Friday, December 30, 2016

Mengubah Kultur Bisnis Kreatif

Sebagai bisnis kreatif yang mengurusi pembangunan branding, Makna Creative memiliki prospek cemerlang. Menggiurkan dari sisi ekonomis sekaligus menuntaskan hasrat bertravelling.

Keenan Pearce, 25 tahun, memperoleh tawaran besar, alumnus jurusan Manajemen Universitas Pelita Harapan ini diminta membuat kampanye media sosial untuk maskapai penerbangan Batik Air. Pada 2014 itu Batik Air baru saja melaunching media sosial dan kepingin akun tersebut leading di jagat persosmedan. Kompensasi yang ditawarkan menggiurkan, berkisar dua pertiga miliar.

Dengan tawaran sebesar itu, Keenan membutuhkan bendera. Menggandeng Ernanda Putra, 32 tahun, alumni almamater yang sama, yang telah satu dekade menekuni desain grafis dan fotografi. Keduanya merintis sebuah perusahaan yang bergerak di sektor jasa pembangunan branding, aktivasi media sosial dan visual dengan nama Makna Creative pada 7 Oktober 2014.

Sudah sejak lama Ernanda kepingin memiliki perusahaan dengan nama yang berasal dari bahasa sendiri. Nama Makna, yang berarti arti, sengaja dipilih dengan harapan perusahan mereka dapat berarti bagi banyak orang.

Di bawah bendera Makna Creative, Keenan dan Ernanda berkeliling ke sejumlah kota di Indonesia demi mengabadikan rute dan destinasi Batik Air. Dengan kampanye media sosial #BatikJelajahNusantara, permintaan perusahaan yang hanya 10.000 follower dapat terpenuhi, bahkan hingga 15000 follower selama 4 bulan.

Selepas itu, tawaran pekerjaan datang silih berganti. Klien berdatangan mulai dari Adidas hingga Cathay Pacific. “Bisnis ini memiliki prospek menarik. Di Indonesia belum banyak perusahaan yang bermain,” kata Ernanda.

Kedua laki-laki muda yang hobi berbelanja ini memang pilih-pilih profesi. Mereka melakoni pekerjaan yang mengandung 3 hal. Menggiurkan dari sisi ekonomi, memacu untuk terus belajar dan berkembang, juga bisa membawa keduanya bepergian kemana saja. “Makna Creative jawabannya,” kata Keenan, sumringah. Setiap bepergian, mereka menambahkan #perjalananbermakna.

Tahun pertama berdiri, Makna Creative tak memiliki tempat untuk berkantor. Mereka menjadikan cafĂ© atau apartemen sebagai tempat merumuskan ide dan melakoni pekerjaanbersama. “Kami memanfaatkan apa yang ada,” kata Keenan.

Tahun berikutnya, kantor resmi Makna Creative terwujud. Di lantai 2 Southbox, Jakarta Selatan, Keenan dan Ernanda, juga 2 pegawai yang direkrut kemudian, berkreasi.

Makna Creative berupaya merubah tatanan mainstream soal bisnis kreatif hanya dikerjakan di kantor. Selain bepergian, Makna Creative menggali inspirasi dari mana saja. Dari arsitektur yang ditemui di jalanan, karya seni, film, atau bahkan berbincang bersama teman. Perbincangan pun tak sebatas obrolan ringan, tapi juga soal politik terkini. “Kita mengerjakannya dengan santai dan riang, tapi tetap serius,” kata Keenan.

Umumnya pola kerja bisnis kreatif berjibaku tak kenal waktu. Makna Creative memiliki tradisi berbeda. Mereka menerapkan jam kerja layaknya jam kantor, mulai pukul 10 hingga pukul 6 sore. Tak ada waktu lembur, tak ada pekerjaan yang dilakukan di malam hari. 

Penerapan jam kerja itu justru bertujuan agar mereka memaksimalkan pekerjaan dan kreatifitas. “Semua pekerjaan harus selesai sebelum jam pulang. Jadi efektif. Di luar Makna, kami ada kehidupan yang harus dijalani, kehidupan keluarga dan kumpul bersama teman-teman,” kata Ernanda.

Saturday, November 19, 2016

Menengok Danau Cigaru, Surga Tersembunyi di Tangerang

Begitu turun dari motor, tiga bocah kecil itu berlari menuruni lembah. Di bawah sana, di depan danau, teronggok badak besar terbuat dari batu. Ketiganya lantas menaiki badak bercula itu. Maria Ulfah, 22 tahun, membantu menaiki ketiga bocah itu satu per satu.

Dengan sigap, kakak Maria Ulfah, Ali Khumaeni, 26 tahun, memasang kamera handphone. Maria Ulfah dan ketiga keponakan kecilnya berpose dengan berbagai gaya. Dengan lanskap danau biru dan goresan pepohonan hijau di belakangnya.

Di pojokan danau, Maria melihat perahu tertambat dengan sebuah pondok di depannya. Persis seperti sebuah rumah di tepi danau dengan pelabuhan sendiri. Seorang bapak keluar dari pondok itu dan menawarkan jasa naik perahu. Tarifnya Rp10.000 per orang.

Maria mengiyakan. Lantas menaiki perahu itu disusul keponakan, juga kakaknya. Perahu meninggalkan tambatan, berdayung mengelilingi danau.

Sabtu siang itu, Maria sengaja menyempatkan waktu berlibur ke Danau Cigaru, Cisoka, Tangerang. Dari rumahnya di Kresek, Tangerang, ia harus menempuh perjalanan 22 kilometer dengan kendaraan bermotor.

Meski berasal kabupaten yang sama, mahasiswa Jurusan Farmasi Universitas Muhammadiyah Prof DR HAMKA ini justru memperoleh informasi soal Danau Cigaru dari teman-teman kampusnya yang telah lebih dulu kesini. Sambil mengajak keponakannya berwisata, Maria sekaligus ingin membuktikan celoteh teman-temannya soal keindahan danau ini.

