Meski tak segemilang
dulu, komik Indonesia mencoba bertahan dengan berbagai cara.
Bang Sahid dicekal
hansip! Konon ia perlu diamankan karena dicurigai sebagai teroris. “Kebangetan lu
pade, gue bukan teroris, kalau nuduh jangan ngasal!” dengan mata melotot, Bang
Sahid membela diri. Tapi apa mau dikata, hansip hanya menjalankan perintah,
“Pak RT yang bilang, Bang sahid ini bisa dicurigai!” bela salah satu hansip.
Pak RT pun muncul dan
mengatakan bukan seperti itu yang dikatakannya, “Saya bilang siapapun bisa
dicurigai, jangan diplintir doong…”, ujar Pak RT sambil menyilangkan jari
telunjuknya. Kali ini giliran hansip yang melotot tak terima, “Idiih… Pak RT gitu
sih! Orang kemaren Pak RT yang bilang begitu… pak RT sendiri yang suka
mlintir.” bela hansip. Sebelah tangannya berkacak pinggang.
Itulah cerita dalam
komik Lotif karya Beng Rahardian yang dimuat Koran Tempo setiap hari minggu. Sedikit
lucu namun sarat kritik social. Kali ini temanya Tukang Mlintir, menceritakan
seorang pejabat RT yang dengan seenaknya me”mlintir” ucapannya.
Selain Lotif,
komik-komik Indonesia yang bisa ditemui adalah Tekyan karya Yudi
Sulistya/M.Arief Budiman, Caroq karya Thoriq/Pe’ong, Panji Koming, Doyok, atau
Benny & Mice yang kerap mengisi halaman kompas edisi minggu. Meski
kuantitasnya tak sebanyak komik ala jepang, cerita bergambar karya komikus
Indonesia ini memberi warna cerah di tengah keterpurukan komik indonesia.
Dominasi Komik Impor
Masa kejayaan komik Indonesia berada pada era komik
bertemakan superhero dan tema-tema yang diadaptasi dari cerita pewayangan di
tahun 1950-1980an. Tema-tema superhero muncul akibat pengaruh komik amerika
dengan tokoh semacam Tarzan, Phantom atau Johnny Hazard yang kala itu kerap
menjadi suplemen di surat kabar lokal.
R.A Kosasih yang pertama kali membukukan komik perihal
cerita pahlawan wanita bernama Sri Asih. Selain
Sri Asih, karakter pahlawan super karya komikus Indonesia di antaranya adalah
Siti Gahara, Garuda Putih, atau Kapten Comet yang merupakan transformasi
karakter Superman dan Flash Gordon dengan selera local.
Tema-tema pewayangan mulai dilirik komikus Indonesia
ketika banyak muncul kritikan perihal adaptasi komik asing dalam komik
Indonesia. Lagi-lagi R.A Kosasih yang berjaya menyuguhkan epik Mahabharata
dalam bentuk cerita bergambar. Tak hanya di jawa, geliat komik dengan tema budaya
nasional marak juga di Sumatera. Komikus yang menyajikan cerita rakyat sumatera
yang pernah digemari tahun 1960 hingga 1970an itu di antaranya adalah Taguan
Hardjo, Djas dan Zam Nuldyn.
Perkomikan Indonesia kini memang tak secemerlang
masa kejayaannya. Komik-komik yang muncul dalam surat kabar atau majalah memang
kebanyakan karya komikus dalam negeri. Tapi komik dalam bentuk buku yang
merajai pasar Indonesia kini lebih banyak didominasi komik-komik impor,
terutama dari jepang dan amerika. Bahkan komik jepang punya style sendiri yang
disebut manga dan kini digemari banyak komikus muda Indonesia. Penerbit
Indonesia yang kerap menerbitkan manga adalah Elex Media Komputindo dan m&c
Comics.
Bambang Toko,
pengamat komik sekaligus dosen seni rupa ISI Yogyakarta, mengatakan penyebab
fenomena maraknya komik impor ini lebih karena masalah supply dan demand.
“Kalau penerbit menerbitkan komik pasti membicarakan industri dan untung-rugi.
Karena komik jepang laris di pasaran, maka akhirnya yang mereka produksi juga
komik semacam itu,” ujar Bambang. Selain itu, hak membeli edar komik jepang
lebih murah daripada komik amerika atau eropa, “Apalagi banyak penerbit
Indonesia yang bekerjasama langsung dengan penerbit jepang, contohnya Elex
Media Komputindo.” Maka tak heran bila komik Sinchan atau serial cantik lebih
mudah ditemui daripada Tintin atau Superman di pasaran.
Komik asli buatan komikus Indonesia tak banyak
ditemui di pasaran. Kalau pun ada, karakter komiknya banyak dipengaruhi style
manga. Beberapa situs yang memuat informasi seputar pembuatan manga semakin
banyak di internet seperti howtodrawmanga.com dan mangauniversity. Bahkan kebanyakan
komikus Indonesia beraliran ini memakai nama samaran yang bernuansa
kejepang-jepangan. Seperti Anthony Ann, Is Yuniarto atau Anzu Hizawa.
Komunitas Komik Indie: Idealisme VS Batu
Loncatan
Kesuksesan komikus indonesia di jajaran dunia
perkomikan, tak lepas dari peran komunitas komik yang membentuk mereka. Di
Yogyakarta, komunitas semacam ini banyak tumbuh dan berkembang. Sebut saja
Dagingtumbuh, Komikaze, ataupun Apotik Komik. Komunitas-komunitas ini dikenal
dengan label indie.
Awalnya mereka membuat komik sebagai media ekspresi.
Jumlahnya pun tak banyak karena pangsa pasarnya pun tak jelas. “Biasanya komik
macam ini diterbitkan dan disebarkan sendiri,” ujar Bambang.
Sekarang ini, komik indie tak hanya sebagai media
ekspresi, tapi juga banyak dijadikan sebagai batu loncatan. “Jadi lama kelamaan
arahnya pun sama dengan komik mainstream, stylenya macam itu juga,” jelas
Bambang. Dari komunitas semacam ini, muncul nama-nama komikus terkemuka seperti
Beng Rahardian dan Mail Sukribo.
Komunitas semacam ini pada akhirnya banyak yang lebih
berorientasi komersil. Sindu Pradana, pegiat komunitas Katana (komunitas tanpa
nama) mengatakan meski terbilang komunitasnya masih merintis, penghasilan dari
komik memang bisa menutupi biaya kuliah, bahkan mampu menghidupi mereka. Kini
komik karya Katana kerap tampil di majalah Ababil dan surat kabar Harian Jogja.
Sindu mengatakan kerisauannya perihal komik dalam
negeri yang kurang dihargai. Nawank, pegiat Katana juga, mengiyakan. Sambil
menunjuk selembar komik strip ukuran kertas A4, ia mengatakan di eropa komik
seukuran itu dihargai 300 dolar atua sekitar 3 juta rupiah. “Tapi kalau di
indonesia, dapat 100 ribu juga sudah bagus.”
Untuk inovasi, Sindu mengatakan sekarang komik bias
diaplikasikan ke banyak media seperti sepatu, baju, dll, “Asal medianya bisa
digambar,” katanya.
Untuk perkomikan
secara umum, Bambang menyarankan sebaiknya prinsip-prinsip industri dijalankan.
“Seperti komik doraemon itu. Ada filmnya, merchandisenya, sampai kaos dan iklan
juga ada,” katanya. Dengan cara seperti itu, diharapkan komik indonesia lebih banyak
dikenal.
Dimuat di Majalah Jogja Education edisi September-Oktober
2009
No comments:
Post a Comment