Monday, September 18, 2017

Polemik remisi 20 bulan Aman Abdurrahman

Polemik remisi 20 bulan Aman Abdurrahman

Perlu perbaikan sistem insentif dan disinsentif yang baik di dalam Lapas

Aman Abdurrahman alias Abu Sulaiman melenggang keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Pasir Putih, Nusakambangan, Jawa Tengah, Minggu (13/8). Masa tahanannya habis setelah memperoleh remisi 5 bulan pada Peringatan HUT RI ke-72 tahun ini.

Sejak Maret 2010, pemilik nama asli Oman Rochman ini dicokok Densus Antiteror 88 di kediamannya di Sumedang. Ia divonis 9 tahun penjara atas keterlibatannya dalam pelatihan terorisme bersenjata di Gunung Janto, Aceh, tahun 2009.

Di Nusakambangan, dari 184 narapidana, 15 di antaranya adalah narapidana terorisme. Aman ditempatkan di blok khusus terorisme.

Berkat total remisi 20 bulan yang diperoleh selama masa tahanan, Aman yang seharusnya bebas Maret 2019 mendatang, lantas bisa menghirup udara segar lebih cepat.

“Ini preseden buruk bagi program pembinaan napi terorisme di Lapas. Aman tidak pantas dapat remisi,” ujar pengamat terorisme UI Solahuddin.

Sejak awal masuk Lapas Nusakambangan, Aman dikenal tidak kooperatif. Ia memiliki sederet catatan buruk di dalam Lapas. Tak mau ikut program deradikalisasi di dalam Lapas, mengkafirkan petugas, bahkan terlibat perencanaan teror dari balik jeruji.

Syarat narapidana terorisme peroleh remisi, seperti disebutkan dalam Pasal 34 ayat 3 PP 28/2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, adalah berkelakuan baik dan telah menjalani sepertiga masa pidana.

“Tidak kooperatif dan tidak berkelakuan baik begini kok dapat remisi?” tanya Solah.

Sementara Umar Patek tak memperoleh remisi sama sekali. Pelaku bom Bali I yang dipidana di Lapas Porong ini tercatat kooperatif, bahkan menjadi pengibar bendera merah putih pada HUT RI ke-72 lalu.

“Yang kooperatif malah tidak mendapatkan insentif. Negara tidak menghargai itu,” kata Solah.

Solah menengarai, persoalan bersumber dari sistem insentif dan disintensif di Lapas tidak berjalan baik. Sehingga narapidana tidak kooperatif memperoleh remisi dan yang kooperatif justru tidak.

Kondisi ini, kata Solah, akan membuat proses pembinaan narapidana terorisme di Lapas menjadi sulit.

“Bahkan sekarang muncul tertawaan pada Umar Patek, untuk apa kooperatif kalau tidak dapat insentif. Ini bahaya, dengan keputusan remisi Aman, mulai ada gejolak di kalangan narapidana terorisme yang sangat kooperatif,” Solah khawatir.

Solah menegaskan harus ada perbaikan sistem insentif dan disinsentif yang baik di dalam Lapas, berdasarkan assessment terhadap setiap narapidana terorisme.

“Sesuai dengan PP 28/2006, kalau yang berkelakuan baik dapat remisi. Begitu juga sebaliknya,” ujarnya.

Sementara itu, Kasubag Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Syarpani, mengatakan berdasarkan catatan Lapas Nusakambangan, Aman justru berkelakuan baik.

“Oman aktif di kegiatan keagamaan, koperatif. Selama ini tidak melanggar tata tertib. Tidak ada yang membatasi kita untuk memberikan haknya, salah satunya memperoleh remisi,” ujarnya, kepada Anadolu Agency.

Meski menolak program deradikalisasi, kata Syarpani, ulah Aman tak berpengaruh terhadap masa tahanan. Persyaratan ikut program deradikalisasi tertuang dalam Pasal 34A PP 99/2012.

“Vonisnya sebelum PP 99/2012 terbit, jadi ia tidak termasuk dalam kriteria narapidana terorisme wajib ikut deradikalisasi,” ujarnya.

Sementara Umar Patek divonis 20 tahun penjara pada 21 Juni 2012. Meski turut mengibarkan bendera merah putih pada HUT RI ke-72 lalu, Umar belum melewati sepertiga masa tahanan.

“Umar Patek belum layak dapat remisi,” katanya.

Meski resmi bebas dari Lapas Nusakambangan, Aman belum bisa kembali ke rumahnya di Sumedang. Densus 88 Antiteror memboyongnya ke Jakarta untuk pemeriksaan atas sejumlah aksi teror bom.

