Orangutan yang tercerabut
dari lingkungannya disekolahkan agar survive ketika kembali ke habitat.
Kamis
sore kemarin menjadi saat istimewa bagi Tubagus, 15 tahun. Setelah 12 tahun
bersekolah di Pusat Reintroduksi Orangutan Kalimantan Tengah di Nyaru Menteng, Palangkaraya,
akhirnya jantan berjanggut tipis ini dinyatakan lulus dan siap kembali ke
habitat di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR), Katingan, Kalimantan
Tengah.
Saat
tiba di Nyaru Menteng pada 17 Agustus 2005 lalu, Tubagus yang baru berusia 2,5
tahun memiliki bobot 5,5 kg saja. Ia diselamatkan dari peliharaan warga Desa
Mantangai, Kabupaten Kapuas. Saat itu Tubagus bertubuh kurus karena malnutrisi.
Setelah lulus sekolah, bobot penjelajah handal yang jago membaca situasi ini
meningkat menjadi 47,4 kg.
Bersama
sahabat sejatinya, Geragu, juga 10 orangutan lainnya, Tubagus menyusuri
perjalanan darat dan sungai selama 12 jam demi kembali ke habitat asli. Pelepasliaran
dilakukan bertahap. Tubagus, Geragu dan 4 orangutan lainnya dilepasliarkan
Kamis, sedang 6 orangutan lainnya menyusul Jumat sore ini.
Sekolah
orangutan yang dikelola Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS) ini bertujuan
melestarikan hewan tropis itu. Orangutan yang terlanjur hidup di tengah
masyarakat direhabilitasi sebelum dikembalikan ke habitat aslinya.
Orangutan
merupakan habitat asli wilayah tropis. Mereka hanya hidup di Borneo dan
Sumatera.
Habitat
orangutan mulai terancam karena keserakahan manusia. Hewan ini diburu,
dipelihara, atau dijual ke luar negeri dengan harga tinggi. Penebangan liar dan
ekspansi perusahaan merambah lahan hutan juga mengancam sumber makanan dan hidup
orangutan.
Tahun
2004 diperkirakan terdapat 54.000 populasi orangutan di Borneo saja. Ini
meliputi wilayah Indonesia dan Malaysia. Mereka lebih banyak hidup di dataran
rendah di bawah 500 mdpl.
Orangutan
Sumatera lebih terancam punah. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan tahun 2007, populasi orangutan di sana hanya bersisa 6500 ekor
saja.
Berdasarkan
riset The International Union for Conservation of Nature (IUCN), terjadi 80%
penurunan jumlah orangutan Sumatera dalam tempo 75 tahun. Pada 1998-1999,
jumlah orangutan Sumatera berkurang 1.000 ekor per tahun.
Di
pusat rehabilitasi, orangutan diajarkan bersosialisasi dengan lingkungannya.
Mereka belajar bagaiama mengenali pakan alami, membuat sarang, hingga mengenali
predator di alam liar. Jika usia sudah cukup, bisa hidup mandiri dan mampu
bersikap agresif, orangutan dinyatakan lulus sekolah dan siap kembali ke
habitat asal.
Selain
di Nyaru Menteng, rehabilitasi serupa juga dilakukan Yayasan BOS di Samboja
Lestari, Kalimantan Timur. Proses rehabilitasi umumnya berkisar 7-8 tahun.
“Mereka
dididik hingga siap hidup di hutan. Kami memonitoring perkembangan mereka
setiap hari, juga melakukan simulasi dengan predator buatan,” ujar Paulina
Laurensia kepada Anadolu Agency, Jumat.
Saat
ini Yayasan BOS tengah merehabilitasi 650 orangutan. Sejumlah 450 di antaranya direhabilitasi
di Nyaru Menteng dan 200 ekor sisanya di Samboja Lestari.
Sejak
2012, sudah 289 orangutan lulus rehabilitasi dan dilepasliarkan. Tahun ini,
hingga Agustus, sudah 50 ekor orangutan dilepasliarkan.
“Mereka
bagian penting dari ekologi hutan, sumber hidup manusia. Kita memiliki tanggung
jawab untuk bersama melestarikan hutan dan satwa liar di Indonesia,” ujar CEO
Yayasan BOS Jamartin Sihite.
Senada
dengan Jamartin, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Aalm (BKSDA) Kalimantan
Tengah, Adib Gunawan, mengatakan bahwa orangutan merupakan spesies kebanggaan
Kalimantan. Inisiasi kampanye, rehabilitasi dan pelepasliaran orangutan menjadi
penting agar habitat ini tetap aman dan terlindungi.
“Kami
mendukung inisiatif itu. Kita harus memastikan anak cucu kita masih menikmati
kekayaan alam yang melimpah ini,” ujar Adib.
No comments:
Post a Comment