Polemik
remisi 20 bulan Aman Abdurrahman
Perlu
perbaikan sistem insentif dan disinsentif yang baik di dalam Lapas
Aman
Abdurrahman alias Abu Sulaiman melenggang keluar dari Lembaga Pemasyarakatan
Pasir Putih, Nusakambangan, Jawa Tengah, Minggu (13/8). Masa tahanannya habis
setelah memperoleh remisi 5 bulan pada Peringatan HUT RI ke-72 tahun ini.
Sejak
Maret 2010, pemilik nama asli Oman Rochman ini dicokok Densus Antiteror 88 di
kediamannya di Sumedang. Ia divonis 9 tahun penjara atas keterlibatannya dalam
pelatihan terorisme bersenjata di Gunung Janto, Aceh, tahun 2009.
Di
Nusakambangan, dari 184 narapidana, 15 di antaranya adalah narapidana
terorisme. Aman ditempatkan di blok khusus terorisme.
Berkat
total remisi 20 bulan yang diperoleh selama masa tahanan, Aman yang seharusnya
bebas Maret 2019 mendatang, lantas bisa menghirup udara segar lebih cepat.
“Ini
preseden buruk bagi program pembinaan napi terorisme di Lapas. Aman tidak
pantas dapat remisi,” ujar pengamat terorisme UI Solahuddin.
Sejak
awal masuk Lapas Nusakambangan, Aman dikenal tidak kooperatif. Ia memiliki
sederet catatan buruk di dalam Lapas. Tak mau ikut program deradikalisasi di
dalam Lapas, mengkafirkan petugas, bahkan terlibat perencanaan teror dari balik
jeruji.
Syarat
narapidana terorisme peroleh remisi, seperti disebutkan dalam Pasal 34 ayat 3
PP 28/2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan, adalah berkelakuan baik dan telah menjalani sepertiga masa
pidana.
“Tidak
kooperatif dan tidak berkelakuan baik begini kok dapat remisi?” tanya Solah.
Sementara
Umar Patek tak memperoleh remisi sama sekali. Pelaku bom Bali I yang dipidana
di Lapas Porong ini tercatat kooperatif, bahkan menjadi pengibar bendera merah
putih pada HUT RI ke-72 lalu.
“Yang
kooperatif malah tidak mendapatkan insentif. Negara tidak menghargai itu,” kata
Solah.
Solah
menengarai, persoalan bersumber dari sistem insentif dan disintensif di Lapas
tidak berjalan baik. Sehingga narapidana tidak kooperatif memperoleh remisi dan
yang kooperatif justru tidak.
Kondisi
ini, kata Solah, akan membuat proses pembinaan narapidana terorisme di Lapas
menjadi sulit.
“Bahkan
sekarang muncul tertawaan pada Umar Patek, untuk apa kooperatif kalau tidak
dapat insentif. Ini bahaya, dengan keputusan remisi Aman, mulai ada gejolak di
kalangan narapidana terorisme yang sangat kooperatif,” Solah khawatir.
Solah
menegaskan harus ada perbaikan sistem insentif dan disinsentif yang baik di
dalam Lapas, berdasarkan assessment terhadap setiap narapidana terorisme.
“Sesuai
dengan PP 28/2006, kalau yang berkelakuan baik dapat remisi. Begitu juga
sebaliknya,” ujarnya.
Sementara
itu, Kasubag Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Syarpani, mengatakan
berdasarkan catatan Lapas Nusakambangan, Aman justru berkelakuan baik.
“Oman
aktif di kegiatan keagamaan, koperatif. Selama ini tidak melanggar tata tertib.
Tidak ada yang membatasi kita untuk memberikan haknya, salah satunya memperoleh
remisi,” ujarnya, kepada Anadolu Agency.
Meski
menolak program deradikalisasi, kata Syarpani, ulah Aman tak berpengaruh
terhadap masa tahanan. Persyaratan ikut program deradikalisasi tertuang dalam
Pasal 34A PP 99/2012.
“Vonisnya
sebelum PP 99/2012 terbit, jadi ia tidak termasuk dalam kriteria narapidana
terorisme wajib ikut deradikalisasi,” ujarnya.
Sementara
Umar Patek divonis 20 tahun penjara pada 21 Juni 2012. Meski turut mengibarkan
bendera merah putih pada HUT RI ke-72 lalu, Umar belum melewati sepertiga masa
tahanan.
“Umar
Patek belum layak dapat remisi,” katanya.
Meski
resmi bebas dari Lapas Nusakambangan, Aman belum bisa kembali ke rumahnya di
Sumedang. Densus 88 Antiteror memboyongnya ke Jakarta untuk pemeriksaan atas
sejumlah aksi teror bom.
