Monday, February 11, 2019

Jalan lempang memanusiakan warga Papua


Papua menghadapi serangkaian persoalan, dari sosial, ekonomi, bahkan gerakan separatis. Perlu pendekatan lebih manusiawi untuk menyentuh hati mereka.

Salah satu relawan Satuan Tugas Khusus Papua Binmas Noken tengah berdongeng di hadapan anak-anak di Oksibil, Pegunungan Bintang, Papua. (Foto Binmas Noken – Anadolu Agency)

Hayati Nupus
JAKARTA 
Jika pekerjaan di kantor sedang landai, Sam Saiba, 33 tahun, staf Unit Identifikasi Polres Kerom, Papua, berjalan kaki menempuh perjalanan 1-2 jam menuju Lembah Baliem yang ada di Pegunungan Jaya Wijaya, Papua.
Di lembah itu, Sam yang menjadi relawan Satuan Tugas Khusus Papua Binmas Noken, program pemberdayaan masyarakat yang diinisiasi Polri, mengadakan kelas ‘Polisi Pi Ajar’ agar anak-anak setempat belajar membaca.
“Banyak anak-anak di Papua yang masih buta huruf meski usia mereka sudah 15 atau bahkan 20 tahun,” ujar Sam kepada Anadolu Agency, Selasa, di Jakarta.
Jika dibandingkan dengan Jakarta atau wilayah lain di Indonesia, tutur Sam, pendidikan di Papua masih tertinggal. Jumlah sekolah formal dan guru di Papua amat terbatas.
Kondisi medan pegunungan dengan akses transportasi seadanya membuat anak-anak setempat tak selalu bisa menikmati bangku sekolah.
Kalaupun dapat bersekolah, lanjut Sam, dengan jumlah guru yang terbatas dan tak selalu hadir, masih banyak anak-anak Papua yang belum bisa membaca.
Selain belajar mengenal huruf, yang tak kalah penting dari materi kelas itu, menurut Sam, adalah belajar mengenal Indonesia. Sam mengenalkan bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang secara geografis terletak dari Sabang sampai Merauke dan Papua merupakan bagian di antaranya.
Pandangan keindonesiaan ini penting, ujar Sam, untuk menghapus kebencian warga setempat kepada pemerintah pusat yang diwariskan nenek moyang Papua sejak lama. Sam kerap mendapati ada anak Papua yang belum tahu lagu kebangsaan Indonesia Raya, bahkan tak mengenal warna bendera negaranya.
Mereka memandang pemerintah pusat dan pendatang sebelah mata, kata Sam. Yang hanya ingin mengeruk sumber daya alam tanpa memberikan kontribusi positif pada tanah Papua. Bahkan Sam yang berasal dari Manokwari, Papua Barat, kerap dianggap sebagai pendatang karena berbaju polisi, meski berambut keriting dan berkulit gelap seperti warga Papua lainnya.
“Tapi karena program Binmas Noken ini kita mendekati masyarakat dengan hati, mereka akhirnya mau menerima kami juga,” kata Sam.

Sentuh hati warga Papua
Kepala Satgas Khusus Binmas Noken Kombes Eko Rudi Sudarto mengatakan bahwa Binmas Noken merupakan upaya Polri untuk mendekatkan diri dengan masyarakat Papua.
“Kami ingin menyentuh hati masyarakat Papua dan menunjukkan bahwa negara hadir memberikan perhatian,” ujar Eko.
Kegiatan ‘Polisi Pi Ajar’ merupakan salah satu pendekatan yang digunakan. Pendekatan lainnya pertanian dan peternakan. Warga setempat memperoleh bibit tanaman dan ternak babi kemudian mengembangkannya dengan pendampingan personel Satgas Binmas.
Selain membangun kedekatan antara polisi dengan masyarakat, program ini sekaligus bertujuan untuk menyejahterakan warga Papua, lewat aktivitas pertanian dan perkebunan itu.
“Sekaligus membangun pemahaman agar warga tak kepincut gerakan yang ingin memisahkan diri dari Indonesia,” ujar Eko.
Program yang digelar sejak Januari 2018 ini melibatkan 45 personel Polri yang tersebar di sembilan kabupaten di Papua, yaitu Nabire, Paniai, Puncak, Puncak Jaya, Lanny Jaya, Jayawijaya, Mimika, Yahukimo dan Pegunungan Bintang.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Hermawan Sulistyo mengatakan masyarakat Papua mengalami kondisi sosial ekonomi paling buruk se-Indonesia.
“Sejak Orde Baru, sumber daya alam Papua dirampok oleh Freeport dan tak banyak yang kembali,” kata Hermawan, yang sekaligus menjadi fasilitator program ini.
Kondisi geografis pegunungan dan akses transportasi terbatas, tutur Hermawan, menciptakan kesenjangan antara harga barang di Papua dengan di Jawa. Harga semen misalnya, berkisar Rp2 juta di Papua, sementara di Jawa dapat dibeli tak sampai Rp100 ribu.
Selain itu, lanjut Hermawan, swasembada beras yang dilakukan Orde Baru dengan menyeragamkan makanan pokok seluruh masyarakat Indonesia menjadi beras juga mempersulit warga Papua. Seiring swasembada itu, pohon sagu sebagai makanan pokok awal sudah amat berkurang, sementara beras harus didatangkan dari luar Papua dan dibeli dengan harga mahal.
Begitu pula, tambah Hermawan, tingkat pendidikan masyarakat Papua masih rendah. Jumlah sekolah sedikit dengan akses transportasi terbatas. Juga jumlah guru dan fasilitas pendidikan.

Gerakan separatis tak realistis
Hermawan mengatakan kesenjangan di berbagai aspek itu memunculkan gerakan kelompok bersenjata yang ingin memisahkan diri dari Indonesia. Meski pemisahan Papua dari wilayah Indonesia itu tidak realistis.
Pertama, menurut Hermawan, persoalan separatis itu sudah rampung dengan adanya Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 yang menyimpulkan bahwa Papua tetap menjadi wilayah Indonesia. Terlepas pelaksanaan Pepera itu yang dilakukan dengan jalan musyawarah, berlawanan dengan isi Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang disetujui oleh PBB.
Kedua, lanjut Hermawan, berdirinya negara baru sulit untuk memperoleh pengakuan internasional. Sedang ketiga, tak ada jaminan kalau kondisi Papua akan stabil setelah merdeka.
“Pasti akan ada perang suku setiap pekan,” tukas Hermawan.
Pilihan paling realistis menurut Hermawan adalah dengan menyejahterakan dan memperlakukan rakyat Papua selayaknya manusia pada umumnya. Melibatkan mereka dengan program-program yang membangun kesadaran bernegara sekaligus menggerakkan perekonomian mereka.
“Selama ini kan tidak, mereka diperlakukan seperti binatang, dengan hanya dikeruk tanahnya, Papua perlu pendekatan lebih manusiawi, lebih beradab,” ujar Heramawan.
Sedang program Binmas Noken, kata Hermawan, berupaya memberdayakan dan mendidik warga setempat. Program itu memperlakukan rakyat Papua dengan lebih manusiawi.
Dengan cara ini, Hermawan yakin persoalan di Papua bisa rampung pelan-pelan, termasuk persoalan gerakan separatisme.
“Kalau ini dilakukan secara masif, saya yakin dalam 10 tahun mendatang masalah separatisme di Papua akan selesai,” ujar Hermawan.


No comments:

Post a Comment