“Ternyata betulan indah. Nggak nyangka di daerah saya ada tempat seperti ini,” katanya, sumringah.

Jika Maria datang bersama keluarga, Andi Widodo, 29 tahun, menempuh perjalanan dari Kebayoran ke Danau Cigaru seorang diri. Andi sejak lama menyukai travelling. Berbalus kaos putih, celana pendek dan ransel di punggung, laki-laki asal Jawa Tengah ini menempuh perjalanan Jakarta-Danau Cigaru selama 2 jam.

Dari Kebayoran, Andi naik kereta commuterline hingga Stasiun Tigaraksa. Ia kemudian berjalan kaki sepelemparan batu sampai pangkalan angkot jurusan Taman Adiyasa – Balaraja. Di Pasar Cisoka, ia turun dari angkot, lantas melanjutkan perjalanan hingga Danau Cigaru dengan berjalan kaki selama 30 menit. “Lumayan capek, tapi terbayar dengan keindahan tempat ini,” katanya.

Mahasiswa pascasarjana salah satu kampus swasta di Jakarta ini memperoleh informasi keindahan Danau Cigaru dari media sosial. Ia memilih mengunjungi tempat ini karena lokasinya tak begitu jauh dari Jakarta, dengan kemudahan akses transportasi kereta. “Belum ada tempat sejenis di Jabodetabek,” katanya.

Suhandi, 45 tahun, warga setempat, mengatakan lahan danau ini milik seorang pengusaha properti asal Kalimantan yang kini menjadi warga Kampung Jengkol, Cisoka, Tangerang. Mulanya lahan ini adalah tambang pasir seluas 3 ha yang beroperasi sejak 2001. Pasir hasil tambang itu digunakan untuk membangun sejumlah perumahan yang berdiri di wilayah Cisoka. Diantaranya adalah Perumahan Taman Kirana Surya, Triraksa Village dan Kota Batara Cisoka. Suhandi yang kini menawarkan jasa perahu berkeliling danau, dulunya pegawai tambang pasir itu.

Tahun 2009, pasir di wilayah ini telah habis digali. Bersisa sejumlah cekungan tanah. “Pasir sudah habis, ya ditinggalkan,” katanya.

Tahun 2015, muncul keajaiban. Air dalam cekungan yang mulanya berwarna keruh, berubah menjadi hijau kebiruan. Pada waktu-waktu tertentu, air danau berubah, dari hijau menjadi kebiruan atau dari biru menjadi kehijauan. Ada 3 cekungan berderet yang airnya berubah warna, sedang lainnya tidak. Luas danau biru ini sekira 1,5 ha. Dengan lanskap deretan pepohonan hijau, danau ini tampak indah dipandang mata. “Ini karena faktor alam, kekuasaan Yang Maha Esa,” kata Suhandi.

Sejak itu warga berbondong-bondong mengunjungi Danau Cigaru. Makin lama informasi keindahan danau ini tersebar luas dan pengunjung makin ramai.


Awal tenar, pengunjung yang datang mencapai ribuan. Mereka memenuhi lahan terbuka yang mengelilingi ketiga danau itu. Sejumlah gubuk bermunculan di pinggir jalan, berderet menjual makanan.

November ini termasuk bulan sepi pengunjung. Tetap saja, jika hari minggu, pengunjung yang datang bisa mencapai 500an. Mereka tak hanya berasal dari Jabodetabek, tapi juga berbagai wilayah lainnya. “Pernah waktu itu ada pengunjung dari Padang semobil datang kesini, cuma mau liat danau ini,” kata Suhandi.


Bupati Tangerang, Zaki Iskandar, mengunjungi danau ini pada awal Januari lalu. Hasil penelitian Badan Lingkungan Hidup setempat menyimpulkan air danau ini memiliki keasaman di bawah angka tujuh. Kadar asam yang rendah itu menyebabkan air ini tak bisa langsung diminum. Selain soal kadar asam, perubahan warna terjadi akibat ganggang yang tumbuh di dalam air. “Katanya sorotan cahaya matahari yang membuat air dengan ganggang itu berubah-ubah warnanya,” ujar Suhadi. 

Wednesday, November 16, 2016

Filosofi Hewan Raditya Dika

Sederet gelar disandangnya: penulis buku, film maker, hingga komika. Berhasil menyuguhkan tontonan jenaka yang segar dengan embel-embel nama hewan.

Raditya Dika tak ujug-ujug sukses sebagai penulis cerita jenaka. Ketika menawarkan kumpulan tulisannya ke sejumlah penerbit, bukunya justru ditolak. Pelabuhan terakhirnya adalah Gagasmedia, yang dengan lega menerima karyanya, meski ia harus presentasi lebih dulu.

Buku yang diterbitkan tahun 2005 itu berjudul Kambing Jantan: Sebuah Catatan Harian Pelajar Bodoh. Berisikan pengalaman sehari-hari Raditya selama menempuh studi di Adelaide, Australia, yang sebelumnya ia narasikan dengan gaya ringan dan jenaka dalam blog www.kambingjantan.com. Buku pertama ini berhasil melambungkan namanya, sekaligus melekatkan identitas komedian pada lelaki kelahiran 28 Desember 1984 ini.

Selain menghadirkan tulisan jenaka dengan gaya segar, Raditya Dika terhitung penulis produktif. Hampir tiap tahun ia menerbitkan buku. Buku keduanya, Cinta Brontosaurus, terbit setahun kemudian, pada 2006. Masih menyoal kisah sehari-hari namun dalam format cerita pendek. Buku berikutnya berjudul Radikus Makan Kakus: Bukan Binatang Biasa terbit tahun 2007 dan Babi Ngesot: Datang Tak Diundang Pulang Tak Berkutang terbit tahun 2008.

