Thursday, August 23, 2012

Kecil-Kecil Jadi Dokter


Menjadi sarjana kedokteran di usia 17 tahun, tak heran bila kemudian Riana Helmi menjadi pusat perhatian. Kesuksesannya tak hanya digembar-gemborkan media lokal dan nasional, bahkan media luar negeri pun turut memberitakannya.
Media luar negeri yang memuat seputar kesuksesan Riana itu adalah surat kabar China. Riana mengetahuinya dari seorang teman. “Tidak merasa diwawancarai sama media luar sih,” ujar Riana pagi itu di tempat kostnya di daerah Sendowo, Sleman. Meski begitu, Riana tetap bangga kesuksesannya tersiar sampai ke negeri orang.
Sosok bertubuh mungil dan berkerudung yang lahir di Banda Aceh 22 Maret 1991 ini jelas saja patut dibanggakan. Dalam sejarah Indonesia, Rianalah yang pertama kali menyabet gelar sarjana kedokteran di usia semuda itu. Ia dinyatakan lulus dari Fakultas Kedokteran dengan IPK 3,67 pada 25 Februari 2009, tepat di usia  17 tahun 11 bulan.
Meski banyak orang terheran-heran, Riana malah merasa biasa saja. “Karena tidak ujug-ujug 17 tahun, kemudian jadi sarjana kedokteran. Dari awal sudah ada prosesnya, cuma proses saya memang lebih cepat,” terang Riana.
Di usia 4 tahun, Riana merengek minta sekolah. Karena jarak rumah dengan TK terlalu jauh, sang ibu, Rofiah Helmi, menitipkan Riana di SD terdekat. Meski awalnya hanya menjadi anak bawang di sekolah, namun Riana sudah lancar membaca dan menulis.
Memasuki usia 10 tahun, Riana yang sudah lulus SD meneruskan sekolah ke SMPN 1 dan SMAN 3 Sukabumi. Di kedua sekolah menengah itu Riana mengikuti kelas akselerasi, “jadi SMP dan SMA masing-masing hanya dua tahun,” jelas Riana.
Usia lebih muda tak menjadikan Riana kalah pintar dari teman sekelasnya. Buktinya, rangking pertama selalu Ia pegang dari SD sampai SMA, “hanya waktu kelas 1 SD semester pertama yang rangking dua, setelah itu sampai SMA rangking satu terus,” tutur Helmi, SH, ayah Riana yang kesehariannya mengajar di Sekolah Calon Perwira (SECAPA) POLRI.

Bingung Mengisi Formulir Kuliah
Masuk sekolah di usia muda dan proses sekolah menengah yang lebih cepat membuat Riana menyabet gelar mahasiswa termuda ketika memasuki dunia kampus. “Sebetulnya waktu mendaftarkan anak saya kuliah, ada ketakutan tidak ada sekolah yang menerima karena usianya baru 14 tahun. Jangan-jangan malah disuruh menunggu 2 tahun lagi,” papar Helmi. Perkiraan sang ayah melenceng, Riana diterima di Fakultas Kedokteran UGM tahun 2005 melalui jalur PBS (Penelusuran Bakat Skolastik) dan dinobatkan sebagai mahasiswa UGM termuda pada saat itu.
Ada yang lucu ketika proses pendaftaran kuliah. Waktu itu Riana sedang mengisi identitasnya di komputer. Ketika mengisi tahun kelahiran, Riana terdiam. Ia bingung melihat tak ada pilihan tahun yang sesuai dengan tahun kelahirannya. Pilihan tahun kelahiran yang ada di komputer hanya mulai tahun 1989.
Petugas pendaftaran heran, “waktu aku jelaskan tidak ada pilihan tahun karena lahir 1991, petugas malah kaget dan bilang kok bisa sampai di sini. Lalu aku jawab saja karena sudah tamat SMA,” kenang Riana sambil tersenyum.