Saat
ini, terdapat 200-an narapidana terorisme di seluruh Indonesia. Sejumlah 35 di
antaranya memperoleh remisi pada HUT RI ke-72 lalu. Selain Aman, mereka
adalah Sukardi Bin Ramlan, Ansar Apriadi bin Anwar Asis Manggong, Agus Abdillah
bin Rojhi (almarhum) dan Moh Thorik bin Sukara (almarhum). Sedang Abu Bakar
Baasyir memperoleh remisi dan masih mendekam di Lapas Gunung Sindur.
Rekam
jejak Aman ikon Daesh Indonesia
Aman
Abdurrahman adalah ikon al-Dawla al-Islamiya al-Iraq al-Sham
(Daesh) Indonesia. Memiliki nama asli Oman Rochman, ayah 4 anak ini lahir
di Cimalaka, Sumedang, 5 Januari 1972.
Mengenyam
pendidikan dasar di tanah kelahirannya, lantas melanjutkan ke Lembaga
Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) Jakarta, yang merupakan cabang Universitas
Muhammad Ibnu Su’ud, Arab Saudi.
Lulus
dari LIPIA tahun 1999, lantas ustadz salafi ini mengajar di almamaternya.
Sambil beraktivitas sebagai Koordinator Dai Robithoh ‘Alam Al-Islamiyan dan
Haiah Ighotsah Islamiyyah cabang Indonesia yang berpusat di Saudi Arabia.
Bersamaan dengan itu, ia juga melanjutkan studinya di kampus yang sama hingga
memperoleh gelar Lc.
Aman,
ujar Solah, mulanya penganut salafi biasa. Rajin berdakwah tanpa embel-embel
gerakan radikal apalagi bom bunuh diri. Tahun 2002 ia terpapar pemahaman
radikal lewat internet.
“Pemikirannya
sangat terpengaruh ulama wahabi ekstrem, terutama wahabi generasi kedua. Sangat
takfiri, mudah memberikan vonis kafir,” ujar Solah.
Karena
menyebarkan ajaran radikal, Aman dipecat sejumlah lembaga. Ia dicopot dari
posisi dosen di Akademi Dakwah Islam Leuwiliang, Bogor. Ia juga diminta
mengundurkan diri sebagai penceramah dan imam masjid Yayasan Al Shofwa
As-Salafiya Lenteng Agung, Jakarta Selatan.
Tak
berhenti sampai di situ, Aman kemudian merintis jamaah sendiri di Cimanggis,
Depok Jawa Barat. Di Cimanggis, ia menyebarkan ajaran radikalnya dan mengadakan
pelatihan militer, salah satunya pelatihan merangkai bom.
Bom
tersebut meledak di Cimanggis tahun 2004. Aman ditangkap Densus 88 Antiteror
dan dijebloskan ke penjara dengan vonis 7 tahun.
Aman
ditahan di sejumlah tempat. Dari jeruji besi di Polda Metro Jaya, ia kemudian
dipindahkan ke Lapas Paledang, Bogor, Lapas Karawang, Lapas Sukamiskin,
Bandung, hingga ke Lapas Cirebon, Jawa Barat.
Baru 4
tahun ditahan, Aman resmi bebas dari Lapas Cirebon pada penghujung 2008.
Tak
lama menghirup udara merdeka, ia lantas ditangkap kembali Maret 2010 karena
keterlibatannya dalam pelatihan terorisme bersenjata di Gunung Janto, Aceh,
tahun 2009.
Sama
seperti sebelumnya, pada penahanan kedua ini Aman juga digeser ke sejumlah
tempat. Dari Rutan Mako Brimob, Depok, ia dipindahkan ke Rutan Reskrimum Polda
Metro Jaya, Rutan Narkoba Polda Metro Jaya, kamar isolasi Rutan Narkoba Polda
Metro Jaya, kamar isolasi Rutan Polres Jakarta Barat, Blok Khusus Lapas Cipinang,
Jakarta Timur, Lapas Salemba, hingga ke Lapas Kembang Kuning, Nusakambangan,
Jawa Tengah.
Tahun
2015 Aman mendirikan dan memimpin Jamaah Anshorut Daulah (JAD). Saat itu ia
masih tinggal di dalam Lapas.
JAD
disebut-sebut terlibat dalam bom Thamrin dan bom panci Kampung Melayu, juga
pengiriman anggota JAD ke Marawi Filipina.
“Salah
satu perekrut bom Thamrin dapat perintah Aman ketika membesuk di Lapas Kembang
Kuning, Nusakambangan,” ujar Solah.
Penghujung
2015, Aman berfatwa kepada pengikutnya, jika tak bisa hijrah ke Syiria, maka
perlawanan itu bisa dilakukan di negeri sendiri. Saat itu migrasi dari
Indonesia ke Syiria sudah sulit dilakukan, pemerintah gencar menutup akses itu.
No comments:
Post a Comment