Raditya Dika mulai merambah dunia sinema pada 2009 dengan bermain dalam film Kambing Jantan: The Movie. Film ini masih bercerita soal pengalaman sehari-hari Raditya selama di Australia dengan gaya jenaka.

Berselang tahun, Raditya menggarap serial komedi berjudul Malam Minggu Miko. Berkisah tentang Miko, laki-laki yang memiliki nasib sial soal cinta. Dalam serial pendek ini, Raditya berperan sebagai produser, sutradara, penulis naskah dan aktor sekaligus. Ditayangkan di kanal YouTube, serial ini berhasil diproduksi sebanyak 2 session, dengan 26 episode masing-masing session.

Malam Minggu Miko mendulang sukses besar. Meraup lebih dari 50 juta penonton, ditayangkan di Kompas TV, kemudian diangkat ke layar lebar dengan judul Cinta Dalam Kardus.

Sederet bukunya yang lain direproduksi ke dalam medium film. Diantaranya Cinta Brontosaurus, Marmut Merah Jambu, Manusia Setengah Salmon dan Koala Kumal.

Jika dirunut, semua judul buku yang Raditya terbitkan menyomot nama hewan. Begitu pula film-film besutannya yang merupakan adaptasi dari buku yang ia tulis. Alasan penggunaan nama hewan ini sederhana, Raditya ingin memiliki gaya khas dan konsisten dalam gaya itu. “Sebagai penulis kan gue pingin punya ciri, biar terlihat beda dengan yang lain. Gue pilih filosofi hewan. Film-film yang dibuat dari buku gue juga otomatis judulnya ada nama hewannya,” katanya.

Tak berhenti di ranah buku dan film, Raditya menjajal tantangan lain dengan tampil di panggung stand up comedy. Predikat baru yang kemudian disandangnya adalah komika. Di ranah ini, ia meraih sukses pula. Didapuk menjadi juri sekaligus mentor Stand Up Comedy Indonesia di Kompas TV, dan Stand Up Comedy Academy di Indosiar. Ia menjadi tokoh penting yang melahirkan banyak komika baru di Indonesia.

Meski tiga gelar disandangnya sekaligus: penulis buku, film maker, dan komika, Raditya menyebut dirinya hanya seorang story teller yang menggunakan beragam medium. Ketika ingin menulis buku, ia menyampaikan storynya itu lewat medium buku. Begitu pula, ketika menggagas film atau tampil di panggung stand up comedy, ia menyampaikan kisah jenakanya lewat medium itu. “Lebih tepatnya gue story teller. Bercerita, mediumnya berbeda-beda. Kadang lewat medium buku, kadang film, kadang stand up comedy,” katanya.

Saturday, October 22, 2016

Jalan Terjal Ugamo Malim (1)

Puluhan warga merangsek masuk ke lahan perkebunan milik Patiar Sirait di Jl Aer Bersih, Medan, suatu hari di tahun 2005. Mereka adalah warga sekitar yang tak sepakat atas dibangunnya rumah ibadah warga Parmalim, sebutan untuk penganut Ugamo Malim, di sudut lahan itu.
“Bongkar, bongkar!”
“Tertibkan!”
Melihat suasana kian memanas, Lambok Manurung, 45 tahun, pengurus DPD Kota Medan Punguan Parmalim Hutatinggi, berikut pengurus lainnya memilih menyingkir. Rencana akan melobi aparat desa yang berdiri di barisan pendemo pun dibatalkan. Mereka menyerahkan nasib rumah ibadah yang belum sepertiga berdiri tegak itu pada puluhan polisi yang sudah datang lebih dulu ketimbang warga. “Kami pasrah saja, takut terjadi bentrok,” kenang Lambok.
Ketika Lambok dan pengurus Punguan yang lain kembali di sore harinya, 2 lubang akibat pukulan martil sudah menganga di dinding bangunan itu. Batu bata dan semen kering berserakan di sekitarnya.
Jauh hari sebelum aksi massa berikut penyegelan itu, selembar surat lengkap dengan tanda tangan warga, datang seperti petir menggelegar. Isinya surat itu mempertanyakan ijin pembangunan sekaligus menolak adanya rumah ibadah Ugamo Malim di wilayah itu. Alasannya, warga takut kelak anak-anak mereka berpindah haluan menjadi Parmalim. Warga juga beralasan, penghentian pembangunan ibadah itu adalah pilihan baik demi menghindari terjadinya keributan yang tidak diinginkan. 
Sejatinya tanah tempat rumah ibadah itu berdiri telah dibeli oleh Patiar Sirait sejak lama, jauh sebelum wilayah itu menjadi pemukiman warga seperti sekarang. Mulanya Sirait menjadikan tanah seluas 1591 m2 itu sebagai lahan beternak dan berkebun.
Berselang tahun, Sirait menghibahkan tanah itu kepada kepercayaan yang ia dan nenek moyangnya anut, Ugamo Malim. Setelah dana terkumpul, tahun 2005, peletakan batu pertama dilakukan. Rumah ibadah adalah bangunan yang direncakan pertama berdiri di lahan itu.
Beroleh penyegelan, Sirait dan pengurus punguan mengupayakan pengurusan ijin dan dialog dengan warga. Membujuk warga yang terlanjur terbakar api tentu tidak mudah. Sedang pengurusan ijin dari Pemerintah Kota Medan, berbuahkan syarat: pengurus Ulupunguan harus mengumpulkan 75 persen tanda tangan warga sekitar. Jika syarat ini telah terpenuhi, barulah ijin akan diberikan.
Syarat itu tak mudah. Mayoritas warga setempat beragama Kristen dan citraan Parmalim sudah terlanjur buruk di mata mereka.
Beragam upaya telah dilakukan. Pendekatan persuasif dimassifkan. Namun fakta yang terjadi tak melulu sesuai harapan, hanya sedikit warga yang bersedia menorehkan tanda tangan persetujuan.
Lambok merasa syarat ini berat dan tidak adil. Bagaimana mungkin Ugamo Malim diberi syarat seberat itu sementara agama lainnya, ketika hendak mendirikan rumah ibadah, tak memperoleh syarat yang sama. “Tidak ada tawaran solutif dari pemerintah. Kalau memang mau adil, harusnya sama. Memperoleh ijin 75% itu tidak mudah. Warga di sini juga tak semuanya Kristen, ada orang Islam juga, ada Parmalim juga,” katanya.
Lantas bangunan itu dibiarkan mangkrak bertahun-tahun dan dirimbuni ilalang.
Tahun 2011 situasi sudah mereda. Pembangunan kembali dilakukan meski sempat datang surat pernyataan dari HKBP yang mengatakan tidak keberatan namun tidak mendukung pembangunan rumah ibadah itu.
Bale Persantian, Medan
Setahun kemudian rumah ibadah itu berdiri dan diberi nama Bale Parsantian. Di kompleks yang sama didirikan juga ruang belajar, gedung serba guna, penginapan tempat warga Parmalim menginap jika ada acara besar, dan rumah tempat tinggal Sirait.


