Thursday, August 23, 2012

MEMBACA NASIB KOMIK INDONESIA


Meski tak segemilang dulu, komik Indonesia mencoba bertahan dengan berbagai cara.
Bang Sahid dicekal hansip! Konon ia perlu diamankan karena dicurigai sebagai teroris. “Kebangetan lu pade, gue bukan teroris, kalau nuduh jangan ngasal!” dengan mata melotot, Bang Sahid membela diri. Tapi apa mau dikata, hansip hanya menjalankan perintah, “Pak RT yang bilang, Bang sahid ini bisa dicurigai!” bela salah satu hansip.
Pak RT pun muncul dan mengatakan bukan seperti itu yang dikatakannya, “Saya bilang siapapun bisa dicurigai, jangan diplintir doong…”, ujar Pak RT sambil menyilangkan jari telunjuknya. Kali ini giliran hansip yang melotot tak terima, “Idiih… Pak RT gitu sih! Orang kemaren Pak RT yang bilang begitu… pak RT sendiri yang suka mlintir.” bela hansip. Sebelah tangannya berkacak pinggang.
Itulah cerita dalam komik Lotif karya Beng Rahardian yang dimuat Koran Tempo setiap hari minggu. Sedikit lucu namun sarat kritik social. Kali ini temanya Tukang Mlintir, menceritakan seorang pejabat RT yang dengan seenaknya me”mlintir” ucapannya.
Selain Lotif, komik-komik Indonesia yang bisa ditemui adalah Tekyan karya Yudi Sulistya/M.Arief Budiman, Caroq karya Thoriq/Pe’ong, Panji Koming, Doyok, atau Benny & Mice yang kerap mengisi halaman kompas edisi minggu. Meski kuantitasnya tak sebanyak komik ala jepang, cerita bergambar karya komikus Indonesia ini memberi warna cerah di tengah keterpurukan komik indonesia.

Dominasi Komik Impor
Masa kejayaan komik Indonesia berada pada era komik bertemakan superhero dan tema-tema yang diadaptasi dari cerita pewayangan di tahun 1950-1980an. Tema-tema superhero muncul akibat pengaruh komik amerika dengan tokoh semacam Tarzan, Phantom atau Johnny Hazard yang kala itu kerap menjadi suplemen di surat kabar lokal.
R.A Kosasih yang pertama kali membukukan komik perihal cerita pahlawan wanita bernama Sri Asih. Selain Sri Asih, karakter pahlawan super karya komikus Indonesia di antaranya adalah Siti Gahara, Garuda Putih, atau Kapten Comet yang merupakan transformasi karakter Superman dan Flash Gordon dengan selera local.
Tema-tema pewayangan mulai dilirik komikus Indonesia ketika banyak muncul kritikan perihal adaptasi komik asing dalam komik Indonesia. Lagi-lagi R.A Kosasih yang berjaya menyuguhkan epik Mahabharata dalam bentuk cerita bergambar. Tak hanya di jawa, geliat komik dengan tema budaya nasional marak juga di Sumatera. Komikus yang menyajikan cerita rakyat sumatera yang pernah digemari tahun 1960 hingga 1970an itu di antaranya adalah Taguan Hardjo, Djas dan Zam Nuldyn.
Perkomikan Indonesia kini memang tak secemerlang masa kejayaannya. Komik-komik yang muncul dalam surat kabar atau majalah memang kebanyakan karya komikus dalam negeri. Tapi komik dalam bentuk buku yang merajai pasar Indonesia kini lebih banyak didominasi komik-komik impor, terutama dari jepang dan amerika. Bahkan komik jepang punya style sendiri yang disebut manga dan kini digemari banyak komikus muda Indonesia. Penerbit Indonesia yang kerap menerbitkan manga adalah Elex Media Komputindo dan m&c Comics.
Bambang Toko, pengamat komik sekaligus dosen seni rupa ISI Yogyakarta, mengatakan penyebab fenomena maraknya komik impor ini lebih karena masalah supply dan demand. “Kalau penerbit menerbitkan komik pasti membicarakan industri dan untung-rugi. Karena komik jepang laris di pasaran, maka akhirnya yang mereka produksi juga komik semacam itu,” ujar Bambang. Selain itu, hak membeli edar komik jepang lebih murah daripada komik amerika atau eropa, “Apalagi banyak penerbit Indonesia yang bekerjasama langsung dengan penerbit jepang, contohnya Elex Media Komputindo.” Maka tak heran bila komik Sinchan atau serial cantik lebih mudah ditemui daripada Tintin atau Superman di pasaran.
Komik asli buatan komikus Indonesia tak banyak ditemui di pasaran. Kalau pun ada, karakter komiknya banyak dipengaruhi style manga. Beberapa situs yang memuat informasi seputar pembuatan manga semakin banyak di internet seperti howtodrawmanga.com dan mangauniversity. Bahkan kebanyakan komikus Indonesia beraliran ini memakai nama samaran yang bernuansa kejepang-jepangan. Seperti Anthony Ann, Is Yuniarto atau Anzu Hizawa.

Komunitas Komik Indie: Idealisme VS Batu Loncatan
Kesuksesan komikus indonesia di jajaran dunia perkomikan, tak lepas dari peran komunitas komik yang membentuk mereka. Di Yogyakarta, komunitas semacam ini banyak tumbuh dan berkembang. Sebut saja Dagingtumbuh, Komikaze, ataupun Apotik Komik. Komunitas-komunitas ini dikenal dengan label indie.
Awalnya mereka membuat komik sebagai media ekspresi. Jumlahnya pun tak banyak karena pangsa pasarnya pun tak jelas. “Biasanya komik macam ini diterbitkan dan disebarkan sendiri,” ujar Bambang.
Sekarang ini, komik indie tak hanya sebagai media ekspresi, tapi juga banyak dijadikan sebagai batu loncatan. “Jadi lama kelamaan arahnya pun sama dengan komik mainstream, stylenya macam itu juga,” jelas Bambang. Dari komunitas semacam ini, muncul nama-nama komikus terkemuka seperti Beng Rahardian dan Mail Sukribo.
Komunitas semacam ini pada akhirnya banyak yang lebih berorientasi komersil. Sindu Pradana, pegiat komunitas Katana (komunitas tanpa nama) mengatakan meski terbilang komunitasnya masih merintis, penghasilan dari komik memang bisa menutupi biaya kuliah, bahkan mampu menghidupi mereka. Kini komik karya Katana kerap tampil di majalah Ababil dan surat kabar Harian Jogja.
Sindu mengatakan kerisauannya perihal komik dalam negeri yang kurang dihargai. Nawank, pegiat Katana juga, mengiyakan. Sambil menunjuk selembar komik strip ukuran kertas A4, ia mengatakan di eropa komik seukuran itu dihargai 300 dolar atua sekitar 3 juta rupiah. “Tapi kalau di indonesia, dapat 100 ribu juga sudah bagus.”
Untuk inovasi, Sindu mengatakan sekarang komik bias diaplikasikan ke banyak media seperti sepatu, baju, dll, “Asal medianya bisa digambar,” katanya.
Untuk perkomikan secara umum, Bambang menyarankan sebaiknya prinsip-prinsip industri dijalankan. “Seperti komik doraemon itu. Ada filmnya, merchandisenya, sampai kaos dan iklan juga ada,” katanya. Dengan cara seperti itu, diharapkan komik indonesia lebih banyak dikenal.

Dimuat di Majalah Jogja Education edisi September-Oktober 2009

No comments:

Post a Comment