Monday, November 23, 2015

Menelaah Barat dengan Manuskrip Jawa



Teks, budaya, bahasa dan sejarah berkelindan dalam satu karya. Menggunakan referensi barat dan timur dengan sudut pandang oksidentalis.

Seperti kitab yang terbuka, halaman kanan lukisan manuskrip tua itu berisikan teks kidung Ramayana, sastra jawa klasik di abad 12. Persis rujukan aslinya, ia berupa teks hanacaraka dalam bahasa sansekerta. Sedang di halaman kiri, Dewi Venus berpose erotis, sebagaimana dalam lukisan “The Sea Monster” karya pelukis Jerman abad renaissance Albrecht Durer. Jika dilihat detil, pose Dewi Venus itu berbahan taburan teks-teks kidung Ramayana, dengan huruf dan bahasa sansekerta pula.

Kedua teks budaya timur dan barat ini memiliki kesamaan; mengisahkan penculikan putri oleh sosok antagonis. Kitab Ramayana mengisahkan Shinta diculik raksasa bernama Rahwana. Sedang dalam The Sea Monster, digambarkan Dewi Venus diculik manusia setengah ikan yang berjenggot dan bertanduk.

Pertemuan itu terpapar dalam lukisan manuskrip berjudul “The Book of Hours of Ramayana”(180 x 291 Cm) lengkap dengan ornamen berbagai bunga yang bertujuan memuliakan teks khas dalam kitab-kitab iluminasi. Karya pelukis Eddy Susanto itu menandai pameran tunggalnya berjudul “JavaScript” di Galeri Nasional, 4-13 September 2015.

Sumber foto: Gulalives.co
Selain lukisan manuskrip yang berjumlah 25 buah, sejumlah 25 karya lainnya juga dipamerkan. Terdiri dari 20 buah Cabinets of curiosities (jumlah yang sama dengan aksara jawa), illuminations of javascript, hymne of dystopia, the javanese calender lifetime, dan melancolia.

Selain kesamaan kisah dengan The Sea Monster, naskah Ramayana sebagai produk budaya, juga memiliki kedekatan dengan The Book of Hours. Jagat nusantara pernah mengalami peralihan dari tradisi teks melalui babad dan kakawin, kemudian bergeser ke tradisi kidung. Apa yang terkandung dalam kakawin yang mulanya dibaca dan dilakukan segolongan elit, kemudian beralih menjadi dinyanyikan dan dilakukan oleh kalangan luas dari berbagai golongan. Peralihan tradisi itu terjadi juga di barat, melalui The Book of Hours yang mulanya teks doa dari abad pertengahan, kemudian menyebar luas dengan dikidungkan di berbagai gereja.

Interaksi penonton dengan karya “The Book of Hours of Ramayana” tidak hanya melalui sajian visual, tapi juga audio. Di antara ornamen iluminati, pada bagian kanan bawah karya, penonton bisa mendengarkan suara pesinden melantunkan kidung Ramayana dan kidung dalam The Book of Hours dalam rekaman MP3.

Lukisan manuskrip lain tak memuat lukisan tua karya maestro barat, tapi produk budaya dengan kemajuan teknologi bikinan barat yang sedang digandrungi anak muda. Yaitu facebook, google, twitter, amazon.com, wikipedia, youtube, berikut portal website lainnya. Produk budaya kekinian itu diwujudkan dalam “Illuminations of Javascript”. Bentuk fisiknya, manuskrip lukisan itu menjadi wadah script masing-masing portal website dalam wujud teks hanacaraka.


Visual hanacaraka ini menjadi wujud identitas kejawaan Eddy Susanto, yang pernah numpang lahir di Jakarta, kemudian tumbuh dan berkembang di tanah leluhurnya di Jawa. Usai menamatkan studi Desain Grafis di Modern School of Desain, Yogyakarta, ia melanjutkan studi di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta di jurusan yang sama.

Di dunia desain, segala bidang telah dilakoninya. Kaos untuk sederet distro, poster, dan sampul buku. Ia pernah menyabet juara 1,2 dan 3 sekaligus dalam lomba poster HAM untuk Munir, serta mendesain ratusan cover buku untuk berbagai penerbit, seperti Pustaka Pelajar, Jendela, Kreasi Wacana Galang Press dan Insist Press.

Pada ranah lukis, ia mempertemukan dua produk budaya, barat dan timur, juga visual teks dalam satu wadah. Tercatat ia pernah memenangkan Bandung Contemporary Art Award yang diselenggarakan oleh Lawangwangi Creative Space. Sedang pameran tunggal diantaranya adalah The Passage of Panji – Memory, Journey and Desire di Lawangwangi Creative Space, Bandung, pada 2014 dan Albrecht Durer and the Old Testament of Java, Galerie Michael Janssen, Singapore di tahun yang sama.

Riset untuk pameran JavaScript digagas sejak 2,5 tahun lalu. Dengan merujuk ke sejumlah teks keagamaan lokal seperti Negara Kartagama, Arjunawiwaha, Pararaton, Wedhatama, Ramayana dan Serat Centini, juga lukisan tua karya maestro barat seperti Albrecht Durer, Christoph Weigel dan Martin Schaongauer.

Proses riset mendalam berikut korespondensi antara teks, bahasa, budaya dan sejarah ini yang menimbulkan kelindan makna dalam karya-karya JavaScript. Kelindan makna itu muncul karena tak hanya menerobos batas geografis timur-barat tapi juga menerobos dimensi waktu, pola produksi dan karakter visual. “Maka pemirsa pameran sedikit banyak akan dituntut untuk melakukan penelusuran intelektual yang cukup rumit untuk mendapatkan korelasi yang koheren,” kata kurator JavaScript, Asmudjo Jono Irianto.

Menariknya, jika selama ini ilmu pengetahuan dan berbagai produk budaya turunannya menggunakan perspektif orientalis dalam melihat timur, karya Eddy justru sebaliknya. Eddy menelaah budaya barat dengan modal identitas kebudayaan timur yang telah ajeg. “Perspektif okesidentalis ini jarang digunakan ilmuan maupun seniman,” katanya.

Kurator lain pameran ini, Suwarno Wisetrotomo mengatakan karya-karya ini tak hanya memancarkan watak historis yang kuat tapi juga memunculkan kesadaran soal identitas. Sebuah momentum yang ia nilai tepat di tengah kondisi bangsa yang limbung dan tidak percaya diri di antara pergaulan global.

Ada begitu banyak orang Indonesia yang kehilangan nilai-nilai lokalitasnya. Ada begitu banyak orang jawa yang kehilangan identitas kejawaannya. “Karya ini membangkitkan kesadaran bahwa kita tidak punya alasan untuk tidak percaya diri di tengah pergaulan dunia. Kita bukan bangsa miskin, kita punya modal budaya sejarah yang tidak terkira. Manuskrip Jawa ini menunjukan itu semua,” kata Suwarno.


No comments:

Post a Comment