Pemerintah akan melanjutkan izin reklamasi Teluk Jakarta.
Seperti yang dikatakan Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut
Pandjaitan, 11 persyaratan reklamasi Pulau C dan D yang diminta Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah dipenuhi.
Sedang persyaratan serupa milik Pulau G tengah melalui tahap
finalisasi.
“Kita berharap pekan depan selesai, sehingga taka da lagi
alasan untuk tidak memperbolehkan proses di sana,” kata Menteri Luhut, Rabu,
dalam pertemuan dengan wartawan di Jakarta.
Pemerintah Daerah, kata Luhut, akan memperoleh dana 15 persen
dari reklamasi atau senilai Rp77,8 triliun. Dana ini akan digunakan untuk
membangun Giant Sea Wall yang sudah direncanakan sejak lama.
“Kalau ditunda, penurunan tanah Jakarta akan terus berlanjut,”
katanya.
Ketua Komunitas Nelayan Tradisional (KNT) Iwan Carmidi mengaku
kecewa dengan keputusan pemerintah. Selama ini para nelayan tertib aturan,
mengikuti proses gugatan hukum di Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara (PTUN).
“Kami tertib mempertahankan hak kami, sementara pemerintah
terus memperburuk nasib para nelayan,” kata, Kamis, kepada Anadolu Agency.
Segala jenis ikan dan biota laut lainnya, kata iwan, berkumpul
dan beranak pinak di Teluk Jakarta.
Reklamasi tak hanya merusak lingkungan, tapi sekaligus
memberangus penghidupan nelayan setempat. Biota laut sumber penghidupan nelayan
hilang, ribuan budidaya kerang yang dilakukan di Teluk Jakarta hanya bersisa
beberapa saja.
Penghasilan nelayan yang mulanya menurun 80 persen, sejak
massifnya reklamasi, menjadi turun drastis hingga 30 persen.
Jika harus mengayuh dayung lebih jauh, demi mengejar sumber
penghasilan, nelayan tak sanggup karena peralatan terbatas.
“Saya tidak tahu harus bagaimana lagi,” katanya.
Sementara itu Pakar Oseanografi Institut Pertanian Bogor (IPB)
Alan Frendy Koropitan mengatakan berdasarkan sejumlah kajian, reklamasi Teluk
Jakarta tidak layak secara lingkungan dan sosial.
Kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) awal
2017 menyimpulkan konsep reklamasi yang selama ini ada belum mempertimbangkan
asas manfaat dan keadilan social. Kajian tersebut memberi rekomendasi teknis
soal regulasi kelembagaan, kerangka investasi, aspek lingkungan, hingga
perencanaan tata ruang dan wilayah.
“Sementara Perda Zoonasi yang mengatur perencanaan tata ruang
dan wilayah tersebut hingga saat ini belum diketok,” kata Alan.
Sementara hasil kajian Kementerian Kelautan dan Perikanan
(KKP) bersama dengan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) menyimpulkan bahwa
reklamasi belum bisa dilanjutkan karena tak memiliki AMDAL dan berdampak buruk
bagi lingkungan.
Membicarakan reklamasi Teluk Jakarta, kata Alan, artinya
menyoal ke-17 pulau yang akan berdiri di pantai utara Jakarta, tak hanya
beberapa pulau yang sudah dibangun.
Alan memetakan 3 dampak buruk reklamasi Teluk Jakarta.
Pertama, sedimentasi 13 sungai akan meningkat karena pola arus terhalang dan
terjadi perlambatan kecepatan arus. Kecepatan laju sendimentasi diperkirakan
50-60 cm per tahun.
“Enam tahun saja, sedimentasi sungai akan sampai lebih dari 3
meter. Mau jadi apa Jakarta nanti,” katanya, Kamis, kepada Anadolu Agency.
Kedua, dengan lambatnya arus dan sedimentasi itu, sampah
organik akan terkumpul di hilir sungai.
“Sehingga perairan busuk, sekarang saja di hilir sungai di
utara Jakarta sudah bau,” katanya.
Ketiga, tak hanya sampah organik, logam berat hasil limbah
industri akan terakumulasi di hilir sungai.
Dengan ketiga dampak itu, masyarakat Jakarta akan kena
tulahnya, terutama masyarakat pesisir.
Sejak lama masyarakat pesisir yang berprofesi nelayan
berteriak soal hilangnya daerah tangkapan dan menurunnya jumlah penghasilan.
Reklamasi di Teluk Jakarta sebetulnya bukan kali pertama
terjadi. Pada 1980-an, PT Harapan Indah mereklamasi sekitar 400 meter kawasan
Pantai Pluit untuk membangun perumahan mewah Pantai Mutiara.
Pada 1081, PT Pembangunan Jaya Ancol mereklamasi sebelah utara
kawasan Ancol untuk rekreasi dan industri.
Tahun 1990-an, hutan bakau Kapuk dialih fungsikan menjadi
pemukiman mewah Pantai Indah Kapuk.
Sementara tahun 1995, reklamasi di Teluk Jakarta kembali
dilakukan untuk membangun industri Kawasan Berikat Marunda.
Keempat reklamasi itu menuai perdebatan, sejumlah pihak
mengatakan reklamasi ini mengganggu system PLTU Muara Karang.
“Cuma pada jaman itu kebebasan berekspresi tak seperti
sekarang. Tak ada yang berani bersuara kencang,” kata Alan.
Peraturan Presiden Nomor 122 tahun 2012 tentang Reklamasi di
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil mengatur dengan jelas bahwa reklamasi
harus terintegrasi dengan tata ruang dan KLHS.
Meski juga Keputusan Presiden nomor 52 tahun 1995 tentang
Reklamasi Pantai Utara Jakarta Pasal 4 menyebutkan wewenang dan tanggung jawab
reklamasi Pantura berada pada Gubernur DKI.
Toh, reklamasi yang dikonsep sejak jaman Soeharto sudah
terjadi. Setidaknya, kata Alan, pemerintah membuat kajian alternatif yang bisa
menghasilkan jalan tengah dan tidak merugikan dari segi keadilan sosial,
lingkungan, maupun ekonomi.
“Misalnya desainnya dirubah, yang lebih ramah lingkungan. Atau
diukur maksimal berapa pulau atau berapa hektar yang dianggap layak dilakukan.
Tapi itu kembali ke niat baik pemerintah.,” katanya.
No comments:
Post a Comment