Lambok Parmalim, Pengurus DPD Parmalim Hutatinggi Kota Medan


Setiap Sabtu, sekitar 130an warga Parmalim Hutatinggi yang tinggal di Medan beribadah di tempat itu. Hari di akhir pekan, adalah hari di mana mereka beribadah, mendalami ajaran Ugamo Malim, belajar seni dan budaya Batak. Semua kegiatan dilakukan di kompleks itu. 

Monday, September 19, 2016

The Mukidi Joke

Kim Jong Un, the President of North Korea was making a speech boasts his country.
He said: not only nuke, in the next 10 years, we will make the new invention. It is the outer space team, we will come to the sun.
Heard this, the supporter rapidly cheering up.

Then, a journalist asked him: temperature of the sun is truly hot, so, how can we land into it?
Suddenly, atmosphere were silence.

A few moments later, after Kim Jong Un smoke his cigar several times, and thinking, then he answer: we go there in the nite.
Then, his supporters cheering up again.

Donal Trump, the American presidensial candidate who watching this show in TV, said to his staf: crazy son a bitch! There are no sun in the nite.

In the other place….
Then, Mukidi commented: Trump… He lake of knowledge.. Matahari & Hypermart were opening till midnight


Friday, July 1, 2016

Celoteh


Apa yang akan kau lakukan di sisa hidupmu ke depan?

Jika rentang usia hidup manusia berada pada angka 65, maka saya hanya memiliki tak sampai 40 tahun bersisa untuk mengecap dunia. Untuk menghirup udara di atmosfir bumi, merasakan helaian angin di berbagai sisi dunia dan merasakan lanskap keindahan alamnya.

Saya memiliki kesempatan tak sampai 4 dekade untuk membersamai orang-orang tercinta. Menyaksikan mereka bertumbuh, melewati berbagai fase hidup, dan pergi selamanya satu demi satu. Dan pada akhirnya saya akan turut meninggalkan mereka yang masih bersisa, juga dunia ini.

Juga meninggalkanmu.

Tak perlu takut akan kematian, katanya. Sekarang kita masih hidup dan bernapas. Kita masih ada. Selama kita masih ada, kematian tidak bersama kita. Dan ketika akhirnya ia datang, kita sudah tak ada lagi. Logika praktis dan menentramkan ala Epicurean.

Bukan kematian yang perlu ditakutkan, tapi ketiadaan. Jika kau percaya bahwa sejarah berjalan linier, maka kita akan sampai pada suatu masa di penghujung kehidupan. Semua peradaban manusia musnah dan perjalanan menakjubkan yang pernah kita lewati bersama akan lenyap begitu saja. Kita hanya secuil atom yang akan musnah.

Akankah kelak cinta kita juga akan musnah?


NB: tulisan ini hanya celotehan singkat dan iseng. Jika ingin lebih panjang, akan menyenangkan jika kita bisa berdiskusi langsung J

Gedung Gatra, 29 Juni 2016






Sunday, April 24, 2016

Perpisahan

Sumber foto: songlagu.com
Jika benar momen ini membentangkan jarak,
Maka aku akan menjelma camar yang terbang menuju palung hatimu
Menyesap bulir-bulir bening di pipimu
Melenyapkan segala resah dan kekhawatiran
Sebab setiap yang telah dekat, akan selalu lekat
Mari percaya pada satu hal, yang pergi akan segera kembali


Friday, April 22, 2016

Di Gigir Gunung

Sumber foto: fotokita.net

Di gigir gunung yang curam ini kita belajar mendaki kesunyian
Dan melenyapkan apa saja yang telah terlewat: cinta dan segenap kenangan
Sebab rindu yang membiru, tak lagi dianggap perlu
Dan pohon-pohon cemara menabalkan wajah-wajah yang menjauh oleh sauh

Thursday, April 14, 2016

KONSER SHEILA MAJID: Melepas Rindu untuk "I"

Sheila Majid merayakan tiga dekade kariernya bersama para penggemar, sahabat penyanyi lokal, dan tata panggung kreatif.

Pertunjukan malam itu dimulai dengan reffrain lagu "Kerinduan". Potongan lagu itu kemudian dirangkai dengan beberapa lagu lain seperti, "Warna", "Tua Sebelum Waktunya", dan "Aku Cinta Padamu". Seluruh komposisi itu dibawakan Sheila Majid dengan suaranya yang khas.


