Monday, February 11, 2019

Hikayat Bobo


Kolaborasi catatan perjalanan dan lukisan yang merekam perjalanan Bobo, seekor anjing basset hound dengan bulu putih-cokelat berkeliling Eropa
Hayati Nupus
JAKARTA (AA) – Bobo Gajahmada menatap lanskap kota Brussels. Deretan gedung-gedung tinggi dengan beragam warna dan tanah yang basah setelah hujan. Awan kelabu masih menggantung di langit.
Serupa mural, lukisan karya Hanafi Muhammad selebar 9 meter itu memenuhi tembok salah satu hotel di Kemang, Jakarta. Sebuah kursi panjang teronggok melengkapi lukisan itu. Setiap pengunjung dapat duduk di kursi itu seolah-olah tengah berada di Brussel bersama Bobo.
Dalam lukisan itu, Bobo adalah tokoh utama, dengan seutas tali melingkari lehernya. Bobo merupakan anjing jenis basset hound berbulu putih-cokelat peliharaan Irma Lengkong Mikkonen, warga negara Indonesia yang tinggal di Inggris.
Pameran yang digelar sepanjang 25 Januari-5 Februari 2019 itu menjadi bagian dari terbitnya buku kolaborasi catatan perjalanan dan lukisan berjudul Bobo: The Travelling Hound. Buku setebal 98 halaman ini tak sekedar merekam perjalanan Bobo dan Irma berpetualang, tapi sekaligus refleksi hubungan hewan peliharaan dalam kebudayaan manusia,
Bobo memang bukan anjing biasa. Berkaki pendek dengan penciuman tajam, Bobo memiliki paspor Uni Eropa, sehingga bisa berkeliling ke berbagai negara. Dia menjelajahi berbagai kota di Inggris, Prancis, Belanda dan Belgia.
“Bobo mengajari saya banyak hal ketika berpergian ke berbagai negara,” ungkap Irma kepada Anadolu Agency, Kamis, di Jakarta.

Pemecah kebekuan
Irma merawat Bobo sejak Januari 2015, ketika anjing itu berusia empat pekan. Selepas anak-anak dewasa dan bersekolah, Bobolah yang menemani Irma menjalani kegemarannya berpergian. Ini merupakan anjing ketiga yang pernah Irma pelihara, namun satu-satunya yang dia rawat sepenuhnya. Kedua anjing lainnya, dia rawat di Indonesia bersama asisten rumah tangga.
Eropa merupakan wilayah yang ramah terhadap satwa, khususnya anjing. Dari Inggris, Bobo naik kereta menuju Prancis dan berkeliling kota Paris menggunakan bus umum. Begitu juga di Belgia dan Belanda, segala fasilitas publik menerima Bobo, dari hotel hingga restoran.
Bagi Irma yang gemar bepergian, Bobo adalah perjalanan itu sendiri. Dia menciptakan kehangatan dan kebahagiaan. Ketika berpergian sendiri, Irma hanya menyusuri kota dan menatap orang-orang yang melintas sambil lalu. 
Berbeda jika perjalanan itu dilakukan bersama Bobo. Bobo memecah kebekuan. Orang-orang Eropa yang cenderung individualistis akan berhenti, mendekati Irma sambil melempar senyum, kemudian berbincang dan menyapa Bobo.
“Biasanya mereka jarang senyum ke orang asing, begitu melihat Bobo, kami jadi mengobrol,” kata Irma.
Layaknya anjing basset lainnya, Bobo memiliki karakter manja, sensitif, suka tidur, berlari, meski kadang-kadang keras kepala. Dengan penciumannya yang tajam, di masa lampau keluarga kerajaan menggunakan si basset hound untuk berburu kelinci.
Sekali waktu Irma bepergian sendiri, Bobo tak ikut serta. Begitu mendengar deru mobil memasuki halaman rumah, Bobo berlari menyambut sedang Irma mendapati anjing itu dengan paras sedih.
“Dia perlu perhatian dan kasih sayang, tidak mau ditinggal,” ujar.
Di Eropa, ujar Irma, anjing dan hewan peliharaan lainnya menjadi bagian dari kehidupan manusia. Paras anjing muncul di iklan fashion, menjadi mural di tembok-tembok, tampak di baliho jalanan, bahkan hadir di berbagai lukisan bersama manusia di museum abad lampau. Anjing hadir dan menjadi bagian dari peradaban manusia.
Sementara di Indonesia, lanjut Irma, begitu banyak anjing berkeliaran tak terurus, disiram air, dipukuli, bahkan dikonsumsi. Makanya, sebagian hasil penjualan buku ini akan didonasikan ke lembaga Jakarta Animal Aid Network (JAAN) untuk mengadvokasi satwa.

Dunia manusia dari sudut pandang Bobo
Hanafi mengatakan lukisan dan kisah Bobo dalam buku ini merupakan satu kesatuan utuh. Dia turut serta dalam perjalanan bersama si basset hound itu sejak pertengahan tahun lalu.
Di sela-sela perjalanan, pelukis asal Purworejo, Jawa Tengah ini, mengabadikan gelagat Bobo di berbagai negara. Saat berada di taman, Hanafi membuat sketsa di bangku taman. Jika tak menemukan bangku, Hanafi akan asyik membuat sketsa sambil lesehan di jalan atau rerumputan, diselingi deru angin atau suara rauman mobil. Di Jakarta, sketsa ini kemudian dia tuangkan ke dalam kanvas, kertas, dan kayu yang lebih besar.
Hanafi dikenal sebagai pelukis abstrak. Dia telah berpameran lebih dari 100 kali. Untuk Bobo, dia melukiskannya dengan lebih riil. Karya-karya itu berupa lukisan portrait, gambaran Bobo dengan wajah sedih, kolase tubuh Bobo yang menggambarkan anjing dalam kerangkeng, juga sketsa.
Berikut gabungan lukisan dan instalasi brongsong –masker penutup mulut anjing– yang dilengkapi dengan goresan teks bertuliskan K I S S. Merujuk paradoks antara kecintaan manusia dengan anjingnya, dan peraturan pemerintah yang mengharuskan agar hewan itu menggunakan masker ketika keluar rumah. Dengan aturan itu, pemerintah berharap anjing tidak menggigit manusia.
“Ini paradoks yang aneh, manusia dan anjing saling menyayangi tapi di sisi lain pemerintah setempat menganggap itu sebagai ancaman,” kata Hanafi.
Bagi Hanafi, melukis Bobo berarti meminjam mata hewan ini untuk melihat kehidupan rumit manusia.
Di berbagai tempat umum, lanjut Hanafi, manusia datang dengan menenteng beragam hasil belanja. Sedang seekor anjing melihat manusia hanya dari kakinya, ke arah mana manusia itu akan membawanya.
“Saya membayangkan satwa itu bingung melihat kehidupan manusia yang konsumeristik dan hedonis,” kata Hanafi.

No comments:

Post a Comment