Kolaborasi catatan perjalanan dan lukisan yang
merekam perjalanan Bobo, seekor anjing basset hound dengan bulu putih-cokelat berkeliling
Eropa
Hayati Nupus
JAKARTA (AA) – Bobo Gajahmada menatap lanskap
kota Brussels. Deretan gedung-gedung tinggi dengan beragam warna dan tanah yang
basah setelah hujan. Awan kelabu masih menggantung di langit.
Serupa mural, lukisan karya Hanafi Muhammad selebar
9 meter itu memenuhi tembok salah satu hotel di Kemang, Jakarta. Sebuah kursi
panjang teronggok melengkapi lukisan itu. Setiap pengunjung dapat duduk di
kursi itu seolah-olah tengah berada di Brussel bersama Bobo.
Dalam lukisan itu, Bobo adalah tokoh utama,
dengan seutas tali melingkari lehernya. Bobo merupakan anjing jenis basset
hound berbulu putih-cokelat peliharaan Irma Lengkong Mikkonen, warga negara
Indonesia yang tinggal di Inggris.
Pameran yang digelar sepanjang 25 Januari-5
Februari 2019 itu menjadi bagian dari terbitnya buku kolaborasi catatan
perjalanan dan lukisan berjudul Bobo: The Travelling Hound. Buku setebal 98
halaman ini tak sekedar merekam perjalanan Bobo dan Irma berpetualang, tapi
sekaligus refleksi hubungan hewan peliharaan dalam kebudayaan manusia,
Bobo memang bukan anjing biasa. Berkaki
pendek dengan penciuman tajam, Bobo memiliki paspor Uni Eropa, sehingga bisa
berkeliling ke berbagai negara. Dia menjelajahi berbagai kota di Inggris, Prancis, Belanda dan Belgia.
“Bobo
mengajari saya banyak hal ketika berpergian ke berbagai negara,” ungkap Irma
kepada Anadolu Agency, Kamis, di Jakarta.
Pemecah kebekuan
Irma merawat
Bobo sejak Januari 2015, ketika anjing itu berusia empat pekan. Selepas
anak-anak dewasa dan bersekolah, Bobolah yang menemani Irma menjalani kegemarannya
berpergian. Ini merupakan anjing ketiga yang pernah Irma pelihara, namun
satu-satunya yang dia rawat sepenuhnya. Kedua anjing lainnya, dia rawat di
Indonesia bersama asisten rumah tangga.
Eropa merupakan wilayah yang ramah terhadap
satwa, khususnya anjing. Dari Inggris, Bobo naik kereta menuju Prancis dan
berkeliling kota Paris menggunakan bus umum. Begitu juga di Belgia dan Belanda,
segala fasilitas publik menerima Bobo, dari hotel hingga restoran.
Bagi Irma yang gemar bepergian, Bobo adalah
perjalanan itu sendiri. Dia menciptakan kehangatan dan kebahagiaan. Ketika
berpergian sendiri, Irma hanya menyusuri kota dan menatap orang-orang yang melintas
sambil lalu.
Berbeda jika perjalanan itu dilakukan bersama
Bobo. Bobo memecah kebekuan. Orang-orang Eropa yang cenderung individualistis
akan berhenti, mendekati Irma sambil melempar senyum, kemudian berbincang dan
menyapa Bobo.
“Biasanya mereka jarang senyum ke orang asing,
begitu melihat Bobo, kami jadi mengobrol,” kata Irma.
Layaknya anjing basset lainnya, Bobo memiliki
karakter manja, sensitif, suka tidur, berlari, meski kadang-kadang keras
kepala. Dengan penciumannya yang tajam, di masa lampau keluarga kerajaan
menggunakan si basset hound untuk berburu kelinci.
Sekali waktu Irma bepergian sendiri, Bobo tak
ikut serta. Begitu mendengar deru mobil memasuki halaman rumah, Bobo berlari
menyambut sedang Irma mendapati anjing itu dengan paras sedih.
“Dia perlu perhatian dan kasih sayang, tidak
mau ditinggal,” ujar.
Di Eropa, ujar Irma, anjing dan hewan
peliharaan lainnya menjadi bagian dari kehidupan manusia. Paras anjing muncul
di iklan fashion, menjadi mural di tembok-tembok, tampak di baliho jalanan,
bahkan hadir di berbagai lukisan bersama manusia di museum abad lampau. Anjing
hadir dan menjadi bagian dari peradaban manusia.
Sementara di Indonesia, lanjut Irma, begitu banyak
anjing berkeliaran tak terurus, disiram air, dipukuli, bahkan dikonsumsi. Makanya,
sebagian hasil penjualan buku ini akan didonasikan ke lembaga Jakarta Animal
Aid Network (JAAN) untuk mengadvokasi satwa.
Dunia manusia dari sudut pandang Bobo
Hanafi mengatakan lukisan dan kisah Bobo
dalam buku ini merupakan satu kesatuan utuh. Dia turut serta dalam perjalanan
bersama si basset hound itu sejak pertengahan tahun lalu.
Di sela-sela perjalanan, pelukis asal
Purworejo, Jawa Tengah ini, mengabadikan gelagat Bobo di berbagai negara. Saat
berada di taman, Hanafi membuat sketsa di bangku taman. Jika tak menemukan
bangku, Hanafi akan asyik membuat sketsa sambil lesehan di jalan atau
rerumputan, diselingi deru angin atau suara rauman mobil. Di Jakarta, sketsa
ini kemudian dia tuangkan ke dalam kanvas, kertas, dan kayu yang lebih besar.
Hanafi dikenal sebagai pelukis abstrak. Dia
telah berpameran lebih dari 100 kali. Untuk Bobo, dia melukiskannya dengan
lebih riil. Karya-karya itu berupa lukisan portrait, gambaran Bobo dengan wajah
sedih, kolase tubuh Bobo yang menggambarkan anjing dalam kerangkeng, juga
sketsa.
Berikut gabungan lukisan dan instalasi brongsong
–masker penutup mulut anjing– yang dilengkapi dengan goresan teks bertuliskan K
I S S. Merujuk paradoks antara kecintaan manusia dengan anjingnya, dan
peraturan pemerintah yang mengharuskan agar hewan itu menggunakan masker ketika
keluar rumah. Dengan aturan itu, pemerintah berharap anjing tidak menggigit
manusia.
“Ini paradoks yang aneh, manusia dan anjing
saling menyayangi tapi di sisi lain pemerintah setempat menganggap itu sebagai
ancaman,” kata Hanafi.
Bagi Hanafi, melukis Bobo berarti meminjam
mata hewan ini untuk melihat kehidupan rumit manusia.
Di berbagai tempat umum, lanjut Hanafi, manusia
datang dengan menenteng beragam hasil belanja. Sedang seekor anjing melihat
manusia hanya dari kakinya, ke arah mana manusia itu akan membawanya.
“Saya membayangkan satwa itu bingung melihat
kehidupan manusia yang konsumeristik dan hedonis,” kata Hanafi.
No comments:
Post a Comment