Malam itu, Sheila tampak anggun di usianya yang sudah setengah abad. Penampilannya tambah elegan dengan balutan gaun putih glitter berlengan kimono, yang memanjang hingga mata kaki, hasil rancangan Saptojoyo Kartiko. Rambutnya memanjang terurai dengan riasan muka bersahaja.

"Hello Jakarta, how are you? Rindu tak sama I?" sapa penyanyi kelahiran 3 Januari 1965 ini kepada penonton yang hadir dalam "30th Anniversary Concert: Kerinduan Sheila Majid", yang digelar di Plenary Hall, Jakarta Convention Center, Sabtu malam pekan lalu. Kehadiran wanita berdarah Mandailing-Jawa ini seakan memuaskan kerinduan para penggemarnya.

Penampilan Sheila tambah apik berkat panggung yang dirancang dengan artistik. Di antara pemain orkestra dan posisi blocking Sheila, Jay Subiakto, penata panggung, meletakkan sebuah layar transparan, yang dibentuk dari 70 lapis potongan kawat sepanjang 4,5 meter. Diletakkan di tengah, layar ini menjadibackground sekaligus foreground sepanjang pertunjukan, menyajikan visualisasi perjalanan Sheila selama tiga dekade.

Tak hanya mengurus panggung, bersama Tohpati, Jay juga menyusun 18 lagu yang dinyanyikan Sheila malam itu. Untuk penggarapan lagu-lagu Sheila dalam konser ini, Tohpati sengaja meracik aransemen tak jauh dari aslinya. "Karena penonton inginnya sing along menyanyikan lagu Sheila," katanya.

Animo penonton macam itu memang sudah terbaca sejak pukul 19.00, satu setengah jam sebelum pertunjukan dimulai. Ruang berkapasitas 5.000 orang itu hampir penuh ketika pertunjukan dimulai. Umumnya yang datang berusia dewasa, meskipun ada juga penonton belia yang datang ditemani kedua orangtuanya.

Seperti Rehan Mahendra, remaja berusia 17 tahun. Ia datang bersama kedua orangtua dan adik perempuannya. Rehan, yang diajak orangtuanya, mengaku lebih kenal Siti Nurhaliza ketimbang Sheila Majid. Namun ketika seorang teman memperdengarkan lagu "Sinaran", Rehan langsung menyimpulkan kalau lagu-lagu Sheila enak didengar. "Jadi penasaran, ingin dengar lagu-lagu lainnya," katanya.

Konser itu memang tak hanya dihadiri penggemar Sheila dari Indonesia, tapi juga dari Singapura dan Malaysia. Fans dari Malaysia memang perlu datang jauh-jauh ke Jakarta karena pertunjukan serupa -memperingati tiga dekade karier Sheila- tidak diselenggarakan di sana.

Azmi Latief, 56 tahun, adalah salah satu penggemar berat Sheila. Ia bersama adik perempuannya sudah berada di Jakarta sejak Jumat malam. Keduanya mengaku sudah menjadi fans berat Sheila sejak 1985. "Kami fans umur paling senior," kata Azmi, sambil tertawa.

Di malam pertunjukan itu, Sheila tak tampil sendirian. Setelah nomor evergreen "Antara Anyer dan Jakarta", Sheila melanjutkan dengan tembang "Hadirmu", yang ia sebut sebagai one of my favourite song in Indonesia. Saat masuk bait ketiga, juara Indonesian Idol Season 2, Mike Mohede, tampil menemani Sheila. Malam itu, pria bersuara empuk ini tampil memesona dengan setelan jas berwarna hitam. Ia juga membawakan "Jeritan Batin" setelah mengantar Sheila sejenak meninggalkan panggung.

Setelah Mike undur diri, Sheila muncul dengan gaun hitam panjang. "
Are you tired? I need your enthusiasm. This next song is a duet song, dan saya akan duet bersamamu.You must hafal this song, 'Begitulah Cinta'," katanya. Namun, duet itu tak sepenuhnya dilakukan bersama penonton.

Di tengah lagu, dari arah depan tiba-tiba muncul suara laki-laki. Sheila kaget, namun ia langsung mengenal pemilik suara itu. "Harvey,
where are you?" Sheila celingak-celinguk mencari asal suara. Butuh beberapa detik sebelum sinar lampur menemukan posisi Harvey Malaiholo, yang duduk di kursi VIP bagian belakang. Kejutan itu disambut riuh tepukan pentonton. "Saya tak menyangka. Kudengar kau terkena demam. Semoga segera membaik. I love you, Harvey," ujar Sheila, seusai keduanya berduet.

Lagu-lagu Sheila yang dipilih untuk dinyanyikan dalam konser di Jakarta ini merupakan komposisi yang populer di Indonesia. Kebanyakan lagu ini bertempo medium dan bernuansa jazzy. Sementara itu, tempo up beat hanya terdapat dalam lagu "Sinaran" dan "Warna".

Dengan panggung besar, ada kekhawatiran lagu jazzy menjadikan konser tampak kurang megah. Kekhawatiran lainnya, jika dijejerkan, lagu semacam ini akan menjadikan panggung monoton. Solusinya, lagu dengan warna sama tak disusun berurutan. Di antara lagu bertempo sedang, disisipkan lagu lain yang lebih nge-dance. Juga lagu yang sedikit nge-rock. Inilah kemudian yang menjadi alasan mengapa Armand Maulana ikut ambil bagian.

Berduet dengan Armand, Sheila menyanyikan lagu "Persis Kekasihku" yang bertempo cepat. Di Indonesia, lagu ini memang tak terlalu populer. "Diharapkan Armand bisa memberi warna baru di konser itu," kata Tohpati, music director pertunjukan ini.

