Teks,
budaya, bahasa dan sejarah berkelindan dalam satu karya. Menggunakan
referensi barat dan timur dengan sudut pandang oksidentalis.
Seperti
kitab yang terbuka, halaman kanan lukisan manuskrip tua itu
berisikan teks kidung Ramayana, sastra jawa klasik di abad 12. Persis
rujukan aslinya, ia berupa teks hanacaraka dalam bahasa sansekerta.
Sedang di halaman kiri, Dewi Venus berpose erotis, sebagaimana dalam
lukisan “The Sea Monster” karya pelukis Jerman abad renaissance
Albrecht Durer. Jika dilihat detil, pose Dewi Venus itu berbahan
taburan teks-teks kidung Ramayana, dengan huruf dan bahasa sansekerta
pula.
Kedua
teks budaya timur dan barat ini memiliki kesamaan; mengisahkan
penculikan putri oleh sosok antagonis. Kitab Ramayana mengisahkan
Shinta diculik raksasa bernama Rahwana. Sedang dalam The Sea Monster,
digambarkan Dewi Venus diculik manusia setengah ikan yang berjenggot
dan bertanduk.
Pertemuan
itu terpapar dalam lukisan manuskrip berjudul “The Book of Hours of
Ramayana”(180 x 291 Cm) lengkap dengan ornamen berbagai bunga yang
bertujuan memuliakan teks khas dalam kitab-kitab iluminasi. Karya
pelukis Eddy Susanto itu menandai pameran tunggalnya berjudul
“JavaScript” di Galeri Nasional, 4-13 September 2015.
Selain
lukisan manuskrip yang berjumlah 25 buah, sejumlah 25 karya lainnya
juga dipamerkan. Terdiri dari 20 buah Cabinets of curiosities (jumlah
yang sama dengan aksara jawa), illuminations of javascript, hymne of
dystopia, the javanese calender lifetime, dan melancolia.
Sumber foto: Gulalives.co |
Selain
kesamaan kisah dengan The Sea Monster, naskah Ramayana sebagai produk
budaya, juga memiliki kedekatan dengan The Book of Hours. Jagat
nusantara pernah mengalami peralihan dari tradisi teks melalui babad
dan kakawin, kemudian bergeser ke tradisi kidung. Apa yang terkandung
dalam kakawin yang mulanya dibaca dan dilakukan segolongan elit,
kemudian beralih menjadi dinyanyikan dan dilakukan oleh kalangan luas
dari berbagai golongan. Peralihan tradisi itu terjadi juga di barat,
melalui The Book of Hours yang mulanya teks doa dari abad
pertengahan, kemudian menyebar luas dengan dikidungkan di berbagai
gereja.
Interaksi
penonton dengan karya “The Book of Hours of Ramayana” tidak hanya
melalui sajian visual, tapi juga audio. Di antara ornamen iluminati,
pada bagian kanan bawah karya, penonton bisa mendengarkan suara
pesinden melantunkan kidung Ramayana dan kidung dalam The Book of
Hours dalam rekaman MP3.
Lukisan
manuskrip lain tak memuat lukisan tua karya maestro barat, tapi
produk budaya dengan kemajuan teknologi bikinan barat yang sedang
digandrungi anak muda. Yaitu facebook, google, twitter, amazon.com,
wikipedia, youtube, berikut portal website lainnya. Produk budaya
kekinian itu diwujudkan dalam “Illuminations of Javascript”.
Bentuk fisiknya, manuskrip lukisan itu menjadi wadah script
masing-masing portal website dalam wujud teks hanacaraka.
Visual
hanacaraka ini menjadi wujud identitas kejawaan Eddy Susanto, yang
pernah numpang lahir di Jakarta, kemudian tumbuh dan berkembang di
tanah leluhurnya di Jawa. Usai menamatkan studi Desain Grafis di
Modern School of Desain, Yogyakarta, ia melanjutkan studi di Institut
Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta di jurusan yang sama.
Di
dunia desain, segala bidang telah dilakoninya. Kaos untuk sederet
distro, poster, dan sampul buku. Ia pernah menyabet juara 1,2 dan 3
sekaligus dalam lomba poster HAM untuk Munir, serta mendesain ratusan
cover buku untuk berbagai penerbit, seperti Pustaka Pelajar, Jendela,
Kreasi Wacana Galang Press dan Insist Press.
Pada
ranah lukis, ia mempertemukan dua produk budaya, barat dan timur,
juga visual teks dalam satu wadah. Tercatat ia pernah memenangkan
Bandung Contemporary Art Award yang diselenggarakan oleh Lawangwangi
Creative Space. Sedang pameran tunggal diantaranya adalah The Passage
of Panji – Memory, Journey and Desire di Lawangwangi Creative
Space, Bandung, pada 2014 dan Albrecht Durer and the Old Testament of
Java, Galerie Michael Janssen, Singapore di tahun yang sama.
Riset
untuk pameran JavaScript digagas sejak 2,5 tahun lalu. Dengan merujuk
ke sejumlah teks keagamaan lokal seperti Negara Kartagama,
Arjunawiwaha, Pararaton, Wedhatama, Ramayana dan Serat Centini, juga
lukisan tua karya maestro barat seperti Albrecht Durer, Christoph
Weigel dan Martin Schaongauer.
Proses
riset mendalam berikut korespondensi antara teks, bahasa, budaya dan
sejarah ini yang menimbulkan kelindan makna dalam karya-karya
JavaScript. Kelindan makna itu muncul karena tak hanya menerobos
batas geografis timur-barat tapi juga menerobos dimensi waktu, pola
produksi dan karakter visual. “Maka pemirsa pameran sedikit banyak
akan dituntut untuk melakukan penelusuran intelektual yang cukup
rumit untuk mendapatkan korelasi yang koheren,” kata kurator
JavaScript, Asmudjo Jono Irianto.
Menariknya,
jika selama ini ilmu pengetahuan dan berbagai produk budaya
turunannya menggunakan perspektif orientalis dalam melihat timur,
karya Eddy justru sebaliknya. Eddy menelaah budaya barat dengan modal
identitas kebudayaan timur yang telah ajeg. “Perspektif
okesidentalis ini jarang digunakan ilmuan maupun seniman,” katanya.
Kurator
lain pameran ini, Suwarno Wisetrotomo mengatakan karya-karya ini tak
hanya memancarkan watak historis yang kuat tapi juga memunculkan
kesadaran soal identitas. Sebuah momentum yang ia nilai tepat di
tengah kondisi bangsa yang limbung dan tidak percaya diri di antara
pergaulan global.
Ada
begitu banyak orang Indonesia yang kehilangan nilai-nilai
lokalitasnya. Ada begitu banyak orang jawa yang kehilangan identitas
kejawaannya. “Karya ini membangkitkan kesadaran bahwa kita tidak
punya alasan untuk tidak percaya diri di tengah pergaulan dunia. Kita
bukan bangsa miskin, kita punya modal budaya sejarah yang tidak
terkira. Manuskrip Jawa ini menunjukan itu semua,” kata Suwarno.
No comments:
Post a Comment