Memetakan
sinema sebagai medium dalam produksi ilusi besar oleh kekuasaan.
Menahbiskan Arkipel sebagai perayaan film eksperimental terbesar di
Asia Tenggara.
Peluru
dari bedil Kopral Herman (Bambang Hermanto) melubangi tubuh Violetta
(Rima Melati). Gadis yang rindu sosok ayah itu lalu rebah bersimbah
darah, di pangkuan kopral yang ia cintai. Pada malam nahas itu,
patroli sedang disiagakan. Usai berdebat sengit dengan ibunya,
Violetta hengkang dari rumah demi mewujudkan kemerdekaan dirinya.
|
Sumber foto: cinemapoetica.org |
Lahir
dari ibu (Fifi Young) yang memendam luka, Violetta tumbuh seperti
bocah pingitan. Perlindungan berlebihan dilakukan sang Ibu demi
menghindari kemungkinan anaknya dikecewakan laki-laki. Ia tidak mau
Violetta menghabiskan hidup sebagai orang tua tunggal seperti
dirinya.
Violetta
(1964) adalah film karya sutradara Bachtiar Siagian. Film ini menjadi
satu dari sejumlah film yang diputar dalam ''Arkipel 3rd Jakarta
International Documentary & Eksperimental Film Festival''
yang dihela oleh Forum Lenteng. Festival yang digelar pada 22-29
Agustus 2015 lalu itu mengambil tema besar "Grand Illusion".
Tema
tersebut diketengahkan untuk membaca dinamika demokrasi di Indonesia,
juga situasi politik internasional pada umumnya. Derap politik,
merumuskan tujuan bersama ke arah kehidupan lebih baik, yang masih
diwarnai dengan berbagai persoalan kemanusiaan. ''Untuk melihat
kembali posisi kita dalam hubungan sosial di mana kita hidup. Apakah
ia kenyataan atau ilusi,'' kata Direktur Artisitik Arkipel, Hafiz
Rancajale.
|
Sumber foto: arkipel.org |
"Grand
Illusion" terinspirasi dari judul film perang La Grande
Illusion (1937) garapan master sinema asal Prancis, Jean Renoir.
Gagasan film ini sendiri bermula dari buku The Great Illusion, A
Study of the Relation of Military Power to National Advantage
karya Norman Angel yang menyoal pertentangan kelas dan kritik
kemanusiaan pada era Perang Dunia I.
Indonesia
adalah salah satu bangsa dengan sejarah sosial-politik penuh ilusi.
Sejumlah tragedi kemanusiaan yang melibatkan alat kekuasaan negara,
meski telah diakui sebagai beban sejarah, namun belum juga
diselesaikan hingga saat ini. Antara lain yang belakangan kembali
menghangat adalah tragedi 1965-1966 ketika negara mendiskreditkan
sebuah generasi dari ideologi politik tertentu (komunisme) dengan
aksi pembantaian dan penangkapan banyak orang tidak berdosa tanpa
proses persidangan. Juga memberangus karya-karya mereka.
Sejak
Gerakan 30 September 1965, semua hal terkait komunisme diharamkan.
Demi pelanggengan kekuasaan Orde Baru, dogma dalam sejarah yang
disebarluaskan ke masyarakat amat ilusif, stigma komunisme dibangun
dan didistribusikan lewat beragam media, ''Termasuk film dan media
massa,'' kata Hafiz.
Di
antara program-programnya, Arkipel 2015 berupaya menelusuri praktik
produksi kenyataan ilusif dalam medan sosial, politik dan kebudayaan
di kitaran kasus G-30-S itu. Tinjauannya pada peran negara
memanfaatkan sinema dalam proyek ilusi besar itu. Sekaligus peran
negara dalam memberangus dan menghancurkan karya sinema karena
diidentifikasi terkait dengan aroma terlarang, meski tidak secara
langsung. Contohnya, film-film karya Bachtiar Siagian.