Bila akhirnya pertunjukan malam itu berlangsung menawan, acungan jempol harus diberikan kepada Sheila. Pasalnya, ia tidak punya banyak waktu untuk latihan. Dua pekan sebelum pertunjukan di Jakarta, Sheila juga menggelar konser serupa di Singapura. Idealnya, untuk konser seperti ini dibutuhkan delapan hingga 10 kali latihan. Untuk latihan ritem saja biasanya butuh empat kali latihan. Lalu latihan gabungan, yang dilaksanakan empat hingga lima kali.

Untungnya, para penyanyi pendamping dari Indonesia memudahkan pembentukan kekompakan itu. Kehadiran Mike Mohede juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari usaha itu. Mike memiliki kualitas suara yang bagus dan berkarakter "bunglon". Ia cocok dengan jenis nada apa pun. "Mike cocok sama lagu-lagunya Sheila," kata Tohpati.

Sementara itu, kemunculan Harvey memang tanpa skenario sama sekali. Pada konsep awal, lagu "Begitulah Cinta" rencananya akan dinyanyikan bersama penonton. Rupanya Jay Subiakto punya ide lain. Di tengah lagu, Harvey dan suaranya tiba-tiba ditampilkan di tengah penonton. "Benar-benar surprise. Jangankan Sheila, saya saja nggak tahu," kata Tohpati.

Tuesday, April 12, 2016

Menjelang Senja





Menjelang senja, aku memahat namamu pada tiap helai cahaya. Kelak bila penghabisan datang, kau akan menyaksikan bayanganku menari hingga hari lindap diam-diam.

Monday, April 4, 2016

Sajak untuk....

Sumber kiciks.wordpress.com


Malam membisu. Angin berhenti
Alam menabalkan isyarat tentang perjalanan cinta yang menua
Dan luka
; seorang Laki-laki yang terus belajar bagaimana menerjemahkan cinta

Saturday, February 6, 2016

Sutradara Teater Kubur, Dindon WS: Kritik Globalisasi ke India (Teater Kubur Goes to India #2)

Seperti Radhar Panca Dahana di Teater Kosong dan Harris Priadi Bah di Teater Kami, nama Dindon WS begitu melekat pada eksistensi Teater Kubur. Pria kelahiran Jakarta, 10 Agustus 1960, ini memulai Teater Kubur dari pertunjukkan ''Sandiwara Dalam Sandiwara'' yang mentas di acara 17 Agustusan pada 1982. Sejak itu, dan setelah Teater Kubur berdiri satu tahun setelahnya, sutradara bernama asli Wahyudin Sukarja yang akrab dipanggil Dindon ini memberikan sentuhan artistik yang kuat dalam lakon-lakon yang dibawakan kelompoknya.

Untuk keperluan pentas di 11th International Theatre Festival, India, 26-30 Januari 2016, Dindon mengaku tidak terlalu sibuk. Ia tinggal mematangkan aksi pentas yang telah ada dan mengubah artistik panggung dengan memunculkan atmosfer keindonesiaan lewat idiom bambu. Usai latihan terakhir lakon On-Off (Rumah Bolong) di kompleks Taman Pemakaman Umum Rawabunga, Jatinegara, Jakarta Timur, Dindon menyempatkan diri melayani wawancara saya. Berikut petikannya:

Bagaimana ceritanya hingga punya kesempatan ikut kompetisi di India?
Kami diundang. Kebetulan pemerintah punya dana kebudayaan untuk diplomasi. Ada progres bagus. Mereka (pemerintah) sudah lima kali mengundang kami, baru kali ini saya mau. Biasanya mereka ngundang tidak ada duitnya, kita tidak bisa jalan. Karena nyari-nyari duit, ya, malu juga.


Seperti apa persiapan untuk pentas di India? 
Latihan tiap hari. Karena lakon ini ''sudah jadi'', persiapan paling tidak dua bulan. Kalau peralatan sebagian besar banyak di sana. Seperti bambu untuk artistik, sudah ada di sana. Kostum disiapkan di sini.

Apa bagian dari globalisi yang hendak diperiksa lewat naskah ini? 
Ini lebih tentang kondisi Indonesia. Rumah sebagai negeri di era globalisasi, semua terbuka. Semua. Kalau kita tidak sikapi dengan kritis, akan hancur. Banyak nilai-nilai yang hilang. Naskah asli saya yang bikin. Ini sebetulnya pengalaman riset di daerah. Saya banyak menemukan permasalahan di sana; tanah ulayat, pergeseran nilai dan budaya. Begitu pintu dibuka, tantangannya adalah kesadaran kritis. Kalau tidak kita akan habis. Globalisasi tidak perlu disesali, tidak bisa dicegah. Asal disikapi dengan menempatkan diri, ya harus kritis itu. Masih adakah budaya kritis kita sehingga kita tidak kehilangan pakaian (identitas asal).

Ada penyesuaian atau perubahan penting naskah ini untuk keperluan pentas di India? 
India juga sama persoalannya, nasionalisme juga. Bahkan lebih dulu. Ia memiliki trauma perang setelah dijajah Ingris. Sama juga, mencoba membangkitkan nasionalismenya, dengan bangga, dengan hasil budaya mereka.

Akan menggunakan bahasa Indonesia dalam dialog? 
Kita harus bangga menyuarakan dan berbahasa Indonesia. Bahasa adalah salah satu identitas. Waktu di Jepang dulu, kami bawakan On-Off dalam bahasa Indonesia, yang lantas diterjemahkan oleh panitia ke dalam Jepang. Untuk di India ini, saya tidak tahu.

