Papua menghadapi serangkaian persoalan, dari
sosial, ekonomi, bahkan gerakan separatis. Perlu pendekatan lebih manusiawi
untuk menyentuh hati mereka.
Salah satu relawan Satuan Tugas Khusus Papua Binmas Noken tengah berdongeng di hadapan anak-anak di Oksibil, Pegunungan Bintang, Papua. (Foto Binmas Noken – Anadolu Agency) |
Hayati Nupus
JAKARTA
Jika pekerjaan di kantor sedang landai, Sam
Saiba, 33 tahun, staf Unit Identifikasi Polres Kerom, Papua, berjalan kaki
menempuh perjalanan 1-2 jam menuju Lembah Baliem yang ada di Pegunungan Jaya
Wijaya, Papua.
Di lembah itu, Sam yang menjadi relawan Satuan
Tugas Khusus Papua Binmas Noken, program pemberdayaan masyarakat yang
diinisiasi Polri, mengadakan kelas ‘Polisi Pi Ajar’ agar anak-anak setempat
belajar membaca.
“Banyak anak-anak di Papua yang masih buta
huruf meski usia mereka sudah 15 atau bahkan 20 tahun,” ujar Sam kepada Anadolu
Agency, Selasa, di Jakarta.
Jika dibandingkan dengan Jakarta atau wilayah
lain di Indonesia, tutur Sam, pendidikan di Papua masih tertinggal. Jumlah
sekolah formal dan guru di Papua amat terbatas.
Kondisi medan pegunungan dengan akses
transportasi seadanya membuat anak-anak setempat tak selalu bisa menikmati
bangku sekolah.
Kalaupun dapat bersekolah, lanjut Sam, dengan
jumlah guru yang terbatas dan tak selalu hadir, masih banyak anak-anak Papua
yang belum bisa membaca.
Selain belajar mengenal huruf, yang tak kalah
penting dari materi kelas itu, menurut Sam, adalah belajar mengenal Indonesia.
Sam mengenalkan bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang secara geografis
terletak dari Sabang sampai Merauke dan Papua merupakan bagian di antaranya.
Pandangan keindonesiaan ini penting, ujar
Sam, untuk menghapus kebencian warga setempat kepada pemerintah pusat yang
diwariskan nenek moyang Papua sejak lama. Sam kerap mendapati ada anak Papua
yang belum tahu lagu kebangsaan Indonesia Raya, bahkan tak mengenal warna
bendera negaranya.
Mereka memandang pemerintah pusat dan
pendatang sebelah mata, kata Sam. Yang hanya ingin mengeruk sumber daya alam
tanpa memberikan kontribusi positif pada tanah Papua. Bahkan Sam yang berasal
dari Manokwari, Papua Barat, kerap dianggap sebagai pendatang karena berbaju
polisi, meski berambut keriting dan berkulit gelap seperti warga Papua lainnya.
“Tapi karena program Binmas Noken ini kita
mendekati masyarakat dengan hati, mereka akhirnya mau menerima kami juga,” kata
Sam.
Sentuh hati
warga Papua
Kepala Satgas Khusus Binmas Noken Kombes Eko
Rudi Sudarto mengatakan bahwa Binmas Noken merupakan upaya Polri untuk
mendekatkan diri dengan masyarakat Papua.
“Kami ingin menyentuh hati masyarakat Papua
dan menunjukkan bahwa negara hadir memberikan perhatian,” ujar Eko.
Kegiatan ‘Polisi Pi Ajar’ merupakan salah
satu pendekatan yang digunakan. Pendekatan lainnya pertanian dan peternakan.
Warga setempat memperoleh bibit tanaman dan ternak babi kemudian
mengembangkannya dengan pendampingan personel Satgas Binmas.
Selain membangun kedekatan antara polisi
dengan masyarakat, program ini sekaligus bertujuan untuk menyejahterakan warga
Papua, lewat aktivitas pertanian dan perkebunan itu.
“Sekaligus membangun pemahaman agar warga tak
kepincut gerakan yang ingin memisahkan diri dari Indonesia,” ujar Eko.
Program yang digelar sejak Januari 2018 ini
melibatkan 45 personel Polri yang tersebar di sembilan kabupaten di Papua,
yaitu Nabire, Paniai, Puncak, Puncak Jaya, Lanny Jaya, Jayawijaya, Mimika,
Yahukimo dan Pegunungan Bintang.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) Hermawan Sulistyo mengatakan masyarakat Papua mengalami kondisi sosial
ekonomi paling buruk se-Indonesia.
“Sejak Orde Baru, sumber daya alam Papua
dirampok oleh Freeport dan tak banyak yang kembali,” kata Hermawan, yang
sekaligus menjadi fasilitator program ini.
Kondisi geografis pegunungan dan akses
transportasi terbatas, tutur Hermawan, menciptakan kesenjangan antara harga
barang di Papua dengan di Jawa. Harga semen misalnya, berkisar Rp2 juta di
Papua, sementara di Jawa dapat dibeli tak sampai Rp100 ribu.
Selain itu, lanjut Hermawan, swasembada beras
yang dilakukan Orde Baru dengan menyeragamkan makanan pokok seluruh masyarakat
Indonesia menjadi beras juga mempersulit warga Papua. Seiring swasembada itu,
pohon sagu sebagai makanan pokok awal sudah amat berkurang, sementara beras
harus didatangkan dari luar Papua dan dibeli dengan harga mahal.
Begitu pula, tambah Hermawan, tingkat
pendidikan masyarakat Papua masih rendah. Jumlah sekolah sedikit dengan akses
transportasi terbatas. Juga jumlah guru dan fasilitas pendidikan.
Gerakan
separatis tak realistis
Hermawan mengatakan kesenjangan di berbagai
aspek itu memunculkan gerakan kelompok bersenjata yang ingin memisahkan diri
dari Indonesia. Meski pemisahan Papua dari wilayah Indonesia itu tidak
realistis.
Pertama, menurut Hermawan, persoalan
separatis itu sudah rampung dengan adanya Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)
1969 yang menyimpulkan bahwa Papua tetap menjadi wilayah Indonesia. Terlepas
pelaksanaan Pepera itu yang dilakukan dengan jalan musyawarah, berlawanan
dengan isi Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang disetujui oleh PBB.
Kedua, lanjut Hermawan, berdirinya negara
baru sulit untuk memperoleh pengakuan internasional. Sedang ketiga, tak ada
jaminan kalau kondisi Papua akan stabil setelah merdeka.
“Pasti akan ada perang suku setiap pekan,”
tukas Hermawan.
Pilihan paling realistis menurut Hermawan
adalah dengan menyejahterakan dan memperlakukan rakyat Papua selayaknya manusia
pada umumnya. Melibatkan mereka dengan program-program yang membangun kesadaran
bernegara sekaligus menggerakkan perekonomian mereka.
“Selama ini kan tidak, mereka diperlakukan
seperti binatang, dengan hanya dikeruk tanahnya, Papua perlu pendekatan lebih
manusiawi, lebih beradab,” ujar Heramawan.
Sedang program Binmas Noken, kata Hermawan,
berupaya memberdayakan dan mendidik warga setempat. Program itu memperlakukan
rakyat Papua dengan lebih manusiawi.
Dengan cara ini, Hermawan yakin persoalan di
Papua bisa rampung pelan-pelan, termasuk persoalan gerakan separatisme.
“Kalau ini dilakukan secara masif, saya yakin
dalam 10 tahun mendatang masalah separatisme di Papua akan selesai,” ujar
Hermawan.
No comments:
Post a Comment