Serupa
nasib Violetta, belasan film karya Bachtiar pun berakhir
tragis; dimusnahkan hingga ke akar-akarnya. Bachtiar dianggap
memiliki DNA komunis karena jabatannya sebagai Ketua Lembaga Film
Indonesia, organisasi yang berdiri di bawah naungan Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang underbouw Partai Komunis Indonesia.
Bachtiar dituduh menyebarkan ideologi Leninisme-Marxisme lewat film.
Itu
sebabnya, film-film karya Bachtiar dimusnahkan. Termasuk dua filmnya
yang dicurigai memberi ruang bagi presentasi realisme sosialis, yakni
Turang (1957) dan Piso Surit (1960). Keduanya mengambil
setting Karo dalam pergolakan revolusi kemerdekaan. Turang,
misalnya, berkisah tentang perjuangan masyarakat Karo melawan
Belanda. Film ini mendapat respons positif dan dinobatkan sebagai
Piala Citra untuk kategori film terbaik di ajang FFI II pada 1960.
Menghubungkan
karya-karya Bachtiar dengan ideologi komunisme adalah ilusi yang
diciptakan kekuatan politik yang berkuasa saat itu. Sebab, mengutip
ulasan hasil wawancara dengan Misbach Yusa Biran di penghujung hayat
sang pengarsip film itu pada 2013 silam, sebagaimana diterbikan oleh
jurnal footage, film-film Bachtiar tidak secara konsisten
menggambarkan ideologi Lekra (realisme sosialis).
Menurut
Misbach, mengusulkan karya Bachtiar sebagai bagian dari pembacaan
sejarah film Indonesia, sebenarnya, belum tentu juga menjamin
kesejajaran sejarah dua ideologi yang bertarung dalam sejarah politik
Indonesia pasca-kemerdekaan kala itu.
Sejak
1930-an, perfilman Indonesia didominasi oleh film Amerika yang
mengonstruksi selera penonton dengan narasi sederhana. Dibutuhkan
strategi khusus jika ingin melakukan penetrasi ideologi tertentu
melalui sinema. Dengan pengaruh teori montase Vsevolod Pudovkin yang
bersifat konstruktif, Bachtiar menawarkan semacam teori film melalui
formula ''Pil Kina Bandung''. Hal itu terlacak dalam surat menyurat
Bachtiar dengan Salim Said.
Rumusan
''Pil Kina Bandung'' sederhana. Yakni, menyuguhkan gula-gula
entertainment, sebagaimana pil kina yang dibungkus oleh gula putih
halus untuk membangkitkan selera para penderita malaria. Bachtiar
memadukan struktur sederhana naratif linear yang populis pada waktu
itu dengan penokohan yang kuat dan editing ala Pudovkin, seperti yang
jelas tergambar dalam Violetta.
Penjelasan
teoretis semacam itu tidak berguna di hadapan proyek ilusi yang
konsisten. Saat meletus G-30-S/PKI, Bachtiar ditangkap, dibuang ke
Pulau Buru, dan tanpa pengadilan sama sekali. Ia baru dibebaskan pada
1977.
Violetta
adalah satu-satunya film karya Bachtiar yang berhasil diselamatkan,
dan menjadi koleksi Sinematek Indonesia. Meski sudah didigitalisasi,
kondisi Violetta tidak bisa dibilang bagus. Ada sejumlah ''luka''
materi seluloidnya, ada adegan terpotong sekira 15 menit, dan ada
upaya penyambungan materi seluloid yang janggal.
Lewat
Arkipel 2015, film ini diputar kembali setelah 50 tahun penayangannya
dilarang. Selain Violetta, film yang tersisa dari sutradara yang
dianggap memiliki afiliasi dengan PKI adalah Si Pincang (1951) karya
Kotot Sukardi. Sayangnya, kondisi fisik Si Pincang kini sudah tak
layak putar.
Ilusi
besar semacam itu tak hanya terjadi di Indonesia. Sejarah dunia
mencatat skenario-skenario ilusi besar itu diimplementasikan di
berbagai negara. Lima di antaranya disajikan sebagai film pembuka
Arkipel 2015. Yaitu, Beep (2014), What Day is Today
(2015), Cinza/Ashes (2014), A.D.A.M (2014), dan Killing
Time(2015).
