Indonesia akan partisipasi aktif COP-1 merkuri
Setelah UU Konvensi Minamat diundangkan, Indonesia bisa
langsung merativikasi konvensi
Hayati Nupus
JAKARTA
Indonesia akan berperan aktif pada Conference of the Parties
(COP) ke-1 mengenai merkuri. Konferensi ini akan diselenggarakan 24-29
September mendatang di Jenewa, Swiss dan akan dihadiri sekitar 1.000 peserta
dari 120 negara.
Seperti yang dikatakan Plt Dirjen pengelolaan Sampah, Limbah
dan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK) Karliansyah, DPR telah mengesahkan RUU tentang Pengesahan Konvensi
Minamata Mengenai Merkuri Rabu lalu, dan saat ini pihaknya tengah menunggu RUU
tersebut diundangkan.
“Setelah diundangkan, Kementerian Luar Negeri akan melakukan
penyerahan berkas kepada Sekjen PBB agar Indonesia tercatat sebagai anggota
yang sah dalam Konvensi Minamata,” ujarnya, Kamis, di Jakarta.
Dengan ratifikasi ini, tambah Karliansyah, Indonesia memiliki
hak memberikan suara, baik di tingkat regional maupun internasional.
Konvensi ini berdasarkan kasus limbah merkuri perusahaan pupuk
Chisso Chemical Corporation yang mencemari Teluk Minamata, Jepang, pada 1950
dan mengakibatkan ratusan ribu penduduk menderita gangguan kesehatan.
Sebanyak 128 negara telah meneken konvensi ini di Kumamoto,
Jepang, 10 Oktober 2013 lalu, termasuk Indonesia. Namun konvensi baru berlaku
setelah minimal 50 negara merativikasi.
“Ratifikasi konvensi ini penting. Setiap warga negara
Indonesia berhak mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat, sesuai amanat
konstitusi,” ujar Karliansyah.
Staf Ahli Menteri LHK Bidang Evaluasi Kebijakan Kerja sama
Luar Negeri Arief Yuwono mengatakan Konvensi Minamata mulai berlaku sejak 16
Agustus 2017, atau 90 hari setelah 50 negara anggota meratifikasi pada 18 Mei
2017 lalu.
“Indonesia akan menjadi negara ke-76 yang meratifikasi
Konvensi Minamata,” ujarnya.
Di Indonesia, pencemaran merkuri sebagian besar terjadi pada
pertambangan emas skala kecil (PESK). Saat ini terdapat 850 kawasan PESK yang
tersebar di 197 kota/kabupaten di 32 provinsi, dengan jumlah penambang lebih
dari 250 ribu orang.
Direktur Pengelolaan B3 KLHK Yun Insiani mengatakan pihaknya
telah memiliki sejumlah rencana aksi pasca rativikasi nanti. Yaitu
penyempurnaan Peraturan Pemerintah nomor 74/2001 tentang Pengelolaan B3,
termasuk tata niaga merkurinya.
“Tata niaga harus segera diatur, supaya peredaran merkuri
ilegal bisa kita hentikan,” katanya, kepada Anadolu Agency Jumat.
KLHK juga akan memperbaiki tata kelola hutan karena banyak
tambang rakyat di hutan lindung dan daerah konservasi, sekaligus membuat pilot
project untuk mendampingi penambang dengan teknologi ramah lingkungan.
Sementara Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan
Perikanan (KIARA) Susan Herawati mengatakan pengesahan RUU dan keterlibatan
aktif Indonesia dalam COP bisa menjadi
peluang baik dalam memperbaiki mekanisme dumping limbah ke laut.
“Harusnya malah dari dulu, karena masih ada pola pikir buruk
tentang laut sebagai tempat sampah besar bagi limbah-limbah perusahaan atau
rumah tangga,” ujar Susan, Jumat, kepada Anadolu Agency.
Kebijakan ini, kata Susan, akan berdampak baik karena
berpotensi menghapus tradisi membuang sampah ke laut dan perbaikan ekosistem
pesisir.
Meski begitu, kata Susan,”Dampak ini baru bisa dirasakan kalau
kebijakan ini benar-benar diimplementasikan.”
Indonesia, kata Susan, belum memiliki data perusahaan mana
saja yang telah melakukan pembuangan limbah ke laut.
Susan melihat perlunya sinergi semua aktor yang memiliki peran
strategis dalam dumping limbah. Misalnya KLHK, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
dan Badan Keamanan Laut, juga melibatkan masyarakat.
“Masyarakat memiliki mekanisme kontrol dan monitoring atas
lautnya sendiri,” kata Susan.
No comments:
Post a Comment