Saat ini, terdapat 200-an narapidana terorisme di seluruh Indonesia. Sejumlah 35 di antaranya memperoleh remisi pada HUT RI ke-72 lalu. Selain Aman, mereka adalah Sukardi Bin Ramlan, Ansar Apriadi bin Anwar Asis Manggong, Agus Abdillah bin Rojhi (almarhum) dan Moh Thorik bin Sukara (almarhum). Sedang Abu Bakar Baasyir memperoleh remisi dan masih mendekam di Lapas Gunung Sindur.


Rekam jejak Aman ikon Daesh Indonesia
Aman Abdurrahman adalah ikon al-Dawla al-Islamiya al-Iraq al-Sham (Daesh) Indonesia. Memiliki nama asli Oman Rochman, ayah 4 anak ini lahir di Cimalaka, Sumedang, 5 Januari 1972.

Mengenyam pendidikan dasar di tanah kelahirannya, lantas melanjutkan ke Lembaga Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) Jakarta, yang merupakan cabang Universitas Muhammad Ibnu Su’ud, Arab Saudi.

Lulus dari LIPIA tahun 1999, lantas ustadz salafi ini mengajar di almamaternya. Sambil beraktivitas sebagai Koordinator Dai Robithoh ‘Alam Al-Islamiyan dan Haiah Ighotsah Islamiyyah cabang Indonesia yang berpusat di Saudi Arabia. Bersamaan dengan itu, ia juga melanjutkan studinya di kampus yang sama hingga memperoleh gelar Lc.

Aman, ujar Solah, mulanya penganut salafi biasa. Rajin berdakwah tanpa embel-embel gerakan radikal apalagi bom bunuh diri. Tahun 2002 ia terpapar pemahaman radikal lewat internet.

“Pemikirannya sangat terpengaruh ulama wahabi ekstrem, terutama wahabi generasi kedua. Sangat takfiri, mudah memberikan vonis kafir,” ujar Solah.

Karena menyebarkan ajaran radikal, Aman dipecat sejumlah lembaga. Ia dicopot dari posisi dosen di Akademi Dakwah Islam Leuwiliang, Bogor. Ia juga diminta mengundurkan diri sebagai penceramah dan imam masjid Yayasan Al Shofwa As-Salafiya Lenteng Agung, Jakarta Selatan.

Tak berhenti sampai di situ, Aman kemudian merintis jamaah sendiri di Cimanggis, Depok Jawa Barat. Di Cimanggis, ia menyebarkan ajaran radikalnya dan mengadakan pelatihan militer, salah satunya pelatihan merangkai bom.

Bom tersebut meledak di Cimanggis tahun 2004. Aman ditangkap Densus 88 Antiteror dan dijebloskan ke penjara dengan vonis 7 tahun.

Aman ditahan di sejumlah tempat. Dari jeruji besi di Polda Metro Jaya, ia kemudian dipindahkan ke Lapas Paledang, Bogor, Lapas Karawang, Lapas Sukamiskin, Bandung, hingga ke Lapas Cirebon, Jawa Barat.

Baru 4 tahun ditahan, Aman resmi bebas dari Lapas Cirebon pada penghujung 2008.

Tak lama menghirup udara merdeka, ia lantas ditangkap kembali Maret 2010 karena keterlibatannya dalam pelatihan terorisme bersenjata di Gunung Janto, Aceh, tahun 2009.

Sama seperti sebelumnya, pada penahanan kedua ini Aman juga digeser ke sejumlah tempat. Dari Rutan Mako Brimob, Depok, ia dipindahkan ke Rutan Reskrimum Polda Metro Jaya, Rutan Narkoba Polda Metro Jaya, kamar isolasi Rutan Narkoba Polda Metro Jaya, kamar isolasi Rutan Polres Jakarta Barat, Blok Khusus Lapas Cipinang, Jakarta Timur, Lapas Salemba, hingga ke Lapas Kembang Kuning, Nusakambangan, Jawa Tengah.

Tahun 2015 Aman mendirikan dan memimpin Jamaah Anshorut Daulah (JAD). Saat itu ia masih tinggal di dalam Lapas.

JAD disebut-sebut terlibat dalam bom Thamrin dan bom panci Kampung Melayu, juga pengiriman anggota JAD ke Marawi Filipina.

“Salah satu perekrut bom Thamrin dapat perintah Aman ketika membesuk di Lapas Kembang Kuning, Nusakambangan,” ujar Solah.

Penghujung 2015, Aman berfatwa kepada pengikutnya, jika tak bisa hijrah ke Syiria, maka perlawanan itu bisa dilakukan di negeri sendiri. Saat itu migrasi dari Indonesia ke Syiria sudah sulit dilakukan, pemerintah gencar menutup akses itu.

No comments:

Post a Comment