sejarah seni rupa Indonesia.

Namun Basoeki bergeming. Ia, menurut Agus, memang mengakui bahwa tidak menemukan apa-apa dan tidak mencetuskan gaya baru dalam ''karier'' kepelukisannya (bukan berarti tidak mencoba gaya baru; di akhir kariernya ia sempat mencoba melukis abstrak namun, konon, tidak mendapat tanggapan beraryi dari publik seni rupa maupun pasar). Namun buatnya, hal terpenting dari sebuah karya adalah kegunaannya bagi penikmatan batin manusia. ''Lukisan saya memilih cara komunikasi yang paling bisa dipahami,'' ujarnya. 
Dengan sasaran indra penikmatan dan model komunikasi sederhana semacam itu, Basoeki menerjemahkan imajinasi orang Indonesia atas tokoh mitologi dan legenda seperti Nyi Roro Kidul dan Doko Tarub.

Nyi Roro Kidul adalah tokoh utama dalam mitlogi Laut Selatan Jawa. Ia disebut-sebut sebagai sosok perempuan dengan kecantikan dan keanggunan luar biasa. Sedang legenda Joko Tarub mengisahkan tujuh bidadari turun ke bumi untuk mandi dan sang Joko mencuri selendang salah satu bidadari itu yang kemudian diperistrinya. ''Seperti apa sosok Nyi Roro Kidul dan Joko Tarub, ya seperti yang Basoeki Abdullah lukis. Basoeki menanamkan pada kita imajinasi berkelanjutan mengenai itu semua,'' kata Mikke.


Setidaknya tiga kali Basoeki menciptakan lukisan Nyi Roro Kidul. Sedangkan legenda Joko Tarub ia lukis sebanyak enam kali. Salah satunya adalah pesanan khusus Presiden Soekarno dengan figur bidadari berjumlah enam saja.

2 comments:

  1. Selamat sore Ibu Nufus.
    Sebelumnya perkenalkan nama saya Bong Novelia mahasiswi semester akhir London School of Public Relations Jakarta.
    Saat ini saya sedang mengerjakan skripsi dengan judul "Analisis Pelaksanaan Special Event Rayuan 100 Tahun Basoeki Abdullah".
    Apakah Ibu bersedia untuk menjadi narasumber eksternal?
    Bila ya, apa terdapat persyaratan khusus?
    Terima kasih.

    ReplyDelete
  2. Halo. Maaf baru lihat komenmu. Gimana, ada yang bisa saya bantu? Saya bisa dihubungi langsung via fleurde.nufus@gmail.com :)

    ReplyDelete