Monday, September 18, 2017

Masriyah Amva: Inspirator dari Pesantren Kebon Jambu




Di tangan Masriyah Amva, Pesantren Kebon Jambu melesat jauh. Santri yang mulanya hanya 350 orang, kini berlipat menjadi 1400.
Pesantren Kebon Jambu, Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat, guncang saat Kyai Muhammad meninggal dunia pada 2006 lalu.
Pesantren ini kehilangan sosok laki-laki pemimpin, sementara tak ada laki-laki berikutnya yang bisa menjadi pengganti. Sementara ada 350 santri yang perlu melanjutkan pendidikannya di pesantren ini.
Hari di saat Kyai Muhammad meninggal, 7 orang santri langsung angkat kaki. Tak adanya penerus laki-laki membuat mereka berpandangan bahwa pesantren ini tak lagi memiliki masa depan.
Tak berapa lama selepas itu, sekitar 250 santri lainnya menyusul pergi. Begitu pula sejumlah pengajar. Pesantren Kebon Jambu, terancam terpuruk dan tutup.
“Waktu itu hidup saya serasa mau runtuh. Orang-orang mengatakan pesantren akan bubar. Saya takut mereka akan meninggalkan saya, tamu tak datang, santri pulang, sementara saya sebagai perempuan masih diabaikan,” kenang Masriyah, 56 tahun, istri Kyai Muhammad, kepada Anadolu Agency.
Didirikan sejak 1993 oleh Masriyah Amva dan Kyai Muhammad, Pesantren Kebon Jambu berlokasi di wilayah perkebunan jambu milik ayah Masriyah.
Mulanya Kyai Muhammad adalah pengasuh pesantren Kebon Melati, Cirebon. Setelah menikah dengan Masriyah, keduanya merintis Pesantren Kebon Jambu bersama.
Di tengah himpitan budaya patriarki yang kental, sepeninggal suaminya, Masriyah mencoba bertahan. Dalam kegamangan, ia mencoba maju berdiri menggantikan suaminya memimpin pesantren.
Upaya itu tak mudah. Masriyah memperoleh hujatan dari warga, bahkan dari ulama setempat. Mereka menyebut bahwa perempuan tak layak menjadi pemimpin. 
Saat mengisi ceramah di masjid, Masriyah dicerca. Ia dilarang mengisi ceramah yang pesertanya tak hanya perempuan, tapi juga laki-laki.
“Awalnya saya sama sekali tak dipandang. Saya tidak peduli. Pesantren ini harus hidup,” katanya.
Masriyah sempat berpikir untuk mencari sosok laki-laki pengganti suaminya, sosok ulama yang akan memimpin pesantren ini. Namun pencarian itu pun bukan perkara mudah. Ia tak menemukan sosok laki-laki berkharisma tanpa istri. 
Di tengah kegamangan itu, Masriyah mencurahkan isi hatinya dalam doa. Kepada Tuhan, ia mengadu sekaligus memohon solusi terbaik atas segala persoalan di pesantrennya. Ia menyerahkan segala hidup dan kepercayaannya kepada Yang Maha Kuasa.
Pada titik itu, ia menemukan seberkas cahaya. Secercah keyakinan bahwa tak selayaknya ia bergantung pada manusia, melainkan pada Tuhan. 
 “Bukan lelaki yang membuat perempuan hidup dan berjaya. Tapi Allahlah yang membuat para perempuan, termasuk lelaki hidup dan mulia, berjaya dan bercahaya adalah juga karena anugerah-Nya,” katanya.
Masriyah menungkan segala keluh kesahnya, juga cintanya kepada Tuhan lewat puisi dan sederet buku.
Hari ini kuangkat Engkau sebagai Kekasih
Hari ini kuangkat Engkau sebagai pendamping
Dan aku berani membuktikan
Bahwa aku akan hidup lebih baik dari sebelumnya
Dan aku berani membuktikan
Bahwa Engkaulah yang terbaik yang aku miliki
Pikiran itu memberinya kekuatan untuk maju, menerabas batas-batas budaya patriarki. Menumbuhkan kepercayaan diri yang sempat hancur lebur.
“Sejak itu saya hidup bersama Tuhan. Tuhanlah yang mendampingi saya memimpin pesantren ini. Saya lakukan apa yang saya mampu, meyakinkan santri yang ada, bahwa ada pengganti yang lebih baik, yaitu Tuhan, yang akan menjadikan pesantren ini lebih baik lagi,” katanya.
Upaya itu menuai nyata. Sejumlah santri berdatangan menuntut ilmu ke pesantren itu. 
Pesantren Kebon Jambu yang mulanya hanya pesantren kalong, lantas membuka sekolah formal setingkat sekolah dasar, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah. Pesantren ini juga membuka tahfidzul Quran.
Kini banyak orang tua mempercayakan pendidikan anaknya di pesantren yang Masriyah pimpin. Tercatat sekitar 1400 santri belajar di Pesantren Kebon Jambu. 
Tahun ini, jumlah pendaftaran santri baru membludak. Jika biasanya hanya 450 pendaftar, kini angka itu naik menjadi 600an.
“Kepercayaan masyarakat semakin baik,” ujar penulis belasan buku ini.
Seiring berjalannya waktu, mata masyarakat mulai terbuka. Tanpa embel-embel istilah feminisme, Masriyah membuktikan bahwa perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin, termasuk memimpin lembaga keagamaan.
“Pemikiran saya sangat sederhana, dengan contoh sederhana yang bisa diterima orang desa. Saya tidak membawa istilah jender, feminisme, atau pluralism, tapi memberikan contoh sehari-hari bahwa feminisme tidak merusak agama. Saya bercerita bagaimana hidup harus bermanfaat, apapun jendernya,” katanya.
Tak hanya sekolah menengah. Pesantren Kebon Jambu juga merintis Ma’had Aly, sekolah tinggi setingkat sarjana bagi alumni santri yang berminat melanjutkan studi keagamaan. Ma’had ini telah diresmikan oleh Kementerian Agama, lewat penerbitan Peraturan Menteri Agama Nomor 71/2015.
Pesantren Kebon Jambu juga kerap menerima tamu studi banding dari berbagai negara. Seperti Arab Saudi, Pakistan, Afghanistan, Kenya, Malaysia, Singapura, bahkan hingga Belanda dan Amerika.
Berbekal semangat dan keyakinan pada Tuhan, sosok sederhana seperti Masriyah membuktikan bahwa perempuan bisa menjadi pemimpin dan memajukan pesantren.

No comments:

Post a Comment