Muatan dan implementasi Qanun Jinayat atau Peraturan
Daerah (Perda) Provinsi Aceh No. 6 tahun 2014 tentang Hukum Pidana
mendiskriminasi perempuan.
Pernyataan ini disampaikan Koordinator Program Badan
Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan (SP) Nisa Yura di sela-sela workshop
Strategi Advokasi Judicial Review Qanun Jinayah yang diselenggarakan
Sekretariat Nasional Solidaritas Perempuan pada Rabu di Jakarta.
Secara substansi, kata Nisa, Qanun Jinayat melanggar 10
peraturan perundang-undangan, dengan empat pasal diskriminatif, salah satunya
pasal terkait perkosaan di mana korban justru dibebankan dengan alat
bukti.
“Penyediaan alat bukti kasus perkosaan itu tidak mudah,
terlebih korban tengah mengalami dampak psikologis, sementara pelaku bisa
terbebas dari hukuman hanya dengan sumpah, Qanun justru berpotensi
mereviktimisasi korban,” kata dia.
Selain itu, kata Nisa, hasil riset SP dengan perempuan di
Aceh dan Makassar menyimpulkan bahwa peraturan yang menyasar tubuh, ekspresi
dan ruang gerak perempuan, berkontribusi terhadap massifnya diskriminasi dan
kekerasan terhadap perempuan. “Qanun Jinayat ini misalnya, menjadikan perempuan
sebagai objek dan rentan dikriminalisasikan,” kata dia.
Sejak disahkan pada 26 Oktober 2014 dan diimplementasikan
setahun setelahnya, kata Nisa, eksekusi hukuman cambuk berdampak mendalam,
terutama bagi perempuan. Banyak kasus salah tangkap, penyalahgunaan wewenang
aparat, dan tebang pilih terjadi dalam implementasi kebijakan ini.
“Ada sejumlah kasus pejabat yang terlibat dalam
penggerebekan justru tidak ditangkap,” kata Nisa kepada Anadolu Agency.
Riset SP Aceh terhadap 1163 perempuan Aceh pada 2015
menyimpulkan bahwa umumnya mereka sepakat mengenai implementasi Qanun Jinayat
namun tak memahami isi peraturan tersebut.
“Karena dikaitkan dengan agama maka umumnya masyarakat
mendukung, namun ketika ditanya isinya seperti apa mereka tidak tahu,” ujar
Ketua Badan Eksekutif Komunitas SP Aceh Ratnasari lewat video konferensi dalam
workshop tersebut.
Nisa menambahkan bahwa Qanun Jinayat hanyalah satu dari
421 kebijakan yang diskriminatif terhadap perampuan. Qanun ini juga
menginspirasi daerah lain untuk membuat Perda sejenis, misalnya hukum cambuk di
Desa Padang, Bulukumba, Sulawesi Selatan, Perda Nomor 18 Tahun 2014 tentang Etika
Berbusana di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara.
“Makanya persoalan Qanun Jinayat tidak semata-mata
persoalan masyarakat dan perempuan Aceh, tapi juga persoalan bangsa ini,” kata
Nisa.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform
(ICJR) Supriyadi Widodo mengatakan pihaknya menolak hukuman cambuk dalam Qanun
Jinayat.
Pertama, kata Supriyadi, sistem hukum di Indonesia tegas
melarang penggunaan corporal punishment atau hukuman yang melukai badan. Kedua,
Qanun Jinayat mengatur tindak pidana yang tidak diatur dalam hukum pidana
nasional seperti minuman keras (khamar), hubungan sejenis (liwath) hingga
perluasan zina dalam khalwat.
“Perda tidak boleh bertentangan dengan sistem negara,”
kata Supriyadi kepada Anadolu Agency.
Berdasarkan catatan ICJR, sejak Januari hingga September
tahun ini terdapat sedikitnya 188 orang dihukum cambuk dengan 4.945 cambukan
yang tersebar di sembilan wilayah di Provinsi Aceh. Eksekusi tersebut rutin
dilakukan setiap bulan hingga Oktober di tahun ini.
“Artinya rata-rata ada 21 orang yang dieksekusi setiap
bulannya,” kata dia.
-->
Banda Aceh menjadi wilayah di Provinsi Aceh dengan
pelaksanaan eksekusi cambuk terbanyak sejumlah enam kali, diikuti Sigli/Pidie
dan Jantho/Aceh besar dengan masing-masing empat kali eksekusi. Sedang Lhoksemawe
menjadi wilayah eksekusi pertama sejak Perda ini diberlakukan.
No comments:
Post a Comment