Monday, November 23, 2015

TEATER: Jika Koruptor Menyambut Inspektur Jendlar



Pentas ke-142 Teater Koma. Mengusung isu korupsi dengan menyadur Revizor karya Nikolai Gogol. Asyik, kecuali selip lidah.

Tidak ada yang bertahan sebagai rahasia di kota kecil di negara Astinapura itu. Ananta Bura, sang wali kota, memiliki telinga dan mata yang lihai menyelinap di antara surat-surat penting rahasia yang singgah di kotanya. Termasuk informasi tentang kedatangan seorang Inspektur Jenderal. Ia dikirim dari ibu kota untuk melakukan investigasi administrasi pemerintahan demi persiapan perang negeri Astina melawan Amarta.

Ananta Bura panik bukan kepalang. Posisinya, juga pejabat lain di kota kecil itu, terancam. Persoalannya, selama 30 tahun menjabat, virus korupsi merajalela. Segala jenis pejabat, tak ada yang tak korup. Wali kota, hakim, kepala kesehatan, penilik sekolah, kepala kantor pos, bahkan pegawai kecil seperti Nakuli dan Sadiwi terlibat dalam aktivitas yang dalam terminologi wali kota: "Jika sesuatu sudah masuk ke dalam kantong, tidak mudah mengeluarkannya."


Lantas, mereka merembukkan siasat untuk memanipulasi citra pelayanan masyarakat di kota itu di hadapan Inspektur Jenderal nantinya. Masalahnya, tidak ada deskripsi soal tongkrongan Inspektur Jenderal. Dari sejumlah informasi, mereka menyimpulkan bahwa sang utusan penting negara itu ?serba ingin tidak resmi?.

Saat bersamaan, si kembar Nakuli dan Sadiwi melaporkan bahwa kota mereka kedatangan seorang pegawai dari Pusat bernama Anta Hinimba. Sudah dua minggu tamu itu bermukim di penginapan. Ditinjau dari berbagai segi, tamu tak diundang itu bisa jadi adalah Inspektur Jenderal yang sedang menyelidiki kota dengan cara sembunyi-sembunyi. Sejak saat itu, segala hal yang berkaitan dengan komunikasi di kota itu berada dalam kubangan salah pengertian yang membuat mereka kian kotor.

Kepanikan pejabat kota sarang korupsi itu dan perlawanan masyarakat setempat yang tak menuai hasil, berkelindan dalam lakon Inspektur Jenderal yang dibawakan Teater Koma di Gedung Kesenian Jakarta, 6-15 November 2015.

Lakon ini merupakan saduran atas naskah satir klasik Revizor (1836) karya sastrawan besar Rusia, Nikolai Gogol. Nano Riantiarno selaku sutradara pementasan ini memanfaatkan naskah terjemahan oleh Teater Populer pada tahun 1970-an dan mengadaptasikannya ke dalam kisah carangan dengan setting pewayangan.

Ini merupakan produksi kedua Teater Koma di 2015. Dan produksi ke-142 sepanjang usia Koma; catatan produktivitas dan kontinuitas yang tidak bisa disamai oleh kelompok teater modern mana pun di Indonesia.

Lewat Inspektur Jenderal, dengan lihai Nano menyadur pernyataan sosial dan politik Gogol yang kontroversial di zamannya itu ke dalam latar peristiwa dan penokohan ala pewayangan. Bagian penting dari naskah ini (satir, sarkas dalam balutan komedi gelap, dan diksi khas Gogol ) dipertahankan sebagai material cerdas dan tajam. Nyaris tidak ada celetukan atau improvisasi dialog yang menyisipkan kritik sosial kekinian sebagaimana kerap terlihat dalam naskah-naskah berlatar pewayangan yang dibawakan Koma sebelumnya. Zonder adegan slapstick yang menganggu.

Pilihan skenografi melingkar di pusat panggung oleh Taufan S. Chandra membawa kesan rekreasional terhadap bloking pemain. Ini model skenografi yang dimanfaatkan secara lebih sederhana daripada yang digagas oleh Syaeful Anwar dalam produksi ke-110 Koma, Festival Topeng (2006). Sebaliknya, penataan cahaya oleh Taufan dalam lakon ini tidak seterang, sejernih, dan seberwarna penawarannya dalam lakon Opera Ular Putih beberapa bulan lalu. Padahal, panggungInspektur Jenderal tidaklah sepadat dan sedekoratif setting lakon-lakon pewayangan Koma lainnya.

Budi Ros, aktor senior Koma, dengan oke mewakili sebagian besar aktor dalam lakon berbiaya produksi Rp 2 miliar ini, yang pantas diberi pujian atas konsistensi dan kerja kerasnya. Tapi dari unsur keaktoran juga, ada masalah yang tampak dan sulit diabaikan sebagaimana terpapar dalam press preview-nya pada Kamis malam, 5 November lalu, di GKJ. Yaitu, selip lidah.

Penonton teater Indonesia sudah maklum dan mafhum dengan selip lidah aktor di atas panggung. Namun dalam 3,5 jam durasi Inspektur Jenderal malam itu, ada banyak pemain pemain, termasuk para senior seperti Budi Ros dan Sari Majid, yang berulang kali terselip lidah dalam mengartikulasikan dialog. Tidak hanya terjadi satu-dua kali dan tidak hanya oleh satu-dua aktor. Tidak hanya menyangkut satu suku kata, ada yang terselip dalam ukuran kata. Dan lebih mudah, "massif", dan sering dijumpai dibandingkan dalam lakon-lakon Koma 10 tahun terakhir.

Padahal, Nano terkesan telah berupaya mengurai kepadatan dialog dalam menyadur naskah Gogol ini. Lagi pula, statistik produksi Teater Koma yang fantastik itu akan lebih yahud jika tidak diimbangi dengan peningkatan statistik selip lidah aktor-aktornya.

Di luar itu, naskah Inspektur Jenderal sangat bisa diandalkan. Dengan jeli, Nano memilih sebuah "arsip sastra" yang tidak kehilangan konteks cerita di masa kini. Ketika dipentaskan pertama kali pada 1836 di negeri asalnya, Revizor menggegerkan masyarakat Rusia. Dampaknya luar biasa. Masyarakat terpecah menjadi dua kubu, pimpinan jurnalis Faddey Bulgarin yang mendukung otoritas Tsar dan mengkritik habis karya Gogol sebagai karya vulgar, berhadapan dengan penulis Alexander Pushkin yang menyebutkan Revizor sebagai lakon terbaik Rusia. Dampak berikutnya, Gogol, yang saat itu baru berusia 27 tahun, harus mengasingkan diri dari negerinya dan menjelajah Eropa.

Naskah ini juga berkali-kali direproduksi ke dalam sinema. Sutradara Amerika Henry Koster memfilmkannya dengan genre komedi-musikal berjudul The Inspector General (1949) dan, di Rusia, sutradara Sergey Gazarov baru memfilmkannya pada 1996 dengan judul Revizor. Indonesia tak ketinggalan, Usmar Ismail memfilmkan naskah ini dengan judul Tamu Agung pada 1955.


Tema korupsi menjadi pijakan awal Nano dalam merencanakan pentas ini. Korupsi adalah penyakit universal. Sebagaimana dalam Inspektur Jenderal, di Indonesia rasuah telah menjangkiti sistem pemerintahan, dari sebelum Orde Baru dan menjamur hingga kini. Menurut Nano, penyataan penting dalam naskah ini tepat untuk dilontarkan ke tengah masyarakat Indonesia, "Jangan lagi ada korupsi!" ujarnya.

No comments:

Post a Comment