Kasubdit Pencegahan dan
Pengamanan Hutan Wilayah Jawa dan Bali Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK) Ahmad pribadi mengatakan penjualan satwa liar menjadi kategori
kejahatan trans-nasional kelima terbesar sedunia dengan nilai USD 19 miliar
setelah Narkoba, pemalsuan, perdagangan orang dan minyak ilegal.
Sebagian penjualan satwa liar ini dilakukan melalui daring.
Berdasarkan catatan PROFAUNA Indonesia, sepanjang Januari hingga Desember 2015, terdapat sekitar 5.000 penjualan satwa liar di Indonesia secara daring.
Sementara menurut WWF
Indonesia terdapat 7.058 iklan penjualan satwa liar di internet, di antaranya
penjualan orangutan, kakatua jambul kuning, rangkong dan elang.
Berdasarkan catatan KLHK,
kota besar seperti Medan, Palembang, Surabaya, Banjarmasin, Makassar, Jakarta
dan Bali menjadi tempat penampungan sementara sebelum dijual ke luar negeri.
“Umumnya pelaku menggunakan
jalur darat dan laut ketimbang udara karena lebih mudah, murah dan aman,” kata
Pribadi.
Jalur pengiriman darat lintas
negara itu melalui Laos, Kamboja, Vietnam dan Tiongkok.
Sedang rute penjualan melalui
udara dikirim ke Malaysia, Thailand, Singapura, Filipina, kemudian dilanjutkan
ke Tiongkok.
Harimau misalnya, diperoleh
dari hasil perburuan di Sumatera Barat, Jambi dan Riau, kemudian dijual secara
ilegal ke Singapura dan Malaysia, lalu diseberangkan ke Tiongkok.
“Perkembangan teknologi
semakin canggih, kita tidak bisa bekerja sendiri, harus bersama-sama,” kata
Pribadi.
Direktur Wildlife Conservaton
Society (WCS) Indonesia Noviar Andayani mengatakan sejak 2003 pihaknya telah
menangani sekitar 400an kasus perdagangan satwa liar, sebanyak 40 persen di
antaranya merupakan perdagangan satwa liar melalui daring yang telah diamati
sejak 2011.
Noviar mengatakan di media
sosial seperti Instagram dan Facebook banyak penyuka satwa yang memamerkan
kepemilikan satwa dilindungi, salah satunya komunitas pecinta elang.
“Sebagian di antaranya
merupakan kamuflase penjualan satwa liar,” kata dia.
Noviar mengeluhkan rendahnya
kesadaran masyarakat soal perlindungan satwa liar terancam punah. Masyarakat
masih bertoleransi dan permisif terhadap kepemilikan satwa liar.
“Mereka menganggap
satu-satunya makhluk hidup ya manusia, atau anggapan bahwa satwa harus punya
nilai secara langsung bagi kemanusiaan, makanya jawaban yang sering kita
peroleh ketika menangani kasus ini selalu ‘apasih wong cuma satwa’,” kata dia.
Noviar mengatakan kampanye
saja tak cukup untuk menghentikan penjualan satwa liar, semua kasus harus
diungkap dan diproses secara hukum.
“Tidak ada satu pun strategi
yang bisa menggantikan penegakan hukum secara konsisten, pembeli dan penjual
harus diberi hukuman,” kata dia.
Kanit III Subdit I Direktorat
Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri AKBP Idam Wasiadi mengatakan seperti
Narkoba, senjata, dan barang ilegal lain, penjualan satwa liar secara daring
pun marak terjadi lewat dark web menggunakan akun anonim.
“IP address tidak
teridentifikasi, mereka menghindar agar tidak mudah terdeteksi,” kata dia.
Namun sayangnya, kata dia,
sejauh ini pihaknya belum pernah menerima aduan kasus penjualan satwa liar.
Kasus ini lebih banyak ditangani Bareskrim bagian Tindak Pidana Tertentu.
-->
Padahal jika ditindak, pelaku
bisa dikenai pasal berlapis yang memberatkan, tak hanya undang-undang nomor 5
tahun 1990 tentang Konservasi SUmber Daya Alam dan Keanekaragaman Hayati dan
Ekosistemnya, tapi juga UU ITE dan UU Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dengan ancaman pidana hingga
20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp10 miliar.