Hasan Cahyono, bukan nama sebenarnya, memiliki
gambaran ideal soal sebuah negara. Bagi anak berusia 17 tahun ini, suatu negara
akan damai, tentram, dan warganya sejahtera, jika negara tersebut berlandaskan
hukum islam. “Negara Islam itu paling ideal, harus ditegakan,” ujarnya,
berapi-api.
Dalam pikiran kanak-kanaknya, negara islam
yang ideal contohnya Arab Saudi, Turki, dan negara-negara di Timur Tengah.
Meski rajin mengikuti pengajian bulanan di
kampungnya, Hasan beroleh informasi mengenai konsep negara Islam itu bukan dari
guru ngajinya. Siswa salah satu sekolah menengah di Jawa Timur ini memperoleh
informasi negara ideal islam itu justru dari laman internet.
Saban waktu, di sela-sela aktivitas
bersekolah, Hasan rajin mengakses informasi seputar dunia Islam secara online
lewat ponselnya. Sebagai generasi digital, ia akrab dengan benda pintar itu. Ia
membuka laman-laman tertentu, maupun menggunakan mesin pencari.
Informasi lain yang rajin ia perbarui adalah
mengenai perang di Suriah. Hasan melihat perang Suriah adalah perang agama
Islam melawan kafir. Sebagai sesama muslim, ia merasa prihatin dengan
penderitaan warga muslim Suriah di tengah kecamuk perang. Sampai-sampai anak
kecil menjadi korban.
“Mereka terkena bom, tubuhnya penuh darah. Itu
saudara kita sesama muslim yang mengalami musibah,” ujarnya.
Sesekali Hasan membagikan informasi yang ia
peroleh itu melalui jejaring sosial Facebook. Melalui grup-grup di jejaring
sosial itu pula Hasan kerap memperoleh informasi terbaru soal Suriah. Salah
satunya lewat grup Save Aleppo.
Hasan hanya satu dari sederet anak-anak
digital yang terpapar paham radikalisme melalui internet. Anak digital lainnya
adalah IAH (18 tahun), tersangka penyerangan pemuka agama di Gereja Katolik
Santo Yosep, Medan, pada Minggu, 28 Agustus 2016. IAH berguru mengenai
radikalisme, bahkan terorisme hasil berselancar di dunia maya.
Sementara itu, Sultan Aziyansyah, pelaku teror
yang menusuk polisi secara membabi buta di Cikokol, diduga terkait Kelompok
Jamaah Anshorut Daulah (JAD) pimpinan Aman Abdurrahman. Meski aksi teror itu
dilakukan di usia yang sudah tak lagi kanak, Sultan belajar seluk beluk aksi
terror dari media sosial sejak belia. Ia juga menyebarkan ide terorisme melalui
blog teach-n-share.
Anak-anak generasi Z yang lahir di rentang
tahun 1995-2010 merupakan generasi digital
native. Sejak lahir, mereka telah mengenal media elektronik dan terpapar
internet, baik melalui personal computer, laptop, maupun ponsel. Kementerian
Telekomunikasi dan Informatika menyebutkan terdapat 165 juta nomor aktif di
Indonesia. Sebanyak 40 juta diantaranya digunakan oleh anak-anak.
Melalui ponsel, anak-anak dengan mudah
mengakses internet. Mereka mengakses permainan maupun media sosial. Mereka
mengunggah data pribadi yang dapat dengan mudah diakses siapapun. Melalui media
sosial itu pula anak-anak dapat berinteraksi dengan berbagai jenis manusia dari
berbagai belahan dunia.
Internet adalah rimba raya yang tak kita
ketahui batasnya. Internet bisa berdampak positif, juga berdampak buruk,
terutama pada anak.
Sejumlah situs berisikan pemahaman terorisme
misalnya adalah Almustaqbal-net. Situs ini sempat berkembang dengan domain Www.al-mustaqbal.net,
namun kemudian diblokir setelah Fachri, pengelolanya ditangkap Densus 88 tahun
2015 lalu.
Situs dengan domain baru itu kini tak dapat
diakses, namun situs asal dengan domain Blogspot itu masih tetap ada.
Selebihnya, laman bermuatan terorisme tersebar begitu banyak di dunia
maya. Dari muatan soal cita-cita khilafah islamiyah, bom bunuh diri, hingga
uraian teknis soal bagaimana membuat bom.
Hasil riset Maarif Institute Desember 2015,
terdapat 4 dari 100 anak SMA sepakat soal gerakan ISIS dan ide-ide terorisme.