Awal
Beep langsung menyengat penonton dengan cetusan seorang bocah,
''Ayah, benarkah komunis itu jahat, membunuh anak kecil seperti
saya?''
Beep
adalah kolaborasi footage dan newsreel bermuatan propaganda
anti-komunis yang dilakukan Korea Selatan. Korea Selatan menjadikan
kisah hidup Seungbok Lee, bocah 10 tahun yang diduga tewas dibunuh
milisi Korea Utara demi menciptakan kebencian kolektif terhadap Korea
Utara. Beep hasil produksi Kyung-Man Kim, pemuda Korea Selatan yang
rajin menyunting ulang footage arsip, newsreel, dan film-film
propaganda sejak 2001.
Sementara
itu, What Day is Today adalah hasil kolase ciamik beragam
benda seperti radio, roti, buah, dan kertas hasil garapan sekumpulan
anak muda Portugal yang tergabung dalam Colectivo Fotograma 24.
Penggagasnya adalah Rodolfo Pimenta dan Joana Torgal. Dengan teknik
stop motion, film ini mengusung ide pergolakan antar kelas yang
terjadi di Portugal sejak lama hingga hari ini.
Cinza/Ashes
juga berasal dari Portugal. Film hitam-putih ini terdiri dari
sekumpulan foto yang membentuk pigura sejarah bangsa Portugal era
1926-1974. Menyuguhkan potret gedung pelayanan publik seperti
sekolah, pembangkit listrik, stadion sepak bola, dan kereta api yang
dibangun semasa pemerintahan diktator fasis Antonio de Oliveira
Salazar. Penggarapnya Micael Espinha, alumnus jurusan Penyutradaan
Sekolah Teater dan Film Lisabon pada 2003 yang banyak memproduksi
film dokumenter, fiksi, serial TV, dan film pendek animasi.
Lainnya,
A.D.A.M, kepanjangan autonomous digital assault microbe;
sebuah kode dari drone otonom untuk pertambangan asteroid. A.D.A.M
menyajikan eksplorasi mata android terhadap berbagai lanskap:
laut, gurun, penambangan, dan kota dengan menggunakan teknik
stereocospic 3D dari foto-foto udara 2D. Eksplorasi ini terhenti
karena berbagai hal, yang menggambarkan kuasa dan kontrol atas
informasi dari antariksa. Film ini dibuat oleh sutradara asal
Kroasia, Vladislav Knezevic.
Film
terakhir, Killing Time, memilih pendekatan jenaka untuk
memetakan konflik interpersonal dan multikultural antara Arab dan
Israel lewat relasi dua sejoli. Film berdurasi 22 menit ini
diproduksi oleh sutradara dan penulis naskah asal Israel alumnus
jurusan kajian film Minshar for Art, Rafi Shor.
Tahun
ini, Arkipel menyeleksi 1.200 judul film dari 80 negara. Hasilnya,
ada 130 film dari 30 negara yang bertarung dalam sesi kompetisi
internasional. Kriteria penilaiannya adalah bagaimana peserta
mengelola nilai-nilai estetika dan berekperimentasi dengan berbagai
medium dan logika, sesuai dengan tema yang diusung.
Jumlah
itu jauh lebih besar dibandingkan dengan penyelanggaraan Arkipel
sebelumnya. Arkipel pertama, panitia menerima sejumlah 200 film dari
30 negara, sementara pada Arkipel kedua panitia menerima 320 film
dari 60 negara. Perkembangan kuantitas partisipan yang hampir empat
kali lipat dan proyek film yang dibuat itu dapat dijadikan indikator
untuk menahbiskan Arkipel sebagai perayaan film eksperimental
terbesar di Asia Tenggara, mengalahkan "Bangkok Experimental
Film Festival" dan "Kuala Lumpur Experimental Film
and Video Festival".