Monday, February 11, 2019

Jalan berliku kebebasan pers Indonesia

AJI mencatat masih ada delapan kasus pembunuhan jurnalis lagi yang belum diusut tuntas.
Hayati Nupus
JAKARTA
Ini tahun keberuntungan bagi I Nyoman Susrama, otak intelektual pembunuhan jurnalis Radar Bali AA Gde Bagus Narendra Prabangsa.
Seharusnya Susrama mengenyam tembok penjara seumur hidup sebagai hukuman atas pembunuhan itu, namun remisi yang diberikan Presiden RI Joko Widodo memangkas hukuman itu menjadi 20 tahun saja. Lewat Keputusan Presiden Nomor 29 tahun, Susrama memperoleh remisi berikut 114 narapidana lainnya. Artinya, Susrama hanya perlu mendekam jeruji penjara selama beberapa tahun lagi.
Namun tidak begitu bagi keluarga Prabangsa, juga kebebasan pers di Indonesia. “Remisi yang diberikan presiden adalah langkah mundur dan preseden buruk bagi kebebasan pers di tanah air,” ujar Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Jumat, di Jakarta.
Hari ini, ratusan jurnalis di 15 kota di Indonesia menggelar aksi yang mengecam pemberian remisi itu. Di antaranya di Jakarta, Semarang, Malang, Banda Aceh dan Bali. Mereka mendesak agar presiden menegakkan keadilan dengan mencabut pemberian remisi untuk Susrama dan mengembalikan masa hukuman sesuai dengan putusan Pengadilan Negeri Denpasar.
Prabangsa dibunuh karena berita
Koordinator Aksi Solidaritas Jurnalis Bali (SJB) Nandhang R. Astika menuturkan pembunuhan itu bermula dari berita dugaan korupsi sejumlah proyek Dinas Pendidikan di Kabupaten Bangli, Bali, sepanjang Desember 2008-Januari 2009 yang merugikan negara sebesar Rp4 miliar. Salah satunya adalah proyek pembangunan TK dan SD bertaraf internasional yang dipimpin Susrama. Belakangan kasus korupsi ini terbukti di pengadilan.
Susrama yang marah, lanjut Nandhang, memerintahkan anak buahnya untuk menjemput Prabangsa yang tengah berada di Taman Bali, Bangli, pada 11 Februari 2009. Sebelumnya, Prabangsa juga menerima telepon dan pesan singkat berisikan ancaman.
Sampai di rumah Susrama, di Banjar Petak, Bebalang, Bangli, Prabangsa dipukuli. Susrama turut memukul korban dengan balok kayu. Mereka kemudian membuang Prabangsa yang masih hidup ke laut. Setelah dinyatakan hilang selama lima hari, mayat Prabangsa ditemukan di Teluk Bungsil, Karangasem, pada 16 Februari 2009.
Pengadilan Negeri Denpasar membuktikan bahwa Susrama adalah tokoh di balik pembunuhan Prabangsa. Pengadilan memvonis Susrama dengan pidana penjara seumur hidup pada 15 Februari 2010. Begitu pula dengan delapan orang lain yang terlibat, dengan pidana penjara 5-20 tahun.
“Ini operasi pembunuhan terencana, vonis pidana seumur hidup adalah hukuman yang tepat bagi pembunuh jurnalis Prabangsa,” kata Manan.
Vonis itu, ujar Manan, bahkan lebih rendah ketimbang tuntutan jaksa berupa hukuman pidana mati, sesuai isi Pasal 340 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Susrama sempat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Bali namun tak beroleh hasil. Penolakan serupa diberikan Mahkamah Agung pada 24 September 2010 setelah Susrama mengajukan kasasi.
Manan menuturkan vonis ini sempat memberikan angin segar bagi kebebasan pers di Indonesia. Pasalnya kasus Prabangsa hanyalah satu dari sederet kasus pembunuhan jurnalis yang diusut hingga tuntas.
AJI mencatat masih ada delapan kasus pembunuhan jurnalis lagi yang belum diusut tuntas. Yaitu pembunuhan jurnalis Harian Bernas Yogya Fuad M Syarifuddin pada 1996, jurnalis lepas Harian Radar Surabaya Herliyanto pada 2006, jurnalis Tabloid Jubi dan Merauke TV Ardiansyah Matrais pada 2010, serta jurnalis Tabloid Mingguan Pelangi di Pulau Kisar, Maluku Barat Daya Alfrets Mirulewan pada 2010.
Remisi penyubur iklim impunitas
AJI menilai remisi untuk Susrama itu tidak mencerminkan semangat presiden untuk melindungi kebebasan pers di Indonesia.
“Kami kecewa, remisi ini melukai rasa keadilan tidak hanya keluarga korban, tapi jurnalis di Indonesia,” ujar Manan.
AJI mendesak agar Presiden RI Joko Widodo mencabut Kepres pemberian remisi itu karena bertentangan dengan kebebasan pers. AJI menilai pemberian keringanan hukuman pada pelaku pembunuh jurnalis akan menyuburkan iklim impunitas dan membuat para pelaku kekerasan tidak jera.
“Hal ini bisa memicu kekerasan terhadap jurnalis terus berlanjut,” kata Manan.
Direktur Pelaksana Federasi Wartawan Internasional (IFJ) Jane Worthington mengatakan bahwa remisi yang diberikan kepada Susrama menunjukkan bahwa upaya peradilan pembunuhan jurnalis Prabangsa berakhir pada kompromi.
Impunitas ini, lanjut Jane, harus segera diakhiri dan pelaku memperoleh hukuman setimpal.
“Kami mendukung AJI dalam menuntut Presiden Joko Widodo agar mencabut atau membatalkan remisi,” ujar Jane.
Pada 2018 AJI mencatat setidaknya terdapat 64 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Meliputi pengusiran, kekerasan fisik, hingga pemidanaan terkait karya jurnalistik. Jumlah ini meningkat ketimbang tahun sebelumnya sebanyak 60 kasus.
Organisasi pemantau media yang berbasis di Paris Reporters Without Borders pada 2018 menempatkan Indonesia pada peringkat 124 dari 180 negara terkait kebebasan pers. Posisi ini bahkan jauh tertinggal ketimbang Timor Leste yang berada pada peringkat 93.
Sedang IFJ mencatat terdapat setidaknya 94 jurnalis dan pekerja media lainnya yang tewas saat bertugas pada 2018. Angka ini naik ketimbang tahun sebelumnya sebanyak 82 orang.
Asia Pasifik merupakan wilayah dengan angka pembunuhan jurnalis tertinggi, sebanyak 32 kasus. Menyusul Amerika dengan 27 kasus, Timur Tengah 20 kasus, Afrika 11 kasus dan Eropa empat kasus.



No comments:

Post a Comment