Teater Kubur sudah lebih dari 30 tahun. Bagaimana strategi kaderisasinya? 
Keluarga besar kita sudah lebih dari 40 orang. Kebanyakan anggota lama. Generasi baru juga banyak yang sudah kita latih. Anggota kita berangkat dari sini, kemudian menyebar ke mana-mana. Tempat ini tempat saya bermain waktu kecil. Karena tempatnya di kuburan, makanya saya namakan Teater Kubur. Kita tidak ada hambatan soal kaderisasi. Yang muda dan yang tua harus yakin. Basic saya seni, dan harus melatih orang-orang untuk seni.




Rumah Bolong di Bawah Hujan (Teater Kubur Goes to India #1)

Aksi teaterikal Teater Kubur tak dibatalkan meski diiringi hujan gerimis. Persiapan menuju pentas di India.

Foto oleh Nufus
Segerombolan orang asing menyerbu rumah itu. Seisi rumah panik. Nenek berlarian. Mother, yang sedang menampi beras, kaget bukan kepalang. Tidak ketinggalan John, si bocah nakal, memilih ambil langkah seribu. Sedang Salmon Salmin, si tua bertubuh renta, tampak payah melawan orang-orang yang memaksanya mengenakan jas besar dan panjang.

Dalam konteks ini, jas tersebut mewakili kepentingan gerombolan itu. Metafora arus besar yang dibawa oleh globalisasi dan menyerbu sebuah bangsa. Jas bukanlah produk lokal Indonesia. Ia nilai baru yang berasal dari luar dan dipaksakan untuk dikenakan masyarakat lokal. Bersama itu, segala persoalan dimunculkan. Mulai urusan, kolonialisme, agraria, isu lingkungan, hingga terorisme. 

Demikian kiprah Tetar Kubur membawakan naskah On-Off (Rumah Bolong) di antara hujan gerimis Sabtu sore pekan lalu. Arena permainannya adalah satu sudut di kompleks Taman Pemakaman Umum Rawabunga, Jatinegara, Jakarta Timur. Penontonnya berjejeran di tenda depan panggung dan bocah-bocah bergerombol di sampingnya. 

Pertunjukan itu adalah latihan terakhir atas lakon yang naskahnya ditulis oleh dedengkot Teater Kubur, Dindon WS. Lakon tersebut akan dibawakan di India untuk mengikuti 11th International Theatre Festival yang diselenggarakan oleh All India Cultural Association di Bareilly, India, 26-30 Januari 2016. 

Dalam lakon yang melibatkan 18 aktor ini, Dindon sekaligus juga pegang peranan sebagai sutradara, produser, sampai mengurusi praktek artistik panggung hingga kostum. 

Bukan kali pertama Teater Kubur mementaskan On-Off. Pada 2008 lalu, naskah ini dibawakan di Setagaya Public Theatre of Tokyo, Jepang. Dua tahun kemudian, naskah yang sama pentas di Teater Salihara, Jakarta. 

Foto oleh Nufus
Adegan pembuka On-Off pada ketiga pentas itu sama. Di atas panggung, sejumlah aktor tampak seperti sedang melakukan peregangan dan pemanasan. Satu per satu aktor berjalan melintasi panggung, dan, tahu-tahu pentas dimulai. ''Ini teater telanjang, tidak perlu ditutup-tutupi,'' kata Dindon, yang selama pentas sore itu mengamati sambil jongkok di depan panggung. 

Secara umum, Dindon bilang tidak ada perubahan signifikan dalam lakon On-Off yang telah dibawakan sebelumnya dengan versi yang akan dibawakan di India. Durasinya sama terentang dalam1,5 jam. Terhitung hanya cuilan adegan saja yang ditambah atau dihilangkan. 

Kalau ada perbedaan yang bisa dibilang kentara, letaknya pada artistik panggung. Jika pada dua pentas sebelumnya, terutama di Salihara, Dindon ''hanya'' menyematkan garis putih melingkar di lantai dan tirai sebagai penanda backstage, untuk versi India ia menggunakan rangkaian bambu setengah melingkar. 

Sejak berdiri pada 1982, ajang di India ini akan menjadi kali ketiga Teater Kubur pentas di panggung internasional. Selepas pentas di Tokyo, Teater Kubur sempat beraksi di panggung teater di Swiss. Dan Kubur bukan satu-satunya kumpulan teater asal Indonesia yang manggung di India. Terakhir, Desember 2013, Teater Tanah Air pimpinan Jose Rizal Manua pernah pentas di New Delhi dalam ajang International Childrens Festival of Performing Arts. 

Saturday, January 23, 2016

Percakapan tentang Menggaruk dan Menambal


Narasi-narasi kecil tentang identitas politik, sosial, dan budaya mempertemukan Entang Wiharso dengan Sally Smart. Lantas keduanya kian bersinggungan saat memberi sudut pandang terhadap teror dan kekerasan dalam peradaban.

Ketika pergolakan yang umumnya dikenal sebagai G-30-Sterjadi, Entang Wiharso belum lahir. Namun ia telah menyimak informasi seputar itu sejak usia sekolah, dari cerita Ibunya dan propaganda Orde baru. Dari kelindan informasi itu, paling kena diingatannya adalah sosok Amoroso Katamsi yang memerankan tokoh Soeharto dalam film G-30-S yang wajib diputar dan ditonton saban 30 September. Ingatan itu, kelak, terhubung dengan persepsinya tentang laku kekerasan politik di Indonesia di masa lalu.

Lalu perupa kelahiran 19 Agustus 1967 itu memanifestasikan ingatannya dengan membuat potret akrilik Amoroso. Potret tersebut menjadi bagian dalam karya massifnya yang dibuat dengan teknik cetak digital. Total ada 1.000 gambar -potret dan peristiwa-- di atas plexiglass yang dituangkan dalam delapan panel instalasi itu. Entang memberinya judul Self Potrait.

