-->
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Sarah Nuraini Siregar mengatakan meski terdapat konflik antara TNI dan Polri
beberapa waktu belakangan, hubungan kedua lembaga secara umum tampak ‘harmonis’
selama setahun terakhir.
Kesimpulan ini berdasarkan hasil penelitian P2P
LIPI tentang relasi TNI-Polri sepanjang 2000-2009.
‘Keharmonisan’ itu, kata Sarah, terjadi berkat
relasi personal antar pimpinan kedua lembaga.
Pada aspek keamanan, kata dia, ‘keharmonisan’ itu
ditandai dengan adanya kerja sama dalam membantu pengamanan sejumla kasus,
seperti pengamanan aksi unjuk rasa, Pilkada serentak, dan isu terorisme.
Saat mengamankan aksi 4 November 2016 misalnya,
keduanya bekerja sama dengan menerjunkan 18.000 pasukan.
“Persoalan koordinasi maupun rivalitas tampaknya
tidak terlalu mengemuka dibandingkan awal reformasi,” katanya.
Dalam bidang terorisme, kedua institusi bekerja
sama mengamankan wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia dan Indonesia Filipina
di Sulawesi Utara demi mencegah penyusupan kelompok esktrem simpatisan Daesh
dari Marawi.
Meski begitu, berdasarkan catatan sejarah, sejak
awal reformasi, hubungan keduanya kerap bermasalah. Sejak terbitnya TAP MPR No.
6 tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, juga TAP MPR No 7 tahun 2000 tentang
Peran TNI dan Peran Polri yang mengatur peran Polri di bidang kemanan sementara
TNI di bidang pertahanan saja.
“Dua regulasi ini kemudian menjadi titik tolak
lahirnya regulasi berikutnya yang mengatur TNI dan Polri,” katanya.
Permasalahan mengemuka saat beberapa waktu lalu Panglima
TNI Jenderal Gatot Nurmantyo di hadapan Purnawirawan TNI mengatakan akan
menyerbu Polri jika lembaga tersebut membeli senjata anti-tank dan polemik
pembelian 5.000 unit senjata yang mencatut nama Presiden Joko Widodo.
Di sinilah letak resistensi hubungan yang hanya
mengandalkan basis relasi personal antar pimpinan, kata Sarah.
“Saat elit institusi keamanan tersebut memberikan
pernyataan terkait situasi politik di depan publik, maka yang timbul adalah
keraguan banyak pihak terhadap ‘keharmonisan’ relasi keduanya,” katanya.
Peneliti senior LIPI Sri Yanuarti mengatakan TNI dan
Polri merupakan alat negara, sesuai bidang masing-masing.
“Dua hal berbeda, namun ketika terjadi konflik
butuh kerja sama satu sama lain,” katanya.
Dalam bidang terorisme misalnya, meski tak ada
kaitannya dengan kedaulatan, kecuali kasus membesar seperti adanya Daesh di
Suriah, TNI bisa membantu Polri menangani terorisme.
Terlebih jumlah polisi di Indonesia terhitung
sedikit, dengan jumlah normal 1:500, polisi yang hanya 58.000 jauh dari
standar.
“Kita punya sedikit polisi dengan kewenangan yang
banyak,” katanya.
Saat menjadi bagian dari Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ABRI), kata Sri, Polri dianggap anak bungsu dengan banyak
keterbatasan. Setelah reformasi dan peran mereka dipisah, Polri langsung di
bawah koordinasi presiden sementara TNI di bawah koordinasi Kementerian
Pertahanan.
“Fungsi yang dulu dilakukan tentara, misal
penjagaan objek vital strategis, dialihkan ke polisi,” katanya.
Idealnya, kata Sri, ada aturan yang menjadi payung
hukum keduanya untuk menangani konflik.
Tahun 2001-2003 LIPI telah merumuskan draf UU
Perbantuan TNI-Polri, namun mental bahkan sebelum sampai ke tangan DPR.
“Keduanya belum sepakat, ego sektoral mereka
tinggi,” katanya.
No comments:
Post a Comment