Kekerasan ini terutama muncul ketika Pemilihan Kepala Daerah
Kekerasan berdasarkan etnis, kelompok, dan suku meningkat di
Indonesia.
Berdasarkan hasil riset Badan Pusat Statistik (BPS), demokrasi
Indonesia berdasarkan variabel ancaman/penggunaan kekerasan oleh masyarakat
karena alasan jender, etnis dan kelompok menurun sebesar 3,43 poin dari 91.18
pada 2015 menjadi 87.75 poin pada 2016.
Pakar politik dan ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) Syarif Hidayat mengatakan manipulasi isu menggunakan etnis, agama dan
kelompok banyak terjadi ketika Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
“Isu ini menjadi senjata bagi peserta Pilkada untuk memperoleh
dukungan masyarakat,” katanya, Kamis, kepada Anadolu Agency.
Diskriminasi lainnya, kata Syarif, dialami kelompok tentan
seperti orang miskin dalam akses pelayanan BPJS Kesehatan. Berbagai pengaduan
diskriminasi akses pelayanan BPJS Kesehatan kerap muncul di berbagai
pemberitaan media.
“Ini menarik dan perlu diungkap, demi perbaikan, bahwa
persoalan etnis, kelompok rentan, berkumpul dan berserikat masih ada,” katanya.
Sementara itu, demokrasi Indonesia berdasarkan variabel
ancaman/penggunaan kekerasan oleh apparat pemerintah yang menghambat kebebasan
berkumpul, berekspresi dan berserikat turun sebesar 4.41 poin dari 86,76 pada
2015 menjadi 82.35 pada 2016.
“Terutama pada poin ucapan pemerintah/pejabat bersumber dari
masyarakat yang menghambat kebebasan berkumpul dan berserikat,” kata Syarif.
Penyelesaian dari unsur pemerintah, kata Syarif lebih mudah,
tinggal menginstruksikan agar pemerintah tak mudah mengumbar ucapan atau
tindakan yang bisa mengekang kebebasan berpendapat.
Sementara penyelesaian di masyarakat, kata Syarif, cenderung
sulit.
Syarif memetakan 3 hal penting sebagai solusi menumbuhkan
demokrasi di masyarakat, yaitu pendidikan politik dari pemerintah, menghidupkan
forum dialog warga dan pendidikan politik dari Parpol untuk konstituen.
“Kalau serius ingin revolusi mental, ini kesempatan pendidikan
politik untuk masyarakat yang cenderung tertunda,” katanya.
Riset IDI bekerja sama dengan Kementerian Politik, Hukum dan
HAM, Bappenas, dan Kementerian Dalam Negeri, mengenai Indeks Demokrasi
Indonesia (IDI).
Demokrasi di Jakarta terjun bebas
DKI Jakarta menjadi provinsi dengan penurunan IDI terparah.
Tahun 2015, DKI Jakarta menempati provinsi dengan IDI
tertinggi sebesar 85,32 persen, namun angka ini terjun bebas di tahun
berikutnya menjadi 70,11.
Tim ahli sekaligus peneliti Universitas Indonesia Maswadi Raud
mengatakan semua aspek di DKI mengalami penurunan sejak 2015 ke 2016.
Penurunan terparah pada aspek hak-hak politik dari 83,19 pada
2016 menjadi 67.54 pada 2016. Aspek lembaga demokrasi menurun dari 83,26 dari
2015 menjadi 63,19 pada 2016. Sementara aspek kebebasan sipil menurun dari
89,64 pada 2015 menjadi 81.11 pada 2016.
“Tak hanya aspek hak-hak politik, tapi juga aspek kebebasan
sipil dan lembaga demokrasi di DKI mengalami penurunan,” ujar Maswadi.
Di DKI, paling menonjol penurunan variabel kebebasan berkumpul
dan berserikat, dari 100 persen pada 2015 menjadi 05,47 persen pada 2016.
“Turun hampir 94,53 poin. Ini luar biasa drastis,” ujar
peneliti Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah Musdah Mulia.
Musdah mengatakan demokrasi adalah proses dinamis, variabel
yang naik turun di hampir semua provinsi, menunjukan kehidupan demokrasi yang
fluktuatif.
Musdah menekankan pentingnya pendidikan politik, agar
demokrasi Indonesia tak lagi mengalami penurunan di masa mendatang.
“Pelru kerja bersama, bukan hanya birokrasi tapi seluruh
stakeholders, sehingga esensi demokrasi bisa dipahami baik oleh seluruh
masyarakat dan elit politik,” katanya.
No comments:
Post a Comment