Friday, August 18, 2017

Mengantar Tubagus pulang

Orangutan yang tercerabut dari lingkungannya disekolahkan agar survive ketika kembali ke habitat.

Kamis sore kemarin menjadi saat istimewa bagi Tubagus, 15 tahun. Setelah 12 tahun bersekolah di Pusat Reintroduksi Orangutan Kalimantan Tengah di Nyaru Menteng, Palangkaraya, akhirnya jantan berjanggut tipis ini dinyatakan lulus dan siap kembali ke habitat di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR), Katingan, Kalimantan Tengah.

Saat tiba di Nyaru Menteng pada 17 Agustus 2005 lalu, Tubagus yang baru berusia 2,5 tahun memiliki bobot 5,5 kg saja. Ia diselamatkan dari peliharaan warga Desa Mantangai, Kabupaten Kapuas. Saat itu Tubagus bertubuh kurus karena malnutrisi. Setelah lulus sekolah, bobot penjelajah handal yang jago membaca situasi ini meningkat menjadi 47,4 kg.

Bersama sahabat sejatinya, Geragu, juga 10 orangutan lainnya, Tubagus menyusuri perjalanan darat dan sungai selama 12 jam demi kembali ke habitat asli. Pelepasliaran dilakukan bertahap. Tubagus, Geragu dan 4 orangutan lainnya dilepasliarkan Kamis, sedang 6 orangutan lainnya menyusul Jumat sore ini.

Sekolah orangutan yang dikelola Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS) ini bertujuan melestarikan hewan tropis itu. Orangutan yang terlanjur hidup di tengah masyarakat direhabilitasi sebelum dikembalikan ke habitat aslinya.

Orangutan merupakan habitat asli wilayah tropis. Mereka hanya hidup di Borneo dan Sumatera.

Habitat orangutan mulai terancam karena keserakahan manusia. Hewan ini diburu, dipelihara, atau dijual ke luar negeri dengan harga tinggi. Penebangan liar dan ekspansi perusahaan merambah lahan hutan juga mengancam sumber makanan dan hidup orangutan.

Tahun 2004 diperkirakan terdapat 54.000 populasi orangutan di Borneo saja. Ini meliputi wilayah Indonesia dan Malaysia. Mereka lebih banyak hidup di dataran rendah di bawah 500 mdpl.

Orangutan Sumatera lebih terancam punah. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2007, populasi orangutan di sana hanya bersisa 6500 ekor saja. 

Berdasarkan riset The International Union for Conservation of Nature (IUCN), terjadi 80% penurunan jumlah orangutan Sumatera dalam tempo 75 tahun. Pada 1998-1999, jumlah orangutan Sumatera berkurang 1.000 ekor per tahun.

Di pusat rehabilitasi, orangutan diajarkan bersosialisasi dengan lingkungannya. Mereka belajar bagaiama mengenali pakan alami, membuat sarang, hingga mengenali predator di alam liar. Jika usia sudah cukup, bisa hidup mandiri dan mampu bersikap agresif, orangutan dinyatakan lulus sekolah dan siap kembali ke habitat asal.

Selain di Nyaru Menteng, rehabilitasi serupa juga dilakukan Yayasan BOS di Samboja Lestari, Kalimantan Timur. Proses rehabilitasi umumnya berkisar 7-8 tahun.

“Mereka dididik hingga siap hidup di hutan. Kami memonitoring perkembangan mereka setiap hari, juga melakukan simulasi dengan predator buatan,” ujar Paulina Laurensia kepada Anadolu Agency, Jumat.

Saat ini Yayasan BOS tengah merehabilitasi 650 orangutan. Sejumlah 450 di antaranya direhabilitasi di Nyaru Menteng dan 200 ekor sisanya di Samboja Lestari.

Sejak 2012, sudah 289 orangutan lulus rehabilitasi dan dilepasliarkan. Tahun ini, hingga Agustus, sudah 50 ekor orangutan dilepasliarkan.

“Mereka bagian penting dari ekologi hutan, sumber hidup manusia. Kita memiliki tanggung jawab untuk bersama melestarikan hutan dan satwa liar di Indonesia,” ujar CEO Yayasan BOS Jamartin Sihite.

Senada dengan Jamartin, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Aalm (BKSDA) Kalimantan Tengah, Adib Gunawan, mengatakan bahwa orangutan merupakan spesies kebanggaan Kalimantan. Inisiasi kampanye, rehabilitasi dan pelepasliaran orangutan menjadi penting agar habitat ini tetap aman dan terlindungi.

“Kami mendukung inisiatif itu. Kita harus memastikan anak cucu kita masih menikmati kekayaan alam yang melimpah ini,” ujar Adib.

No comments:

Post a Comment