Sedang hasil survey Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) Oktober 2010 –
Januari 2011 yang diselenggarakan di 100 sekolah menengah di Jakarta, hampir
50% siswa mendukung cara kekerasan dalam menghadapi persoalan moralitas dan
konflik keagamaan. Sebanyak 63% siswa mau melibatkan diri dalam tindakan
penyegelan rumah ibadah agama lain. Malah belasan pelajar menyetujui aksi bom
bunuh diri.
Anak Target Potensial
Sayangnya tak semua orang tua memiliki
kesadaran untuk melindungi anaknya dari bahaya internet. Survey Harris
Interaktif yang digelar terhadap 9000 orang tua pengguna internet di Amerika
Serikat, Rusia dan Eropa pada Februari Maret 2012 menyimpulkan hanya 5%
orang tua yang melindungi anak mereka dari bahaya internet.
Sepanjang tahun 2016, Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) menangani 4 kasus anak yang terpapar terorisme dan aliran
radikal. Satu di antaranya terpapar muatan terorisme dan gerakan radikal itu
dari laman digital.
Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Susanto,
mengatakan berdasarkan hasil kajiannya, penetrasi terorisme dipengaruhi oleh 4
hal. Pertama sebagai ideologi patronase, anak yang dididik oleh guru radikal,
berpotensi kelak menjadi radikal.
Kedua, faktor nasab atau keturunan. Ketiga
peer radikalisme, bersumber dari faktor tempat pemicu radikalisme, dan
keempat, factor self radicalism. “Banyaknya muatan radikal yang
dibaca membuat anak dengan sendirinya menjadi radikal,” kata Susanto.
Anak-anak menjadi target potensial perekrutan
demi regenerasi agen terorisme. “Semangatnya potong generasi. Mereka mencari
kader pelaku syahid berikutnya,” katanya.
Modusnya bertahap. Pertama, penetrasi ide
radikalisme, mengupayakan agar anak tertarik dengan ideologi tersebut. Kedua,
begitu tertarik, anak diajak bergabung. “Kalau sudah merasa sama, maka mereka
melakukan tindakan,” katanya.
Pengamat terorisme Al Chaidir mengatakan sudah
sejak lama kelompok terorisme memanfaatkan teknologi digital sebagai sarana
dakwah dan komunikasi. Berbagai jenis media social mereka gunakan seiring
dengan perkembangan teknologi. MIRC, Blackberry Messanger, Whatsapp, Facebook
dan Telegram.
“Dulu mereka yakin menggunakan Facebook.
Bahrun Naim dakwah melalui itu. Belakangan mereka migrasi ke Telegram. Lebih
aman dengan enkripsi tinggi,” katanya.
Selain sebagai sarana komunikasi antar
teroris, teknologi digital juga memudahkan mereka untuk melakukan perekrutan
anggota baru, termasuk target anggota usia anak. “Anak-anak mudah dibuat
penasaran. Ibarat kertas, anak masih putih bersih, belum banyak referensi,
lebih mudah diajak,” kata Chaidir.
Demi menggaet anak-anak, para teroris itu
melakukan pendekatan lewat gaya hidup remaja. Mereka menggunakan bahasa gaul
khas anak muda, atau cara lainnya. “Misanya dengan kalimat, kan malu kalau
cowok muslim tak mau berjihad, sambil menggambarkan bidadari 72 orang di surga.
Anak mudah terpengaruh,” katanya.
Divisi Pencegahan Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT) Hamidin Ajiamin mengiyakan jika saat ini
anak-anak disasar sebagai target anggota baru teroris. Situasi yang terjadi di
Indonesia itu tak lepas dari situasi global. Beberapa waktu lalu pemerintah
Irak menemukan kurikulum sekolah dengan muatan terorisme. “Isinya
pemaknaan jihad ala ISIS,” katanya.
Jihad ala terorisme itu juga mereka dakwahkan
lewat laman digital. Tahun 2014 lalu, BNPT mengidentifikasi sebanyak 9800 situs
dengan muatan terorisme.
Dulu, kata Hamidin, media digital hanya
digunakan sebagai alat bantu penetrasi ajaran terorisme. Begitu sudah satu
pemikiran, perekrut dan calon anggota bertemu untuk berbaiat. “Sekarang bahkan
baiat pun mereka lakukan melalui media social, melalui grup chatting,” katanya.
Menjauhkan anak dari gawai tentu tak mudah. Melarang pun bukan
pilihan bijak. Hamidin mengatakan pentingnya kepedulian orang tua mendampingi
anak ketika berselancar di dunia maya. “Apabila anak masuk ke situs radikal,
orang tua harus segera mendampingi. Tidak serta merta melarang, tapi digeser
pada dunia anak, dunia bermain,” katanya.
No comments:
Post a Comment