Hobi Belajar Sedari Kecil
Meski proses pendidikannya terbilang cepat, namun proses belajar Riana sebetulnya lebih panjang. Jika teman-temannya hobi bermain, Riana yang sedari kecil bercita-cita dokter mengaku hobi belajar. “Enggak tahu kenapa, suka aja, akhirnya jadi kebiasaan,” ujar Riana.
Bahkan saat kecil, ketika teman seusianya sibuk bermain boneka, Riana lebih memilih belajar membaca. Waktu luang Riana lebih banyak diisi untuk belajar, “sebetulnya main juga, cuma mainnya mungkin sedikit, sementara yang lain banyak,” ujar Helmi menceritakan masa kecil anaknya. Riana mengiyakan, sampai saat kuliah pun Riana masih hobi belajar, “meski kadang main juga, ke mall juga kalau perlu, tapi lebih banyak belajarnya.”
Sang ayah bangga melihat kesuksesan anaknya. Ia mengatakan sebetulnya tak ada penanganan khusus untuk Riana, tapi Riana sendiri yang kepingin belajar. “Kesadaran belajar Riana tinggi. Ia sudah sadar sebelum disadarkan. Ibarat mengayuh biduk ke hilir, belum diayuh biduknya sudah berjalan kencang,” cerita Helmi. “Hanya saja sebagai orang tua, kami siaga membantu kalau anak sedang menghadapi masalah, agar Riana tetap fokus pada pelajaran,” tambah Helmi.
Kesadaran belajar yang tinggi itu mempermudah Riana menghadapi kuliah. Apalagi jurusan kedokteran terkenal dengan buku-buku tebal dan tugas bejibun. “Sebetulnya merasa susah, tapi yang penting dijalani saja,” ujarnya. Kerja keras Riana menuai hasil ketika kuliahnya selesai hanya dalam waktu 3 tahun 8 bulan.
Menanggapi fenomena anak muda sekarang yang lebih suka kongkow-kongkow daripada belajar, Riana mengomentari itu pilihan masing-masing. “Tergantung usaha dan kesenangan masing-masing. Kalau mau dapat banyak, ya harus usaha banyak. Kalau kepinginnya nyantai-nyantai, ya hasilnya juga sedikit,” ujar Riana yang juga kerap membaca buku-buku psikologi ini.
Riana kini sibuk menjalani KoAs. Untuk membaca, Ia merasa sudah tak punya banyak waktu luang. Maka Riana menyarankan selagi mahasiswa sebaiknya manfaatkan waktu untuk belajar, “mumpung masih kuliah, masih banyak waktu untuk belajar.” Kalau sudah KoAs, ujar Riana, mau belajar saja susah, “sedikit banget waktu luangnya. Jadi sebaiknya mantapkan dulu teorinya selagi kuliah.”

Prihatin Kondisi Kesehatan Indonesia
Melihat kondisi kesehatan di Indonesia, Riana prihatin terhadap rendahnya kesadaran dan kepedulian masyarakat untuk memeriksakan diri ke dokter. Skripsi yang ia angkat mengenai terapi kanker payudara. “Kanker payudara dan kanker leher rahim banyak terjadi di Indonesia. Sebetulnya kanker leher rahim lebih bisa dicegah, karena kalau kanker payudara itu lebih ke masalah genetika jadi agak sulit dicegah,” tutur Riana. Ia menambahkan seharusnya yang lebih bisa dicegah itu yang lebih banyak diinformasikan, “untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar memeriksakan diri ke dokter.”
Untuk masyarakat yang tinggal di pelosok, menurut Riana sebetulnya informasi sudah banyak disampaikan, “cuma kadang ada stigma yang membuat masyarakat urung memeriksakan diri. Masyarakat melihat penyakit itu takdir dan tak perlu dicegah,” tuturnya prihatin. “Padahal untuk kanker leher rahim sekarang sudah ada fasilitas pemeriksaan di puskesmas-pukesmas,” tambahnya.
Untuk ke depannya, Riana ingin mendalami spesialis kandungan, “rencana terdekat belum tahu mau ambil spesialis atau kerja dulu, tapi memang ada rencana untuk ambil spesialis kandungan,” ujar Riana tersenyum.


Dimuat di Majalah Jogja Education Edisi Agustus-September 2009

No comments:

Post a Comment