Acacia nilotica menjadi
predator pemangsa savanna sumber pangan banteng. Dampaknya padang savanna
menyempit dan populasi banteng menurun. Perlu ada upaya pemusnahan tanaman.
Batang
pohon Acacia Nilotica itu rebah di
padang Bekol, Taman Nasional Baluran, Situbondo, Jawa Timur. Asin, 35 tahun,
pegawai TN Baluran, mengolesi batang akar sisa pohon perdu mimosa tersebut
dengan campuran bahan kimia garlon dan solar.
“Agar
tanaman ini tidak tumbuh kembali,” ungkap Asin kepada Anadolu Agency.
Tak
hanya itu. Sisa batang hingga daun lantas dibakar agar tak tumbuh dan menyebar
ke lahan lain.
Jika
pemusnahan tanaman lain berbuah dosa konservasi, membunuh acacia nilotica justru berganjar pahala. Memusnahkan tanaman ini
berarti juga menjaga keberlanjutan ekosistem asli dan keanekaragaman hayati TN
Baluran. Sebab meski memiliki nama cantik, pohon dengan tinggi menjulang hingga
20 meter ini merupakan jenis tanaman invasif.
Seperti
yang dikatakan peneliti Badan Litbang Kehutanan dan Inovasi, Kementerian
Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK), Titiek Setyowati, pada abad ke-19,
pemerintah Hindia Belanda mendatangkan acacia
arabica dari India. Selain untuk penelitian di Kebun Raya Bogor (KRB),
resin tanaman ini bermanfaat sebagai bahan kosmetik dan lem.
“Ternyata
mereka salah impor. Bukan acacia arabica
yang merupakan habitat asli Sudan, tapi acacia
nilotica,” ujar Titiek.
Dari
KRB, tahun 1964 acacia nilotica dipindahkan ke sejumlah tempat: TN Baluran,
Manado, dan Bali Barat. Di TN Baluran, acacia nilotica yang memiliki batang
tahan panas sengaja ditanam untuk memagari pagar rumput savanna agar terhindar
dari kebakaran.
Siapa
sangka, tujuan awal menjadikan pahlawan, tanaman ini malah berulah menjadi predator
savanna dan habitat asli TN Baluran lainnya. Dengan akar serabut, ia menyerap
begitu banyak air dan tumbuh begitu cepat memusnahkan tanaman lain. Dampaknya,
dari 10.000 hektar padang savanna, kini hanya bersisa 4.000 hektar.
“Sedangkah
savanna itu makanan banteng, habitat asli TN Baluran. Populasinya kini menyusut.
Dari 250 ekor pada tahun 2000an, kini tinggal 46 ekor saja,” ujar Titik.
Sejak
1985 pemerintah telah berupaya membasmi acacia
nilotica. Namun upaya itu selalu menuai gagal. Biji tanaman ini menyebar
lewat batang yang sudah ditebang dan dibuang ke lahan lain. Biji yang jatuh
juga tersebar ke tempat lain lewat tanah yang terinjak kaki hewan.
Belakangan,
upaya penanggulangan berjalan efektif lewat cara manual dan herbisida. Pengolesan
batang akar dengan campuran bahan kimia dan solar merupakan upaya manual
penanggulangan tanaman ini. Meski hasilnya masih kalah ketimbang invasi tanaman
ini. Dalam 10 tahun terakhir, TN Baluran berhasil mengurangi luasan tanaman ini
sebanyak 300 hektar.
“Pemusnahan
acacia nilotica harus dilakukan. Tanaman ini mengganggu daya hidup tanaman
lain, juga hewan,” tegas Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar seusai perayaan Hari
Konservasi Alam Nasional (HKAN) 2017 di TN Baluran.
Perlu kebijakan khusus
Titiek
menilai pemusnahan acacia sebatas cara manual dan herbisida saja tak cukup.
Invasi tanaman ini begitu gencar. Jika ingin menyelamatkan habitat asli dan
menjaga ekologi lingkungan, perlu adanya kerja sama dengan masyarakat.
Arang
dari batang pohon acacia nilotica yang telah dibakar memiliki nilai ekonomi
tinggi dan bisa dimanfaatkan untuk pengembangan ekonomi masyarakat.
Persoalannya, peraturan melarang masyarakat memboyong batang pohon keluar dari
TN Baluran.
“Harus
ada diskresi khusus untuk TN Baluran agar bisa mengeluarkan kayu yang tidak
diinginkan. Intinya tetap restorasi, pohon acacia nilotica ditebang, kayunya
dikeluarkan, kemudian rumput savanna kembali tumbuh,” ujar Titiek.
Dirjen
Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK Wiratno mengakui jika selama ini
tak ada dukungan pemerintah pusat untuk mengeluarkan batang pohon predator.
Sementara Kepala Balai TN Baluran tak berani melakukan itu, mengingat peraturan
melarang pengeluaran kayu.
Oleh
karena itu pemerintah akan segera mengadakan pertemuan untuk merumuskan
diskresi atau pengambilan keputusan terkait kondisi tertentu. Prinsipnya
diskresi bisa dilakukan berdasarkan 4 hal: riset rekomendasi, untuk kepentingan
publik, untuk kepentingan restorasi dan memiliki payung hukum.
-->
Praktiknya
kelak, uji coba pengeluaran batang kayu dan penumbuhan kembali savanna akan
dilakukan secara bertahap. Pertama di lahan 500 hektar saja. “Setelah itu kita
pantau lagi. Jika perkembangannya baik bisa dilanjutkan di lahan lebih luas,” ujarnya.
*tulisan ini bisa juga dilihat di http://aa.com.tr/id/headline-hari/memusnahkan-acacia-predator-tanaman-banteng/883798
No comments:
Post a Comment