Karya itu dibuat tahun lalu sebagai kelanjutan proyek residensinya di Singapore Tyler Print Institute. Merupakan representasi ingatan Entang tentang berbagai peristiwa publik dalam sejarah peradaban manusia di era kontemporer. Tidak hanya menyangkut peristiwa kekerasan di September 1965 yang terjadi di Indonesia, Self Potrait mengetengahkan berbagai peristiwa kekerasan di berbagai belahan dunia juga melalui tokoh-tokoh ikonik budaya populer seperti Bruce Lee, John F. Kennedy, Andy Warhol, hingga Iwan Fals.

Tema tentang kekerasan dan rasa sakit menjadi semacam benang merah dalam karya-karya Entang. Pasca-tragedi 9/11, dengan interpretasi yang --menurut Entang-- salah, tema khasnya itu bahkan pernah mengalami sensor di sebuah galeri di negara yang mengaku sebagai promotor utama demokrasi, Amerika Serikat.

Ketika itu, kurator dan pemilik galeri yang menyensor karya Entang, dinilai mengabaikan sudut pandang penting si perupa terhadap realitas kekerasan. Entang mengetengahkan realitas itu sebagai teror yang melahirkan rasa sakit, yang lantas dikelolanya menjadi rasa yang menyenangkan untuk mereduksi klaim keberhasilan pemberi teror.

Self Potrait tentang kekerasan kian menegaskan sudut pandang tersebut bersama sikapnya yang cair dan mengolok-olok keangkeran teror kekerasan.

Self Potrait dan karya-karya Entang lainnya berdialog dengan karya-karya seniman asal Australia Sally Smart dalam pameran berjudul Conversation: Endless Acts in Human History di Galeri Nasional, 14 Januari 2016-1 Februari 2016. Karya lainnya dalam bentuk patung, lukisan, dan instalasi. Sejumlah karya besar keduanya yang pernah dipamerakan juga turut hadir.

Entang dan Sally bersahabat. Pertama kali bertemu di Melbourne, ketika Entang residensi seusai pameran kolektif ''Closing the Gap'' pada 2012, Entang mengaku sudah merasakan chemistry dengan Sally. ''Tampak familiar. Seperti sudah pernah bertemu sebelumya,'' kata Entang. Begitu pula Sally. Ia merasakan adanya koneksi intelektual dan profesional dalam karya-karya mereka. ''Sebuah persahabatan sejati telah muncul,'' katanya, agak lebay.

Sejak itu, keduanya menjadi teman dekat dan memiliki banyak kecocokan hingga menggagas ide untuk membuat pameran bersama. Setahun kemudian, di Hong Kong, dialog itu berlanjut dengan perolehan sederet lembaga yang mendukung pameran ini. Di antaranya Galeri Canna Indonesia dan Pemerintah Australia.

Koneksi keduanya, sekurangnya, tampak pada tema dan metode pengerjaan karya. Pada metode pengerjaan karya, keduanya sama-sama menggunakan teknik memotong (cutting), membongkar objek, kemudian merekonstruksi kembali menjadi sebuah karya.

Ornamen-ornamen seperti teks, selang mesin, pepohonan, dan organ tubuh berupa usus dan jantung serta organ tubuh lainnya tampak dalam hampir setiap karya keduanya. Ornamen-ornamen ini menjadi narasi kecil yang mengukuhkan narasi besar ide-ide yang hendak disampaikan.

Ide-ide yang disampaikan keduanya pun saling bersinggungan. Karya seniman asal Tegal, Jawa Tengah, yang mulai memperoleh perhatian dunia sejak karyanya dipamerkan dalam Venice Biennale 2005 ini berkelindan seputar identitas dan narasi sosial, politik, ekonomi, juga budaya. Sedangkan Sally, yang berasal dari Flinders Renges, Australia bagian selatan, dengan latar belakang keluarga petani-peternak, telah melewati fase hidup yang tak mudah sebagai warga dari daerah terisolasi dan negara dengan persoalan etnis masa lalu.

Karya-karya Sally banyak cerita seputar identitas, gender, rasisme, kolonialisme politik dan persoalan sosial-ekonomi. ''Ini kolaborasi pemikiran. Karya keduanya bermuatan opini. Suatu pandangan dan penilaian terhadap semua persoalan yang mendasari penciptaan karya mereka,'' kata kurator pameran ini, Suwarno Wirosetrotomo.

Karya Sally berjudul Choreograph of Cutting (2015) menjadi representasi persoalan yang pernah Sally temui itu, berikut rumusan-rumusannya. Karya itu berupa papan tulis hitam dengan sajian kolase dari sejumlah figur tubuh perempuan menari, video, diagram, dan teks. Di sudut karya, sebuah teks memberikan penjelasan soal tubuh perempuan terbatasi dan terjebak dalam sebuah lingkaran.
Sally menyebut karyanya sebagai upaya ''menambal sobekan luka dengan tetap meninggalkan bekasnya''. Sedangkan Entang mendefinisikan karyanya sebagai upaya ''menggaruk rasa gatal'' dari segala persoalan dalam peradaban manusia.

Peradaban manusia dipenuhi aksi teror dan kekerasan. Dialog, salah satunya dalam bentuk pameran seni, akan menemukan persamaan dan perbedaan masing-masing kemudian bermuara pada orientasi bersama. Meski sudah mewujud dalam sebuah pameran, kata Entang, ini adalah awal dari sebuah dialog panjang dan tanpa akhir. ''Butuh percakapan terus untuk memperoleh sesuatu yang baru, yaitu kesadaran yang lebih dari ekspektasi,'' katanya.

Sementara itu, Suwarno menyebut dialog dalam pameran ini sebagai wujud kompleks dari ungkapan populer Yunani, ars longa vita brevis. ''Kehidupan relatif pendek, akan tetapi kekuatan visual dan narasi seni yang tersimpan di dalamnya bisa hidup sepanjang jaman,'' katanya.