AJI mencatat masih ada delapan kasus
pembunuhan jurnalis lagi yang belum diusut tuntas.
Hayati Nupus
JAKARTA
Ini tahun keberuntungan bagi I Nyoman
Susrama, otak intelektual pembunuhan jurnalis Radar Bali AA Gde Bagus Narendra
Prabangsa.
Seharusnya Susrama mengenyam tembok penjara
seumur hidup sebagai hukuman atas pembunuhan itu, namun remisi yang diberikan
Presiden RI Joko Widodo memangkas hukuman itu menjadi 20 tahun saja. Lewat
Keputusan Presiden Nomor 29 tahun, Susrama memperoleh remisi berikut 114
narapidana lainnya. Artinya, Susrama hanya perlu mendekam jeruji penjara selama
beberapa tahun lagi.
Namun tidak begitu bagi keluarga Prabangsa,
juga kebebasan pers di Indonesia. “Remisi yang diberikan presiden adalah
langkah mundur dan preseden buruk bagi kebebasan pers di tanah air,” ujar Ketua
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Jumat, di Jakarta.
Hari ini, ratusan jurnalis di 15 kota di
Indonesia menggelar aksi yang mengecam pemberian remisi itu. Di antaranya di
Jakarta, Semarang, Malang, Banda Aceh dan Bali. Mereka mendesak agar presiden
menegakkan keadilan dengan mencabut pemberian remisi untuk Susrama dan
mengembalikan masa hukuman sesuai dengan putusan Pengadilan Negeri Denpasar.
Prabangsa dibunuh karena berita
Koordinator Aksi Solidaritas Jurnalis Bali
(SJB) Nandhang R. Astika menuturkan pembunuhan itu bermula dari berita dugaan
korupsi sejumlah proyek Dinas Pendidikan di Kabupaten Bangli, Bali, sepanjang
Desember 2008-Januari 2009 yang merugikan negara sebesar Rp4 miliar. Salah
satunya adalah proyek pembangunan TK dan SD bertaraf internasional yang
dipimpin Susrama. Belakangan kasus korupsi ini terbukti di pengadilan.
Susrama yang marah, lanjut Nandhang,
memerintahkan anak buahnya untuk menjemput Prabangsa yang tengah berada di
Taman Bali, Bangli, pada 11 Februari 2009. Sebelumnya, Prabangsa juga menerima
telepon dan pesan singkat berisikan ancaman.
Sampai di rumah Susrama, di Banjar Petak,
Bebalang, Bangli, Prabangsa dipukuli. Susrama turut memukul korban dengan balok
kayu. Mereka kemudian membuang Prabangsa yang masih hidup ke laut. Setelah
dinyatakan hilang selama lima hari, mayat Prabangsa ditemukan di Teluk Bungsil,
Karangasem, pada 16 Februari 2009.
Pengadilan Negeri Denpasar membuktikan bahwa
Susrama adalah tokoh di balik pembunuhan Prabangsa. Pengadilan memvonis Susrama
dengan pidana penjara seumur hidup pada 15 Februari 2010. Begitu pula dengan delapan
orang lain yang terlibat, dengan pidana penjara 5-20 tahun.
“Ini operasi pembunuhan terencana, vonis
pidana seumur hidup adalah hukuman yang tepat bagi pembunuh jurnalis
Prabangsa,” kata Manan.
Vonis itu, ujar Manan, bahkan lebih rendah
ketimbang tuntutan jaksa berupa hukuman pidana mati, sesuai isi Pasal 340 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Susrama sempat mengajukan banding ke
Pengadilan Tinggi Bali namun tak beroleh hasil. Penolakan serupa diberikan
Mahkamah Agung pada 24 September 2010 setelah Susrama mengajukan kasasi.
Manan menuturkan vonis ini sempat memberikan
angin segar bagi kebebasan pers di Indonesia. Pasalnya kasus Prabangsa hanyalah
satu dari sederet kasus pembunuhan jurnalis yang diusut hingga tuntas.
AJI mencatat masih ada delapan kasus
pembunuhan jurnalis lagi yang belum diusut tuntas. Yaitu pembunuhan jurnalis
Harian Bernas Yogya Fuad M Syarifuddin pada 1996, jurnalis lepas Harian Radar
Surabaya Herliyanto pada 2006, jurnalis Tabloid Jubi dan Merauke TV Ardiansyah
Matrais pada 2010, serta jurnalis Tabloid Mingguan Pelangi di Pulau Kisar,
Maluku Barat Daya Alfrets Mirulewan pada 2010.
Remisi penyubur iklim impunitas
AJI menilai remisi untuk Susrama itu tidak
mencerminkan semangat presiden untuk melindungi kebebasan pers di Indonesia.
“Kami kecewa, remisi ini melukai rasa
keadilan tidak hanya keluarga korban, tapi jurnalis di Indonesia,” ujar Manan.
AJI mendesak agar Presiden RI Joko Widodo
mencabut Kepres pemberian remisi itu karena bertentangan dengan kebebasan pers.
AJI menilai pemberian keringanan hukuman pada pelaku pembunuh jurnalis akan
menyuburkan iklim impunitas dan membuat para pelaku kekerasan tidak jera.
“Hal ini bisa memicu kekerasan terhadap
jurnalis terus berlanjut,” kata Manan.
Direktur Pelaksana Federasi Wartawan
Internasional (IFJ) Jane Worthington mengatakan bahwa remisi yang diberikan
kepada Susrama menunjukkan bahwa upaya peradilan pembunuhan jurnalis Prabangsa
berakhir pada kompromi.
Impunitas ini, lanjut Jane, harus segera
diakhiri dan pelaku memperoleh hukuman setimpal.
“Kami mendukung AJI dalam menuntut Presiden
Joko Widodo agar mencabut atau membatalkan remisi,” ujar Jane.
Pada 2018 AJI mencatat setidaknya terdapat 64
kasus kekerasan terhadap jurnalis. Meliputi pengusiran, kekerasan fisik, hingga
pemidanaan terkait karya jurnalistik. Jumlah ini meningkat ketimbang tahun
sebelumnya sebanyak 60 kasus.
Organisasi pemantau media yang berbasis di
Paris Reporters Without Borders pada 2018 menempatkan Indonesia pada peringkat
124 dari 180 negara terkait kebebasan pers. Posisi ini bahkan jauh tertinggal
ketimbang Timor Leste yang berada pada peringkat 93.
Sedang IFJ mencatat terdapat setidaknya 94
jurnalis dan pekerja media lainnya yang tewas saat bertugas pada 2018. Angka
ini naik ketimbang tahun sebelumnya sebanyak 82 orang.
Asia Pasifik merupakan wilayah dengan angka
pembunuhan jurnalis tertinggi, sebanyak 32 kasus. Menyusul Amerika dengan 27
kasus, Timur Tengah 20 kasus, Afrika 11 kasus dan Eropa empat kasus.
No comments:
Post a Comment