Monday, October 16, 2017

Qanun Jinayat Diskriminasi Perempuan

Muatan dan implementasi Qanun Jinayat atau Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Aceh No. 6 tahun 2014 tentang Hukum Pidana mendiskriminasi perempuan.
Pernyataan ini disampaikan Koordinator Program Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan (SP) Nisa Yura di sela-sela workshop Strategi Advokasi Judicial Review Qanun Jinayah yang diselenggarakan Sekretariat Nasional Solidaritas Perempuan pada Rabu di Jakarta.
Secara substansi, kata Nisa, Qanun Jinayat melanggar 10 peraturan perundang-undangan, dengan empat pasal diskriminatif, salah satunya pasal terkait perkosaan di mana korban justru dibebankan dengan alat bukti. 
“Penyediaan alat bukti kasus perkosaan itu tidak mudah, terlebih korban tengah mengalami dampak psikologis, sementara pelaku bisa terbebas dari hukuman hanya dengan sumpah, Qanun justru berpotensi mereviktimisasi korban,” kata dia.
Selain itu, kata Nisa, hasil riset SP dengan perempuan di Aceh dan Makassar menyimpulkan bahwa peraturan yang menyasar tubuh, ekspresi dan ruang gerak perempuan, berkontribusi terhadap massifnya diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. “Qanun Jinayat ini misalnya, menjadikan perempuan sebagai objek dan rentan dikriminalisasikan,” kata dia.
Sejak disahkan pada 26 Oktober 2014 dan diimplementasikan setahun setelahnya, kata Nisa, eksekusi hukuman cambuk berdampak mendalam, terutama bagi perempuan. Banyak kasus salah tangkap, penyalahgunaan wewenang aparat, dan tebang pilih terjadi dalam implementasi kebijakan ini. 
“Ada sejumlah kasus pejabat yang terlibat dalam penggerebekan justru tidak ditangkap,” kata Nisa kepada Anadolu Agency.
Riset SP Aceh terhadap 1163 perempuan Aceh pada 2015 menyimpulkan bahwa umumnya mereka sepakat mengenai implementasi Qanun Jinayat namun tak memahami isi peraturan tersebut.
“Karena dikaitkan dengan agama maka umumnya masyarakat mendukung, namun ketika ditanya isinya seperti apa mereka tidak tahu,” ujar Ketua Badan Eksekutif Komunitas SP Aceh Ratnasari lewat video konferensi dalam workshop tersebut.
Nisa menambahkan bahwa Qanun Jinayat hanyalah satu dari 421 kebijakan yang diskriminatif terhadap perampuan. Qanun ini juga menginspirasi daerah lain untuk membuat Perda sejenis, misalnya hukum cambuk di Desa Padang, Bulukumba, Sulawesi Selatan, Perda Nomor 18 Tahun 2014 tentang Etika Berbusana di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. 
“Makanya persoalan Qanun Jinayat tidak semata-mata persoalan masyarakat dan perempuan Aceh, tapi juga persoalan bangsa ini,” kata Nisa.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo mengatakan pihaknya menolak hukuman cambuk dalam Qanun Jinayat.
Pertama, kata Supriyadi, sistem hukum di Indonesia tegas melarang penggunaan corporal punishment atau hukuman yang melukai badan. Kedua, Qanun Jinayat mengatur tindak pidana yang tidak diatur dalam hukum pidana nasional seperti minuman keras (khamar), hubungan sejenis (liwath) hingga perluasan zina dalam khalwat.
“Perda tidak boleh bertentangan dengan sistem negara,” kata Supriyadi kepada Anadolu Agency.
Berdasarkan catatan ICJR, sejak Januari hingga September tahun ini terdapat sedikitnya 188 orang dihukum cambuk dengan 4.945 cambukan yang tersebar di sembilan wilayah di Provinsi Aceh. Eksekusi tersebut rutin dilakukan setiap bulan hingga Oktober di tahun ini.
“Artinya rata-rata ada 21 orang yang dieksekusi setiap bulannya,” kata dia.

-->
Banda Aceh menjadi wilayah di Provinsi Aceh dengan pelaksanaan eksekusi cambuk terbanyak sejumlah enam kali, diikuti Sigli/Pidie dan Jantho/Aceh besar dengan masing-masing empat kali eksekusi. Sedang Lhoksemawe menjadi wilayah eksekusi pertama sejak Perda ini diberlakukan.

No comments:

Post a Comment